Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Cerita Si Kantan tahun 1920

PETABELITUNG.COM - Cerita si Kantan di Pulau Belitung sering dikaitkan dengan asal mula pulau kapal di sungai Cerucuk. Namun dalam satu versi yang ditulis tahun 1891 menunjukkan bahwa asal muasal Pulau Kapal tersebut tidak menyebutkan adanya sosok Si Kantan sama sekali. Baca : Cerita Rakyat Belitong Tentang Asal Usul Pulau Kapal di Sungai Cerucok

Lalu bagaimana hubungan Si Kantan dengan Belitung? Dalam satu buku di awal abad 20 dapatlah diketahui hubungan tersebut. Buku tersebut berjudul: Cerita Si Kantan dan Syair Pulau Belitung Oleh H. Soetan Ibrahim, diterbitkan tahun 1920 oleh Balai Pustaka. Cerita Si Kantan yang ditulis dalam buku ini mengatakan bahwa latar cerita Si Kantan berada di Sumatera Timur.

Penulisan Cerita Si Kantan menggunakan bahasa Melayu dengan ejaan lama. Agar muda dibaca, tulisan tersebut kami alih bahasakan ke Bahasa Indonesia dengan sebisa mungkin tidak mengubah makna setiap kalimatnya. Simak kisahnya berikut ini. Semoga bermanfaat.

Cerita Si Kantan

(Cerita yang sungguh sudah terjadi di Sumatera Timur)

 

Panai sebuah negeri yang tiada begitu ramai, masuk bagian Kesultanan Asahan di Sumatera Timur.

Di situ pada suatu kampung tinggallah orang miskin tiga beranak; anaknya itu bernama si Kantan yang berumur baru 16 tahun.

Kemiskinan mereka itu, tak dapat akan dituliskan dengan lebih panjang, hanya cukup kiranya, kalau kita memperhatikan di bawah ini :

Pada pagi-pagi hari, pergillah Bapak si Kantan dengan berpakaian yang teramat buruknya, masuk ke dalam hutan mengambil kayu api; petang hari barulah pulang. Kayu itu dijualnya di pasar, harganya tidak lebih dari pada 20 sen. Uang yang 20 sen sehari itulah, yang akan dibelanjakannya anak beranak.

Si Kantan, sepatutnya sudah bekerja atau berusaha apa-apa yang boleh mendatangkan rezeki kepadanya dan kepada ibu bapaknya, tetapi dari pagi hingga petang pada tiap-tiap hari, ia duduk saja bersenangkan hati di rumah, seperti orang kaya, tiada memikirkan apa-apa. Rumah itu, tiada sekali-kali boleh dikatakan baik, di atas sudah beratap langit, dindingnya yang dari kulit itu telah bercelah-celah dan tiang serta perkakas yang lain-lain sudah lapuk belaka.

Pada suatu malam, bermimpilah Bapak si Kantan, yang ia didatangi oleh seorang yang berpakaian putih serta mengatakan, supaya pagi esoknya Bapak si Kantan pergi memudiki sungai yang letaknya antara tujuh depa dari rumahnya itu. Di hulu sungai itu nanti dalam suatu rumpun bambu, ia akan mendapatkan sebuah semambu yang bercahaya-cahaya seperti intan baiduri dan kalau dijual, berharga sampai beribu-ribu rupiah.

Setelah sudah bermimpi itu, maka Bapak si Kantan itupun terbangun dari tidurnya dan hari pun kebetulan sudah waktu subuh.

Bapak si Kantan tidak tidur lagi, melainkan duduk termenung memikirkan mimpinya itu, serta berkata dalam hatinya; “Kalau terus mimpi ku ini, bolehlah senang kehidupanku anak-beranak,”. Sejurus berpikir itu, dibangunkanlah istrinya dan si Kantan yang telah tidur nyenyak. Istri dan si Kantan pun terbangun dengan terkejut, serta menanyakan: “Ada apa?”.

Setelah duduk mereka itu, maka Bapak si Kantan pun berkata: “Begini, tadi aku bermimpi, datang seorang tua yang berpakaian serba putih dan kemudian mengatakan, aku akan beruntung mendapatkan sebuah tongkat semambu intan dalam rumpun bambu di hulu sungai itu, jika pagi ini aku pergi ke sana mencarinya,”.

Setelah di dengar mereka itu, maka mereka pun menyuruh Bapak si Kantan dengan segeranya pergi ke hulu sungai itu. Ibu si Kantan turun menyediakan perahu yang kecil, lagi buruk, sedangkan si Kantan menyediakan sebilah parang kudung.

Bapak si Kantan turunlah ke perahu itu dengan pikiran yang berharap-harap, begitu pun antara kedua istri dan anaknya.

Kira-kira saat dua jam berkayuh, sampailah ke hulu sungai itu dan Bapak si Kantan lalu mengikatkan perahunya pada suatu ranting bakau; kemudian ia pun naik ke darat dengan membawa parang kudung itu. Seketika lamanya mencari itu, bertemulah ia dengan serumpun bambu yang rimbun, dan dilihat-lihatnya di antara pangkal bambu itu, kalau-kalau ada yang seperti mimpinya malam tadi itu.

Demi ia menarikkan setumpuk kulit-kulit bambu yang kering yang terselip pada rumpunnya, dengan terperanjat, dilihatnya suatu cahaya yang amat tajam menyinari matanya. Setelah tetap hatinya, didekatinyalah cahaya itu. Maka tiada salah lagi, itulah semambu yang mahal harganya.

Dengan suka cita yang bukan buatan, diambilnyalah tongkat semambu itu serta dipalutnya dengan kain basah, lalu dibawanya berkayuh pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, dibukanyalah palutan itu dan diperlihatkannya kepada anak istrinya. Setelah itu berkatalah Pak si Kantan, katanya : “Pada pikiran ku, sebaiknyalah dari hal kita beroleh semambu ini, kita rahasiakan benar-benar sebab jika diketahui raja, tak dapat tidak semambu ini akan diambilnya. Pada pikiran saya, baik tongkat ini kita jual ke Pulau Pinang, sebab di sana banyak saudagar-saudagar yang kaya,”.

Maka jawab istrinya: “Sepanjang pikiran saja pun demikian juga, tetapi siapalah yang akan kita suruh menjualnya ke sana, sedang kitapun tiada berduit untuk belanja berlayar,”. Oleh sebab khawatir rahasia tongkat itu akan diketahui orang, maka semambu itu dibungkus erat-erat dan disimpan di atas tiang tengah rumahnya.

Sekali peristiwa pada suatu hari, pergilah ibu si Kantan ke tepi sungai Panai untuk mencari sayur paku. Maka terlihatlah olehnya sebuah perahu besar, sarat bermuatan rumbia dan telah siap akan berlayar. Maka pikir Ibu si Kantan: “Baik aku pulang memberi tahu Pak si Kantan, bahwa ada sebuah perahu akan berlayar. Kalau si Kantan dapat menumpang dan berlayar ke Pulau Pinang, alangkah baiknya?.

Ibu si Kantan lalu berjalan pulang dan menceritakan pikiran dan penglihatan tadi itu. Maka kata Pak si Kantan: “Bagaimana pikiran mu Kantan? Kalau kamu suka berlayar dengan perahu itu, bolehlah ku bicarakan dengan nahkodanya,”. Jawab si Kantan: “Mana-mana Bapak suruh, akan mengikut aku ini,”.

Pak si Kantan dengan segera pergi ke perahu itu, nahkodanya bernama Encik Malik. Nahkoda Encik Malik itu adalah seorang yang rendah hati dan suka menolong kepada sesama manusia yang dalam kesusahan. Pak si Kantan berkatalah kepada Encik nahkoda itu, katanya: “Kalau sekiranya perahu tuan ini, akan berlayar ke Pula Pinang, haraplah saja, tuan beri menumpang seoarang anak saya yang akan pergi ke sana, tetapi karena saya seorang miskin, tidaklah dapat saya membayar tambangnya pada tuan nahkoda. Dari itu kalau tuansuka membawa dengan rela hati, biarlah dia menolong-nolong tuan nahkoda mengerjakan apa-apa di perahu tuan ini,”.

Mendengar perkataan Pak Kantan itu menjadilah kasihan Encik Malik dan permintaan Pak Kantan itu, diperkenankannya, serta dikatakannya, bahwa ia dua hari lagi akan berlayar.

Setelah itu Pak Kantan pun bermohon pulang dengan beberapa besar hatinya. Tidak berapa lamanya, sampailah ia ke rumahnya dan dengan gelak-gelak senyum orangtua itu menceritakan, yang permintaan pada Encik nahkoda Mali, telah diperkenankan.

Ibu si Kantan bukan buatan girang hatinya mendengar si Kantan telah dapat tumpangan itu dan ia pun pergi ke hutan-hutan mencari-cari pisang muda untuk bekal anaknya itu dalam pelayaran.

Setelah genap pada harinya, turunlah si Kantan ke perahu nahkoda Malik itu, serta sampai, diterimalah oleh tuan nahkoda itu dan ditunjukkannyalah suatu tempat untuk tempat si Kantan. Jawab si Kantan: “Baiklah tuan mana perintah hamba turut,”. Kemudian kata nahkoda itu pula : “Kalau kamu suka menolong kami dalam pelayaran ini, baik: kalau tidak pun, tidak mengapa,”.

Pukul 12 tengah hari berlayarlah perahu nahkoda Malik yang bernama “Gudang Arang” dari pelabuhan Panai itu menujukan haluan arah ke utara. Dalam pelayaran Gudang Arang itu pun tiada dihalangi mara bahaya, seolah-olah tahulah angina dan rebut itu, bahwa si Kantan dan peruntungannya dalam perahu itu. Genap 16 hari berlayar itu, sampailah ke pelabuhan Pulau Pinang serta nahkoda pun menyuruh melabuhkan sauh kepada anak perahu.

Besoknya setelah si Kantan bermohon kepada nahkoda Malik itu, maka ia pun naiklah ke darat dengan membawa serta tongkat semambunya. Maksud si Kantan datang ke Pulau Pinang, tiadalah diketahui oleh orang perahu itu, karena beberapa pun ia ditanya orang, tetapi tetaplah ia tiada hendak mengabarkan rahasianya.

Sesampainya si Kantan di darat, berjalanlah ia ke sana sini dengan tiada tentu arahnya, hanya berjalan saja dengan niat mudah-mudahan berjumpa dengan toko besar, toko emas intan dan lain-lain yang boleh tempat ia menjualkan tongkat semambunya itu.

 Setelah dua hari ia berjalan-jalan itu belumlah ia bersua dengan toko besar, sebab perjalanan si Kantan itu selalu berputar-putar saja pada lorong-lorong yang ada di tepi laut: di situ hanya ada toko-toko kecil saja, tempat orang-orang Cina berjualan serba barang pecah belah. Kesukaran si Kantan itu terutamalah ia tiada tahu mata surat untuk membaca nama satu-satu lorong di situ. Kemudian dengan petunjuk seorang Keling yang menaruh kasihan melihat si Kantan itu sudah seperti putus pengharapan rupanya, dapatlah ia meneruskan perjalanannya ke lain-lain loorng, di mana ada terdiri beberapa toko-toko besar yang bertingkat tiga, empat, dan lima.

Dengan hati dan pikiran yang tetap, dihampirinyalah sebuah toko yang bertingkat empat, yaitu, toko barang kain kepunyaan Muna Sahib Marekan, seorang saudagar Keling yang ternama masa itu di Pulau Pinang. Setelah sampai si Kantan dimuka pintu toko itu, maka penjaga pintu pun berkata: “Masuklah tuan, tuan mau beli barang apa? Di sini ada macam-macam barang, harganya pun murah,”. Berbagai-bagailah bujuk si penjaga pintu itu, supaya orang yang lalu lintas di muka tokonya , masuk ke dalam membeli apa-apa. Setelah si Kantan mendengar perkataan itu, ia pun menjawab dengan rupa ketakutan (karena belum pernah melihat barang toko dan berkata-kata dengan orang dalam kota yang sebesar itu), katanya : “Saya tiada akan membeli apa-apa, melainkan mau menjual suatu tongkat, kalau tuan hendak membeli,”.

Dengan keheranan orang Keling itu menilik si Kantan dan kemudian berkata pula: “Mana dia, saya lihat!”.

Si Kantan lalu membuka sedikit ujung bungkusan itu dan memperlihatkan kepada si penjaga pintu.

Betapa herannya orang Keling itu tak dapat dikatakan, sebab orang yang disangkanya hanya seorang miskin saja, rupanya ada mempunyai intan permata yang sebesar itu. Kemudian dengan berkata: “Tunggulah tuan,” si penjaga toko pun, masuklah ke dalam mendapatkan saudagar Muna Sahib Marekan dan menceritakan hal itu. Maka Muna Sahib pun menyuruh si Kantan masuk, maka masuklah si Kantan dengan terbungkuk-bungkuk. Sesampainya di dalam, dipersilahkanlah ia duduk oleh Muna Sahib dengan perilaku hormat, betapa adatnya orang-orang toko kepada tamunya.

Syahdan maka dengan memberanikan hati, duduklah si Kantan pada suatu Kursi, berhadap-hadapan dengan Muna Sahib.

Kemudian Muna Sahib mulai bertanya: “Apa tuan ada bawa intan?”.

Jawab si Kantan: “Ada tuan!”. “Apa boleh saya lihat?” kata Muna Sahib. “Boleh,” jawab si Kantan sambil membuka sama sekali bungkus tongkat semambu itu  dan memperlihatkan kepada Muna Sahib.

Setelah dilihat oleh Muna Sahib tongkat itu, bukan sedikit herannya, sedang cahaya intan itu berkilau-kilauan sepenuh bilik Muna Sahib itu. Sejurus lamanya Muna Sahib pun bertanya: “ Berapa tuan mau jual barang ini?”.

Jawab si Kantan : “Berapa tuan berani beli?” Kemudian telah dikira-kira Muna Sahib, lalu katanya pula: “Saya berani beli lima puluh ribu ringgit,”. Maka kata si Kantan: “kalau betul-betul tuan mau beli, tuan bayar saja delapan puluh ribu ringgit,”.

Hatta setelah si Kantan menerima uang itu, dengan segara dan besar hatinya, pergilah ia ke sebuah gudang pakaian dan dibelinya di situ tiga persalinan pakaian yang seperti pakaian saudagar-saudagar yang dilihatnya di toko tadi itu. Kemudian dicarinya pula sebuah rumah makan, tempatnya menumpang.

Maka adalah kehidupan si Kantan waktu itu, bukannya kehidupan secara orang miskin lagi, melainkan sudah berkehidupan sebagai seoarang kaya yang pergi tamasya ke negeri lain, hingga dapatlah ia sudah beberapa orang sahabat kenalan, orang bangsawan dan bertawan di negeri itu.

Setelah genap ia empat belas bulan di negeri itu, maka atas mufakat sahabat kenalannya, kawinlah ia dengan seorang perempuan anak seorang saudagar di Kedah. Sesudah ia kawin dibelinya sebuah perahu besar yang berharga sebelas ribu, cukup dengan sekalian perkakasnya.

Maka tiada berapa lama kemudian dari pada it, ia pun berlayar dengan perahunya itu pulang ke Panai serta istrinya itu pun turut bersama-sama. Tiada berapa lamanya berlayar, sampailah ke pelabuhan negeri Panai dan perahunya pun melabuhkan sauhlah.

Sebagai mana adat di negeri itu, kalau ada perahu yang baru datang maka berkampunglah orang negeri melihat ke pelabuhan, begitu pun halnya dengan perahu si Kantan itu. Penglihatan pada perahu si Kantan, tentulah lebih menyukakan dari pada penglihatan pada perahu-perahu yang lain, karena perahu si Kantan itu, pada bagian lambungnya diukir dengan berbagai bunga-bungaan dan di dalamnya terdapat kursi meja dan lain-lain barang perhiasan.

Kabar kedatangan si Kantan dengan kekayaannya itu, terberitakanlah di seluruh negeri Panai, pun kepada ibu bapaknya. Maka berapa besarnya hati kedua orangtua itu mendengar kedatangan si Kantan, tiadalah dapat dituliskan dalam cerita ini. Maklumlah tuan-tuan pembaca, akan cintanya orangtua kepada anaknya yang telah lama tiada berjumpa.

Maka dengan besar hati dan pengharapan yang penuh berisi kegirangan, pergilah ibu si Kantan itu ke perahu anaknya dengan perahu kudung yang dahulu dipakai Pak Kantan pengambil tongkat semambu intan itu.

Setelah sampai ke tepi perahu, orang tua itu pun bertanya: “Inikah perahu si Kantan? Mana anak ku itu, aku akan bertemu dengan dia. Tolonglah katakana akan kedatangan ku, ibunya ini,”. Begitulah katanya kepada anak-anak perahu yang ada di tepi perahu. Maka oleh orang perahu, disampaikanlah perkataan itu kepada si Kantan. Setelah didengar oleh si Kantan yang kebetulan sedang berkata-kata dengan istrinya, maka berpikirlah ia: “Baiklah orangtua itu jangan kukatakan lagi orangtua ku, karena kalau ku katakana orangtua ku, malulah aku kepada istrik ku yang seperti buah penuh itu rupanya.

Patutlah orang yang sudah semulia sekaya aku ini, mempunyai orangtua yang seburuk dan sekotor itu,”.

Setelah itu berpikir demikian, lalu katanya kepada anak perahu yang menyampaikan pesan itu: “Engkau katakana kepada orangtua buruk itu, yang anaknya tiada ada di sini,”. Kemudian perkataan si Kantan itu pun disampaikan oranglah kepada ibunya yang lagi ada menunggu pada perahu kudungnya itu.

Maka setelah didengar oleh orangtua itu akan perkataan itu, bukan kepalang sedih hatinya, serta ia berkata pula kepada anak perahu itu: “Tolonglah anak katakana lagi kepada anak ku si Kantan itu, kalau pun bukan yang anak ku, mintalah datang juga sebentar ia ke sini, karena aku ingin melihat rupanya,”.

Setelah itu diberi tahukan orang pula kepada si Kantan. Demi si Kantan mendengar lagi pesan itu, maka merah padamlah warna mukanya, sambil berkara dengan marahnya: “Suruh pergi orangtua jahanam itu sebentar ini juga dari perahu ini, kalau ia tiada hendak pergi, nanti aku sendiri mengusirnya,”.

Pesuruh itu pun pergilah pula menyampaikan segala perkataan si Kantan tadi kepada ibunya itu. Setelah didengar pula oleh orangtua itu, seperti diiris dengan sembila rasa hatinya, sedih bercampur iba perasaannya. Maka waktu itu, terbitlah air matanya orangtua itu lalu menangis tersedu-sedu, kemudian oleh karena sangat sebal rasal hatinya itu, ia pun berkayuh pula ke tepi, kembali ke rumahnya.

Sesampainya dirumah diceritakannya kepada Pak Kantan, apa-apa hal yang sudah terjadi. Setelah didengar Pak Kantan, termenung takjublah ia sejurus kemudian katanya : “Kalau sudah begitu apa boleh buah, tetapi biarlah pada hari lusa aku pula pegi ke sana,”.

Setelah sampai pada lusa harinya pada pagi-pagi bekayulah Pak Kantan ke parahu si Kantan itu dengan perahu kudung itu juga. Setelah sampai, berseru pulalah ia, seperti Ma’ Kantan berseru tempo hari, tetapi tiadalah dapat jawaban suatupun tiada.

Maka kemudian pulanglah Pa’ Kantan kembali ke rumahnya, serta percaya benarlah ia, yang anaknya si Kantan itu sudah mendurhaka.

Syahdan maka tersebutlah kisah, setelah dua puluh tiga hari perahu si Kantan di pelabuhan Panai itu, pada pagi harinya, berkatalah istrinya : “Ya kakanda apalah yang kita tunggu lama-lama di sini, pada pikiran adinda, sebaiknya kita kembali ke Kedah atau ke Pulau Pinang, sebab di sana adalah sanak-saudara kita,”. “Benarlah seperti perkataan adinda itu, baiklah petang nanti kita berangkat,”.

Setelah itu si Kantan pun memerintahkan supaya disiapkan perbekalan. Pada petang harinya pukul empat sauh dibongkar oranglah, lalu perahu itu pun berlayar menuju ke muara Bangsi. Setelah sampai di muara sungai Panai itu, maka angin pun mati, hingga berbulan-bulan lamanya. Waktu musim berkisar tiada dapat berlayar, karena bukan besarnya ombak dan gelimbang. Berdengung-dengung tali lalar, hingga beberapa lamanya pula.

Kemudian terpikirlah oleh si Kantan: “Apakah sebabnya jadi begini? Inilah pembalasan dari pada Allah, yang aku telah mendurhaka kepada ibu bapak ku? Kalau demikian baiklah aku kembali minta mapun, karena jika tidak aku minta ampun akan dosa ku, tentulah akhir kelaknya dan kemana aku pergi, tidak akan mendapat selamat,”.

Setelah putus pikirannya demikian itu, diperintahkannya pula kepada seorang perahu akan kembali ke Panai. Maka dengan seketika itu juga, sebagai burung terbang perahu itu kembali menuju negeri Panai dan berlabuh ke tempat yang dahulu.

Syahdan setelah dilihatnya pula oleh orang negeri perahu si Kantan itu datang, berkerumun pulalah orang di pelabuhan, akhirnya kabar itu pun terdengar pula kepada ibu bapak si Kantan.

Maka oleh karena orangtua itu tidak mudah putus kasihnya kepada anaknya, keesokan harinya, pergi pulalah ia ke perahu anaknya itu dengan pikiran: “ Dahulu ia lupa akan aku, barangkali sekarang ia teringat,”.

Setelah ia sampai di perahu, berpesan pulalah ia, seperti yang dahulu. Tetapi sayang sesudah si Kantan mendengar pesan itu, berubah pula pikirannya, timbul pula pikiran yang durhaka bermula, hingga akhirnya sia-sia maksud Ma’ Kantan itu.

Dengan putus pengharapan, berkayulah ia ke tepi; sesampai di tepi dipercikkannya air susunya, sambil menghadap ke matahari hidup, katanya: “Ya Allah ya Tuhan ku, kalau benar ia anak ku yang sudah mendurhaka kepada ku, barang dibalaskan Allah jualah kiranya dosanya itu kepada ku,”.

Maka dengan ditakdirkan Allah ta’ala yang berlaku atas sekehendak-Nya, dengan seketika itu juga, turunlah angina badai, kilat halilintar yang bukan-bukan hebatnya, hingga air di sungai Panai itu segunung-gunung besar gelombangnya. Gelora pun turunlah dari sana sini yang mengkhawatirkan kepada sekalian jenis yang bernyawa.

Maka dengan sesaat itu juga, perahu si Kantan diambung diempaskan ombak, akhirnya tenggelamlah ke dasar bumi. Setelah itu hujan angina pun lalu berhenti.

Demi ombak dan gelombang berhenti, maka dengan sekonyong-konyong, timbullah tentang perahu si Kantan karam itu sebuah pulau, yang lalu dinamai orang Pulau Kantan. Di atas pulau itu adalah seekor beruk putih, yang disangka orang, itulah kejadian dari pada putri istri si Kantan.

Hingga sampai pada masa ini, adalah pula itu, kelihatan terang dari negeri Panai atau Labuhan Bilik.

Sungai yang di tepi rumah si Kantan itu pun, dinamai sungai Durhaka, sampai pada waktu ini. Wallahu A'lam.(*)

 

 

Penulis : Wahyu Kurniawan

Editor : Wahyu Kurniawan

Sumber: petabelitung.com