Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Sejarah Madrasah di Indonesia, Alumninya Jadi Pejuang dan Kini Namanya Diabadikan Jadi Bandara Internasional Belitung

PETABELITUNG.COM - Sehari sebelum peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-75 tahun 2020 muncul sebuah foto lawas di grup facebook Belitong Tempo Doeloe (BTD). Foto itu menggambarkan sebuah rumah panggung dengan papan nama bertuliskan: Al-Madrasatoel-Islamijjah Tandjoeng Pandan.

"Adeke nok ingat dimane ini di Tanjong e. Aku agik nyarik informasie...foto ini aku dapat dari album lamak ninek kamek," ungkap Burhanuddin Simin yang memosting foto tersebut, Minggu (16/8/2020) pukul 21.58 WIB.

Burhanudin bertanya kepada anggota Grup BTD mengenai detil lokasi madrasah tersebut di Tanjungpandan. Ia mendapat foto tersebut dalam sebuah album lawas di rumah neneknya.

Petabelitung.com kemudian berusaha mengontak Burhanuddin. Selanjutnya dalam pembicaraan terungkap bahwa dalam foto tersebut terdapat sosok Tuan Gudang. Sosoknya dalam foto tampak berdiri di tengah di sebelah seorang pria bersorban. Tuan Gudang adalah nama panggilan Abubakar Jahja, seorang kepala logistik di perusahaan timah NV.GMB pada era kolonial.

Abubakar Jahja lahir di Buding, anak dari seorang Kepala Distrik Buding bernama Ngabehi Djaija (Jaya). Belum diketahui secara pasti kaitan antara Abubakar Jahja bin Djaija dengan Madrasah Islamiah Tanjungpandan. Sebab kata Burhanuddin, semua saksi sejarah sudah meninggal dan tak banyak generasi selanjutnya yang memegang kisah madrasah tersebut.

Terdapat dua foto koleksi keluarga Burhanuddin yang menggambarkan Madrasah Islamiah Tanjungpandan. Keduanya menggambarkan dua rumah yang tampak berbeda. Burhanuddin memperkirakan salah satunya adalah rumah milik Abubakar Jahja sebelum pindah ke rumah di depan SMK Negeri 3 Tanjungpandan sekarang.

"Dulu rumah itu ada di daeler Cahaya Motor sekarang, di samping Barata. Rumahnya masih ada sekitar tahun 80-an atau 90-an, yang terakhir tinggal di situ adalah anak perempuan Tuan Gudang bersama suaminya," kata Burhanuddin Simin.


Salah seorang alumni Madrasah Islamiah Tanjungpandan ternyata adalah Bupati Belitung Hanandjoeddin. Hal ini terungkap dalam buku biografi Beliau berjudul Sang Elang Serangkai Kisah Perjuangan H.AS Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI yang ditulis oleh Haril Andersen. Kisahnya ditulis dalam Bab 15 dengan judul Madrasah Malam Hari dan Bekal Spiritual.

Pada saat itu Hanandjoeddin telah bekerja di perusahaan timah Belanda, NV.GMB. Rutinitas pekerjaan dari pagi hingga sore ternyata tak menyurutkan impian Hanandjoeddin untuk memperdalam ilmu agama Islam. 

"Pada tahun 1934 itu, di Tanjungpandan dibuka sebuah madrasah. Madrasah Al Islamiah Tandjoengpandan. Penduduk setempat lebih senang menyebutnya Sekolah Arab. Kebetulan jam belajarnya malam hari," demikian keterangan dalam buku tersebut.

Singkat kata, Hanandjoeddin pun ikut sekolah tersebut. Siang bekerja, dan kemudian malam selepas salat Magrib ia belajar di Madrasah Al Islamiah Tandjoengpandan. Kebanyak santri madrasah tersebut berusia lebih muda dibandingkan Hanandjoeddin. Kebanyakan mereka berstatus siswa Sekolah Rakyat. Bila siang mereka belajar pelajaran umum di Sekolah Rakyat, malamnya belajar agama Islam di madrasah.

"Mereka belajar Iqro, Bahasa Arab, tauhid, hukum fiqih, syariat Islam, akhlak hingga tarikh Islam (sejarah Islam) dibawah bimbingan sejumlah guru yang disebut muallim. Melalui pelajaran yang diberikan muallim madrasah inilah, Hanan akhirnya mengetahui lebih dalam tentang sejarah Islam,"

Pelajaran sejarah yang diberikan tidak sebatas hanya pada sejarah Islam abad ke-7. Tapi juga termasuk sejarah masuknya ajaran Islam di Indonesia. Madrasah ini juga mengajarkan kisah perjuangan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam. Diajarkan pula kisah para Sahabat, yakni Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Bahkan pelajaran sejarah Islam di madrasah ini juga mengajarkan keadaan Islam pada masa kekhalifahan Bani Umayyah hingga akhirnya tersebar ke seluruh dunia.

Cerita muallim madrasah tentang khalifah Umar bin Khatab memberikan kesan tersendiri bagi Hanandjoeddin. Kisah itu kerap terngiang-ngiang dalam benaknya. Sikap konsisten khalifah yang dijuluki Amirul Mukminin itu dalam memimpin masyarakat, sungguh pantas untuk diteladani. Hanandjoeddin pun diam-diam mengagumi karakter Umar bin Khatab tersebut.

"Banyak pelajaran yang bisa dipetik Hanan saat menimba ilmu di Madrasah Al Islamiah Tandjoengpandan. Meski masa pendidikanya hanya berlangsung tiga tahun atau sebatas kelas rendah, keberadaan madrasah itu sangat berarti bagi anak-anak pribumi Belitong masa itu," demikian keterangan yang dikutip dalam buku biografi Hanandjoeddin tersebut.

Dikisahkan pula bahwa keberadaan Madrasah Al Islamiah Tandjoengpandan tidak berlangsung lama. Entah karena alasan apa, kegiatan madrasah tersebut kemudian berhenti pada tahun 1937. Akibatnya, para murid termasuk Hanandjoeddin yang sudah tiga tahun belajar tak sempat mendapatkan ijazah.

Seperti yang diketahui, Hanandjoeddin kemudian hari tumbuh sebagai seorang pria pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Pada tahun 1946 Beliau mengemban tugas sebagai Letnan I TKR Divisi III Angkatan Darat. Sampai kemudian Beliau menjadi Bupati Belitung pada tahun 1967-1972. Nama Beliau diabadikan menjadi nama Bandara Internasional Hanandjoeddin di Tanjungpandan, Belitung pada tahun 2016 lalu. Hanandjoeddin juga sempat diusulkan sebagai Pahlawan Nasional dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

"Kelihatannya sekolah madrasah itu memang membawa kesan tersendiri bagi Pak Hanan. Hal ini terlihat setelah beliau jadi Bupati Belitung, mengupayakan pembangunan gedung SD Islam di Kampung Parit. Sekarang jadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Tanjungpandan dibawah Kemenag," ungkap Haril Andersen kepada petabelitung.com, Selasa (18/8/2020).

Bupati H.AS Hanandjoeddin berfoto bersama para pejabat di Kabupaten Belitung.

Mengenai Sejarah Madrasah di Indonesia bisa dilihat salah satunya dalam tulisan berjudul Sejarah Perkembangan Madrasah di Indonesia. Tulisan itu ditulis dalam INSANIA|Vol. 14|No. 3|Sep-Des 2009|560-579 Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan oleh Supani, Master of Arts (M.A.), dosen tetap Jurusan Hukum Islam (Syari’ah) STAIN Purwokerto. Simak kutipannya berikut ini :

Kemunculan dan perkembangan madrasah di Indonesia tidak lepas dari adanya gerakan pembaruan Islam yang diawali oleh usaha sejumlah tokoh intelektual agama Islam yang kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam baik di Jawa, Sumatra, maupun Kalimantan.19 Organisasi sosial keagamaan yang menerima sistem pendidikan modern di Indonesia kemudian berlomba-lomba mendirikan madrasah yang tersebar di berbagai wilayah. Namun, sulit sekali memastikan kapan tepatnya istilah madrasah itu dipakai di Indonesia dan madrasah mana yang pertama kali didirikan. Tim penyusun Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia dari Dirjen Binbaga Depag RI menetapkan bahwa madrasah yang pertama kali didirikan adalah Madrasah Adabiyah di Padang (Sumatra Barat) yang didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada tahun 1909.M. Terlepas dari apa yang ditetapkan Tim dari Depag RI tersebut, terdapat data bahwa sebelum tahun 1909 itu telah didirikan madrasah oleh organisasi Jam’iyyatul Khoir pada tahun 1905 M, kemudian di Surakarta pada tahun 1905 M didirikan Madrasah Manba’ul ‘Ulum oleh R. Hadipati Sosrodiningrat atas gagasan dan perintah Paku Buwono IX dengan masa belajar sampai 12 tahun. Di Surabaya berdiri Madrasah Nahdlatul Wathan, Madrasah Hizbul Wathan dan Madrasah Tasywirul Afkar. Di Minangkabau didirikan Madrasah Diniyyah (1915) oleh Zainuddin Labay El-Yunusi, dan Madrasah Diniyyah Putri (1923) oleh Rahmah El-Yunusiyyah. Selain itu, berdiri pula Madrasah Sumatra Thawalib (1916) yang merupakan pengembangan dari Surau Jembatan Besi.

Madrasah di Indonesia berkembang setelah berdirinya organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan, seperti Jam’iyyatul Khair (1905), Muhammadiyah (1912) oleh K.H. Ahmad Dahlan [1869-1923]), Al-Irsyad (1913) oleh Ahmad Ibn Muhammad Surkatî al-Anshâri [w.1943]), Mathla’ul Anwar (1916) di Banten, Persis (1923) di Bandung oleh Haji Zamzam (1894-1952) dan Haji Muhammad Junus serta Ahmad Hassan (1887-1958), Nahdlatul ‘Ulama (1926) oleh K.H. Hasyim Asy’ari, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1928), dan al-Jami’atul Washliyyah (1930).

Demikain uraian singkat mengenai sejarah madrasah di Indonesia. Semoga bermanfaat.(*)

Penulis: Wahyu Kurniawan

Editor : Wahyu Kurniawan

Sumber: petabelitung.com