Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Ini Hubungan Sejarah Budaya Antara Belitung dan Kalimantan Tengah, Mulai dari Kisah Kyai Gede Sampai Nugal


PETABELITUNG.COM - Pernah sekali petabelitung mewawancarai beberapa warga di bukit Gunong Tajau, Dusun Parit Gunong, Desa Aik Buding, Belitung. Satu di antara pertanyaan yang diajukan adalah mengenai asal usul nenek moyang mereka.
Meski tak detil menyebutkan, namun mereka bisa menyebutkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Kalimantan. Entah Kalimantan yang mana. Yang jelas dari Kalimantan. Begitu tutur dari generasi ke generasi yang mereka pegang.
Dusun Parit Gunong terhitung masih berada dalam kawasan Gunong Tajam, bukit tertinggi di Belitung dan letaknya pun hampir di tengah-tengah pulau Belitung. Lantas bagaimana bisa tutur yang berlaku di sana menyebutkan adanya hubungan kekerabatan dengan Kalimantan.
Tentu kajian lebih lanjut perlu dilakukan.
Namun perkenankan kali ini petabelitung menyampaikan sedikit petunjuk mengenai hubungan tersebut.
Belum lama ini Kepala Bidang Sejarah KPSB Peta Belitung Haryanto menemukan sebuah catatan tentang Kota Waringin Kalimantan Tengah dalam buku berjudul 'Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1924 [volgno 2]'.
Dalam buku tersebut terdapat tulisan berjudul 'ETHNOGRAFISCHE MEDEDEELINGEN OVER
DE DAJAKS IN DE AFDEELING KOEALAKAPOEAS.' Penulisnya adalah J.Mallinckrodt, seorang antropolog Belanda.
Mallinckrodt mengatakan, orang Melayu pertama yang datang ke Kotawaringin adalah kiai Gadai. Menurut Mallinckrodt, penduduk setempat menyebut kiai Gadai berasal dari Jawa. Namun Mallinckrodt juga mengutip pendapat lain dari Gaffron yang mengatakan bahwa kiai Gadai adalah seorang pria dari Belitung.
Simak tulisan Mallinckrodt dalam buku Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1924 [volgno 2] berikut ini :



Mallinckrodt mengatakan, kiai Gadai memperkenalkan diri sebagai orang berniaga. Namun warga setempat salah paham dan menyangka itu adalah namanya. Sehingga kemudian muncul istilah Dayak Baniaga untuk menyebut komunitas orang Melayu di sana. Sedangkan kiai Gadai sendiri dipanggil dengan nama panggilan Mamak.
Lepas mengenai beragam versi yang muncul, kiai Gadai adalah juga dikenal Kyai Gede adalah sosok yang belum diketahui nama aslinya dan asal muasalnya.
Yang jelas di Belitung juga dikenal nama yang sama yakni Kyai Gede. Yang dianggap sebagai seorang raja di wilayah Balok, selatan pulau Belitung.
Beralih ke sisi budaya, ternyata pertalian antara Belitung dan Kalimantan Tengah juga tampak dari sisi matapencaharian. Dalam tradisi suku Dayak di Kalimantan Tengah ada istilah Nugal. Yakni kegiatan menanam padi di ladang. Istilah Nugal juga ditemui di dalam tradisi Orang Darat di Belitung. Dan ternyata tahap-tahapan Nugal di Belitung hampir sama percis dengan Nugal suku Dayak di Kalimantan Tengah.
Perhatikan deskripsi yang dimuat dalam situs resmi Dinas Pariwisata Kabupaten Kotawaringin Barat, https://visitkotawaringinbarat.com berikut ini :
"Masyarakat berderet-deret melobangi tanah, sementara di belakangnya menyusul beberapa orang yang memasukkan bulir padi ke dalam lobang. Setiap lobang akan diisi sekitar 4 sampai 5 bulir padi," tulis situs web tersebut.
Kemudian lihat perbandingan gambar kegiatan Nugal di Belitung dan di Kalimantan Tengah berikut ini. Nyaris sama percis.

Cara menanam padi secara bergotong royong di ladang atau disebut nugal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. visitkotawaringinbarat.com/repro petabelitung.com 2019.

Kegiatan Nugal di Desa Batu Penyu, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur.
Bagaimana guys? Mirip kan?
Selanjutnya simak juga kutipan langsung dari situs visitkotawaringinbarat tentang budaya Nugal.
Cara menanam padi secara bergotong royong di ladang atau disebut nugal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Acara menugal ini membutuhkan proses yang cukup panjang karena harus diawali dengan penebangan pohon-pohon besar,serta pembakaran lahan untuk pembersihan sisa-sisa tebangan pohon. Sisa-sisa pembakaran diyakini bisa sebagai pupuk alami untuk tanaman padi yang akan ditanam.

Sekitar 2 minggu setelah lahan disiapkan, masyarakat secara bergotong royong memulai menugal. Alat yang digunakan berupa tongkat panjang sekitar 2 meter yang  biasanya terbuat dari kayu ulin yang sangat kuat, berdiameter sekitar 3-4 cm dengan ujung meruncing. Tongkat ini digunakan untuk melubangi tanah yang akan digunakan menanam padi. Masyarakat berderet-deret melobangi tanah, sementara di belakangnya menyusul beberapa orang yang memasukkan bulir padi ke dalam lobang. Setiap lobang akan diisi sekitar 4 sampai 5 bulir padi.

Pengairan penanaman padi ini hanya tergantung pada air hujan, tidak seperti lazimnya di persawahan yang dilengkapi dengan pengairan atau irigasi. Cara penanaman dengan cara seperti ini dikenal dengan nama sawah tadah hujan atau gogo rancah. Tanaman padi diberlakukan seperti tanaman palawija dengan kebutuhan air yang sangat minim. Keunggulan sistem budidaya gogo rancah adalah hemat waktu tanam dan pemeliharaan, namun kekurangannya adalah hasilnya tidak sebesar dengan sistem tanam sawah.

Menariknya dari budaya menugal ini, di saat waktu istirahat, masyakat beramai-ramai duduk dan bersama-sama menikmati nasi ketan dengan ikan asin yang sangat berasa nikmatnya ketika dilakukan bersama-sama setelah lelah bekerja.

Uniknya lagi, hasil lahan tersebut kelak jika panen tidak akan dijual, namun hanya dikonsumsi untuk kebutuhan keluarga saja.

Sekian dulu ya guys, nanti disambung lagi.
Semoga bisa menambah wawasan kalian tentang pertalian budaya dan sejarah Belitung.
Semoga bermanfaat.(*)

Baca Artikel Terkait :
Ini 5 Kemiripan Antara Situs Makam Kuno di Pulau Belitung dan Makam Wangi Telok Selong Kalimantan Selatan

Menilik Hubungan Kuno Belitung dengan Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan, Ada Kisah Orang Putih di Dalamnya

Dua Daerah di Kalimantan Ini Punya Bahasa yang Sama Seperti Bahasa Belitong

Benarkah Islam di Pulau Belitung Telah Berusia 1000 Tahun? Simak Penjelasannya

Foto ilustrasi : sebuah potongan peta dari sebuah peta berjudul Borneo, Billiton en omliggende eilanden yang diterbitkan pada tahun 1877 atau sekitar 142 tahun yang lalu. Leiden University Libraries Digital Collections/Attribution 4.0 International (CC BY 4.0)/ repro petabelitung.com 2019.

Penulis : Wahyu Kurniawan
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber : petabelitung.com