Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Makna Uang Logam di Bawah Kaki Rumah, dari Belitong Riau Betawi Sampai Jogja

PETABELITUNG.COM – Rumah tradisional Belitong disebut ruma panggong. Secara harfiah arti rumah ini sama seperti rumah panggung di sejumlah daerah di Indonesia. Selain itu terdapat pula kesamaan lain yang jarang diketahui, yakni penggunaan uang logam pada kaki rumah.

Dalam kebudayaan Belitong, uang logam diletakkan di antara batu dan kaki rumah. Seorang pria asal Desa Perpat yang tinggal di Tanjungpandan membagi kisah kepada kami mengenai filosofi uang logam tersebut. Ternyata makna sangat dalam dan memang fundamental.

Uang logam diletakkan di kaki rumah untuk menjaga si pemiliknya dari sikap buruk. Dalam contoh kasus, seorang anak meminta uang kepada orangtuanya. Namun pada saat itu orangtuanya sama sekali tidak memiliki uang di saku, dompet, maupun di lemarinya. Dalam kondisi itu orangtua tidak boleh mengatakan “kaper” yang artinya tidak ada. Apalagi mengatakan ungkapan yang setingkat lebih parah seperti menyumpah yaitu “kaper haram” atau tidak ada sama sekali. Artinya orangtua tidak boleh mengatakan dirinya tidak punya uang, sebab ia tahu bahwa mereka sebetulnya masih ada uang yang diletakkan di bawah kaki rumah. Maka itu bahasa yang tepat untuk situasi ini adalah menggunakan kata “mumpak” yang artinya “tidak ada tapi ada”. Dengan menggunakan kata “mumpak”, si pemilik rumah terhindar dari sikap kufur atau tidak bersyukur.

Koin di kaki rumah menjadi semacam pengingat bagi si pemiliknya agar selalu bersyukur. Dengannya mereka tidak boleh sampai terucap tidak ada uang. Sikap bersyukur pada akhirnya akan mendorong optimisme dalam bekerja dan melapangkan rezeki si pemilik rumah. Sebab ia akan selalu ingat akan rezeki yang melimpah dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Pengunaan uang logam di kaki rumah juga dilakukan oleh masyarakat Suku Talang Mamak, suku asli di Provinsi Riau. Semula mereka ini berasal dari pedalaman Jambi dengan sebutan Suku Tuha. Keberadaan Suku Talang Mamak sebagian besar berada di Kabupaten Indragiri Hulu. Sedangkan di Jambi kelompok ini bisa ditemui di Kabupaten Tebo.

“Masyarakat Talang Mamak membangun rumah secara bergotong royong hingga tiang dan kerangka rumah terbentuk. Selanjutnya pengerjaan dilakukan sendiri oleh pemilik rumah, boleh juga mengupah pada orang yang ahli dalam membuat rumah. Tiang yang pertama kali didirikan dalam membangun rumah ini disebut tiang tuha. Sebelum tiang ini ditancapkan dalam tanah, diletakkan uang logam pada lubang yang akan ditancapkan tiang tersebut. Ini diyakini membawa rezeki,”

Demikian dikutip dari artikel berjudul “Bantalak Tak Nampak ala Talang Mamak” yang dipublikasikan 2 November 2017 di bahanamahasiswa.co.

Uang logam di kaki rumah panggung juga ditemui di Desa Meranjat Provinsi Sumatera Selatan.

“Rumah panggung di desa Meranjat ini mempunyai arti khusus yaitu pondasi penegak harus diberi uang logam tiap-tiap tiang ,nominal uangnya pun harus sama tiap-tiap tiang jika nominal uang semakin besar maka menurut masyarakat ini maka rumah tersebut akan kuat. Yaitu pilihan terhadap uang logam dikarenakan uang logam apabila ditanam tidak akan cepat berbaur dengan tanah presepsi inilah yang membuat masyarakat Meranjat memilih uang logam sebagai salah satu syarat mendirikan rumah panggung ini,”

Demikian dikutip dari artikel berjudul “Rumah Panggung Meranjat Cerminan Obsesi Masyarakat Dusun Kecamatan Betung Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan” oleh Devi Fitri Yanti.

Kebudayaan Betawi ternyata juga menggunakan uang logam. Hal ini diketahui dalam buku berjudul “Rumah Etnik Betawi” karya Doni Swadarma dan Yunus Aryanto. Penggunaan uang logam bisa dibaca dalam bab 5 Filosofi, Kepercayaan, dan Pantangan. Pada sub bab tentang kepercayaan dan pantangan dalam mendirikan rumah disebutkan adanya uang logam agar rezeki lancar.

Kebudayaan Jawa juga menggunakan uang logam di bawah kaki rumah. Hal ini diungkap oleh seorang arkeolog Djulianto Susantio. Ia menulis artikel berjudul “Gobog Wayang, Koin Kuno dari Jawa yang Dibawa Raffles ke London” di Kompasiana.com.

“Gobog wayang dengan bahan mengandung kuningan dan tembaga, dikenal pada abad ke-18.   Gobog wayang yang paling muda berasal dari abad ke-19, dengan gambar Semar. Sampai saat ini gobog wayang masih dipercaya di Jawa Tengah sebagai media tolak bala atau jimat. Kadang dipasang di wuwungan, tiang utama atap rumah, atau di tanam di bawah Soko Guru rumah Joglo,” ungkap Djulianto, 29 Desember 2016.

Yogyakarta juga menggunakan uang logam di kaki rumah. Keterangnya bisa ditemukan dalam buku berjudul “Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta” terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1998. Simak kutipanya berikut ini :

“Agar bagian bawah tiang, yaitu pada purus tiang yang masuk ke dalam lubang purus pada ompak dimasukkan lebih dulu logam mulia. Logam ini dahulu dipergunakan uang logam mulia. misalnya uang logam emas dan perak. Maksudnya agar purus tiang tidak mudah keropos. Di samping itu arti simbolisnya agar kelak kalau rumah itu sudah jadi akan terjadilah cahaya terang yang merupakan refleksi dari logam mulia itu. Dengan kata lain rumah tersebut tidak kelihatan gelap dan selalu berwibawa,”.

Sekian artikel tentang Uang Logam di Bawah Kaki Rumah. Semoga bermanfaat dan menginspirasi kehidupan kalian.(*)

Penulis : Wahyu Kurniawan

Editor : Wahyu Kurniawan

Sumber: petabelitung.com

Foto ilustrasi: Buku Tong Tong - Het Enige Indische Blad Ter Wereld, No. 22 - 1 Juni 1975. repro.