Telusuri Sejarah Budaya Makan Bedulang
PETABELITUNG.COM - Makan Bedulang adalah budaya penyajian makanan dalam sebuah dulang untuk kebutuhan harian keluarga maupun untuk kepentingan hajatan tertentu pada masyarakat Belitong. Budaya ini semakin digalakkan seiring berkembangnya sektor pariwisata Belitong sejak tahun 2008. Bahkan pernah pula diperkenalkan hingga ke luar daerah dalam rangka promosi pariwisata dan kekayaan budaya Belitong.
Secara Etimologi, Makan Bedulang berasal dari dua kata yakni Makan dan Dulang. Pengertian kata makan secara umum telah diketahui, pada dasarnya sama seperti yang didefinisikan dalam KBBI. Sedangkan dulang adalah sebuah alat yang dalam KBBI disebut sebagai baki.
Hingga saat ini belum ada buku yang secara khusus mengulas tentang budaya Makan Bedulang di Belitong. Namun Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Belitung sudah merintisnya dengan menerbitkan buku berjudul Bunga Rampai Sarasehan Makan Bedulang. Sisi sejarah dari kebudayaan ini juga belum diulas secara signifikan.
Sejauh studi pustaka selama ini, kami belum menemukan istilah Makan Bedulang dalam catatan kolonial pada abad ke-19. Bahkan ada perbedaan definisi dulang dalam kamus pada masa itu.
Glosarium Cornelis de Groot dalam buku Herinneringen aan Blitong (1887) menulis kata dulang dengan definisi yang tidak berkaitan dengan makan. Menurut De Groot, dulang adalah baki kayu tua bundar, yang tidak memiliki kedalaman di tepinya, tetapi menjadi lebih dalam ke tengah; digunakan oleh orang Melayu untuk mencuci emas, bijih timah, dll dari tanah gembur. Sedangkan Kamus Melayu Belanda karya Dr. J. Pijnappel, Gz. 1863 menyebut Dulang adalah bak kayu dangkal besar, digunakan baik untuk menyajikan makanan, maupun untuk mencuci dan pencucian emas.
Istilah Makan Bedulang juga merupakan bagian dalam rangkaian acara perkawinan adat di Belitong. Namun menurut Cornelis de Groot, pesta makan dalam sebuah perkawinan tradisional Belitong kala itu disebut dengan istilah "Makan Besar" bukan Makan Bedulang.
"Selesai upacara pernikahan pengantin diarak dalam kursi-pikul yang dihiasi bunga-bunga melalui kampung, diiringi musik dari bedug dan tambur, diikuti penyanyi yang menjerit. Pawai itu membawa mereka ke tempat tinggal dimana untuk famili dan undangan disuguhi kopi, teh dan kue kampung, untuk pengantin pria dan tamu laki-laki di bagian depan rumah dan bagi pengantin wanita dengan tamu-tamu perempuan di belakang rumah. Perempuan mempersiapkan pesta makan (makan besar), yang diadakan pada siang-sore hari yang harus selesai sebelum matahari terbenam. Pada pesta makan itu penghulu duduk paling depan dan di situ melaksanakan doa. Perempuan dan anak ini kali juga diajak makan di belakang rumah," kata Cornelis de Groot.
Dalam kegiatan makan sehari-hari juga tidak tampak penggunaan dulang dalam deskripsi Cornelis de Groot.
"Kursi dan meja tidak dikenal dalam bentuk paling sedehana pun, maka dengan tiada barang penggantinya maka tinggal di rumah itu menjadi sederhana dan mudah. Lantai terdiri dari kulit-pohon dimana tamu dan tuan-rumah sama-sama duduk atau jongkok di bawah, atau dengan kaki lurus ke depan siku dengan badan, atau dengan lengan menyokong kepala dan berbaring dengan bersandar pada siku.
Malam hari beberapa potong pakaian digulung untuk dijadikan bantal, sedangkan setiap tempat di lantai bisa bisa berfungsi sebagai ranjang, untuk bermalam.
Untuk makan lauk-pauknya ditempatkan pada lantai dan tamu duduk sekeliling untuk makan pakai tangan." kata Cornelis de Groot.
Selama melakukan eksplorasi timah, De Groot sering mengadakan pesta makan untuk warga. Pesta itu diadakan setiap 10 hari sekali. Istilah yang digunakan juga disebut "Makan Besar".
"Makan besar itu untuk saya tidak mahal, jatuhnya 12 sen per orang, termasuk anggur gratis dalam bentuk air sumber murni.
Lauk-pauk ditempatkan pada lantai di ruang muka dalam bentuk persegi panjang dan tamu ada di sekeliling mengambil makanan sambil bersandar pada siku kiri atau kanan. Sisa makanan dibungkus dalam lap yang masing bawa, untuk dibawa pulang bagi istri dan anak.
Setelah makan diisap rokok cerutu bikinan sendiri dan membuat musik dengan semacam gendang, biola bikinan sendiri dan tambur sambil ada yang menyanyi dan bercerita yang dibesar-besarkan, kesukaan orang Cina dan pribumi keturunan Lingga," kata Cornelis de Groot.
Deskripsi Cornelis de Groot tentu tidak bisa langsung dijadikan sandaran untuk menyimpulkan sejarah Makan Bedulang di Belitong. Sebab deskripsi itu diungkapnya berdasarkan pengalaman pribadi saat makan di rumah Orang Darat, penduduk bumiputra Belitong. Sedangkan pada sisi lain ia menyebut bahwa asal usul Orang Darat sangat sulit ditentukan. Berdasarkan bahasanya, Orang Darat yang ditemukan di Belitong diketahui berasal dari berbagai daerah di Sumatera, Semenanjung Melayu, dan Kalimantan. Bahkan menurut Cornelis de Groot, sebagian Orang Darat juga keturunan Sulawesi dan Pantaib Selatan India.
Merujuk pada asal usul Orang Darat, maka sangat mungkin setiap keluarga menerapkan tradisi yang berbeda dalam penyajian makanan. Namun yang jelas, penyajian makanan dengan dulang juga ditemukan dalam kebudayaan di berbagai daerah di Indonesia, termasuk pula di Malaysia. Perbedaannya pada karakter dulang dan pernak pernik penyajiannya. Maka itu penelusuran dan kajian sejarah Makan Bedulang di Belitong masih perlu dilakukan secara mendalam. Semoga bermanfaat.(*)
Penulis : Wahyu Kurniawan
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber: petabelitung.com