Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Tahun 1862 Hanya Ada Lima Kapal Pinisi Tercatat di Indonesia, Ternyata Semuanya dari Belitung

PETABELITUNG.COM - Seni pembuatan kapal Pinisi telah diakui sebagai warisan budaya tak benda dunia. Pengakuan ini ditetapkan oleh UNESCO pada Sidang ke-12 Komite Warisan Budaya Takbenda UNESCO di Pulau Jeju, Korea Selatan, Kamis, (7/12/2017).

“Ditetapkannya ‘Pinisi: Seni Pembuatan Perahu di Sulawesi Selatan’ sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia adalah kebanggaan besar bagi rakyat Indonesia,” demikian ujar Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Retno LP Marsudi, dalam keterangan pers, Selasa (13/2/2018).

Nama Pinisi juga telah diakui dalam daftar kapal-kapal pada masa Indonesia berada di bawah pemerintahan Hindia-Belanda. Keterangan itu bisa dilihat dalam Almanak van Nederlandsch-Indië terbitan tahun 1862. Dalam buku ini terdapat daftar nama kapal dari 31 daerah. Rinciannya yakni Batavia, Cirebon, Indramayu, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, Gresik, Pamengkasan, Madura, Sumenep, Pasuruan, Sumatera Barat, Air Bangis dan Rau, Bengkulu, Mokko-Mokko, Lampung, Palembang, Bangka, Riau, Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Selatan, Makasar, Banda, Ambon, Ternate, Manado, dan Kema.

Jenis kapal-kapal dalam daftar tahun 1862 yakni Bark, Brik, Stoomb, Schooner, Schip, Stoomschip, Kotter, Toop, Pintjalang, Tambangan, Kollek, Wangkang, Tonkang, dan Pinisch. Nama terakhir yakni Pinisch tak lain adalah kapal Pinisi. Namun hanya ada lima kapal Pinisi yang tercatat dalam daftar kapal tahun 1862. Kelima kapal itu yakni  Pinisch Paulina, Pinisch Fathul Rachman, Pinisch Fattahul Karim, Pinisch Noor Jafar, Pinisch Lilangan.

Lima kapal Pinisi yang tercatat di Indonesia pada tahun 1862 ternyata berasal dari Belitung. Berikut keterangan mengenai kelima kapal Pinisi dari Belitung tersebut :

1. Pinisch Paulina, nahkoda Lim Amoei, milik Ho Aijon

2. Pinisch Fathul Rachman, nahkoda Hadjie Alie, milik Hadjie Alie en Intje Mamatapi

3. Pinisch Fattahul Karim, nahkoda Intje Aboe, milik Kiahi Agoes Endik

4. Pinisch Noor Jafar, Intje Rachmat, milik Intje Rachmat

5. Pinisch Lilangan, Intje Dris, milik Intje Dris.




Data tentang kapal Pinisi tahun 1862 tentu membuat kami bingung. Sebab kapal ini indentik dengan daerah Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan. Namun keterangan yang sama juga bisa kalian jumpai di website pinisi.org. Website ini merupakan kerjasama antar instansi yakni :

- Direktorat Jenderal Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

- Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia

- Kementerian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia

- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

- Kabupaten Bulukumba

- Universitas Hasanuddin, Makassar

- Universitas Hang Tuah, Surabaya

- Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

- Università degli Studi di Napoli "L'Orientale"

Dalam website pinisi.org diperoleh keterangan bahwa :

"Pada pertengahan abad ke-19, koran-koran dan daftar-daftar registrasi kendaraan laut Hindia Belanda mulai mencatat sejenis perahu baru yang disebut ‘penisch’, ‘pinis‘, ‘pinas‘ atau sebunyiannya.  Jelaslah, istilah-istilah ini tak mungkin tidak berhubungan dengan kata ‘pinisi‘ – akan tetapi, bagian terbesarnya penisch atau pinis yang disebut dalam sumber-sumber itu sama sekali tidak bertalian dengan Sulawesi.  Anda dapat melacaknya sendiri: Perahu-perahu tipe ini mulai terdaftar di Nusantara bagian barat, dan berikutnya menyebar ke Kalimantan dan Bali, dan pada umumnya adalah milik orang Melayu, Tioanghoa dan bahkan Belanda.  Dalam daftar registrasi kendaraan laut asal Makassar masa itu kami sampai sekarang belum mendapatkan satu pun catatan perahu tipe itu – maka, ya, pertengahan abad ke-19 itu belum ada pinisi di Sulawesi."

Lebih lanjut disebutkan bahwa berita-berita koran pada masa Hindia-Belanda juga menyebutkan kapal Pinisi berasal dari Belitung. Bahkan tim riset pinisi.org menyebut berita paling tua yang ditemukan secara jelas menyebut nama Belitung.

"Hal yang sama ditemukan pada berita-berita perkapalan dalam koran-koran Hindia-Belanda dan Singapura asal pertengahan kedua abad ke-19: Dalam 70-an sebutan penisch dan yang sebunyinya yang sempat kami periksa hanya terdapat satu perahu yang sepertinya milik seorang Sulawesi, yaitu sebuah perahu milik “Daing Tauw” yang pada awal bulan April 1869 masuk Batavia dari Lampung dengan muatan lada dan damar.  Salah satu sebutan ‘pinis’ tertua yang cukup lengkap beritanya adalah kabar Java-Bode tanggal 1859-02-26 tentang terdamparnya “praauw-pinis Penelope” milik seorang Tionghoa bernama A-Oeij asal Belitung di pantai Timur Pulau Bintang, Riau," demikian keterangan dalam situs pinisi.org.

Penelitian lebih lanjut mengenai kapal Pinisi di Belitung tentu masih harus terus dilakukan. Namun yang jelas sejumlah nama pemilik kapal Pinisch dari Belitung adalah sosok yang dikenal. Contohnya pemiliki kapal Pinisi Paulina yakni Ho Aijon (Ho Ayun) yang pada saat itu menjadi sebagai Letnan Cina di Sijuk. Kemudian Kiahi Agoes Endik (Endek) pemilik kapal Pinisi Fattahul Karim yang saat itu menjabat sebagai Kepala Polisi Belitung. Endek adalah menantu Depati Belitung KA Mohammad Saleh. Endek kemudian menggantikan kedudukan mertuanya sebagai Depati Belitung pada tahun 1879. Dalam tradisi tutur di Belitung, mereka adalah keturunan Raja-Raja Balok yang memerintah di Pulau Belitung sejak abad ke-17. Semoga bermanfaat.(*)

Penulis : Wahyu Kurniawan

Editor : Wahyu Kurniawan

Sumber: petabelitung.com.

Foto ilustrasi : Foto berjudul Gezicht op de rede van Billiton met een kampong en afgemeerde schepen. tahun 1900 (Pemandangan alur Belitung dengan kampung dan kapal yang ditambatkan) . www.maritiemdigitaal.nl/ repro by petabelitung.com, 2022.