Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Resensi Buku De Eerste Jaren Der Billiton-onderneming


PETABELITUNG.COM - Judul: De Eerste Jaren Der Billiton-onderneming
Penulis: John Loudon
Penerbit:J.H. De Bussy
Tahun terbit: Amsterdam 1883
Cetak ulang: Nabu Press
Tahun cetak ulang : USA 5 Oktober 2011
Tebal halaman: 115 halaman

            Buku yang berjudul De Eerste Jaren Der Billiton-onderneming ini adalah buah pena dari John Francis Loudon. Buku tersebut berisikan pengalaman seorang John Loudon tentang pergumulannya dengan timah yang ada di Pulau Belitung. Buku ini ditulis oleh John Loudon dengan gaya catatan harian (logbook). Melalui buku ini kita bisa menilik bagaimana upaya penyangkalan John Loudon dan timnya terhadap berbagai klaim yang muncul soal kenihilan timah di Belitung. Berbagai upaya negasi (penyangkalan) tadi, telah berhasil mengukuhkan John Loudon sebagai seorang pionir usaha pertambangan besar di Belitung. Melihat latar belakang Loudon yang demikian, maka buku De Eerste Jaren Der Billiton-onderneming yang ditulis olehnya menjadi sesuatu yang tidak bisa ditampikan sebagai khazanah sejarah Pulau Belitung.

Bersua dengan Baron van Tuyll: Awal Mula Pergulatan John F. Loudon dengan Timah Belitung

            Pembahasan buku ini dimulai dengan narasi soal pertemuan John Francis Loudon dan Baron van Tuyll. Pertemuan ini terjadi pada tahun 1849. Pada pertemuan tersebut, banyak dibicarakan tentang keberadaan timah di Pulau Belitung. Baron van Tuyll juga menyampaikan bahwa dirinya dan Pangeran Hendrik sudah mengajukan konsesi kepada pemerintah Belanda terkait eksploitasi timah di Belitung. Kemudian pada bulan Oktober 1850, John Loudon yang tengah berada di Paris mendapatkan kabar bahwa dirinya ditunjuk oleh Pangeran Hendrik sebagai penanggung jawab atas usaha perintisan pertambangan timah di Belitung. John Loudon dalam tugas barunya ini dibekali dengan dana setengah juta Gulden. Sembari menunggu keberangkatannya ke Hindia Belanda, John Loudon terlebih dahulu menuju Cornwallis, Inggris demi mempelajari cara pengelolaan timah, peleburan, dan lain sebagainya.

Berangkat ke Hindia Belanda: Perasaan John Loudon yang Sempat Sayu

            Pada buku De Eerste Jaren der Billiton-onderneming (1883: 7-8), John Loudon dan Baron van Tuyll bertolak ke Batavia dari Southampton, Inggris pada 18 Januari 1851. Saat kapalnya telah sampai di Singapura, John Loudon menerima kabar dari Dr. Croockewitt —seorang peneliti yang ditugaskan— bahwasanya Pulau Belitung nihil akan kandungan timah. Pada bukunya itu, John Loudon menuangkan perasaan sedih dirinya dan kolega saat mendengar laporan penelitian tersebut. Akan tetapi John Loudon beserta koleganya tidak patah arang. Sesampainya di Batavia —pada 12 Maret 1851, John Loudon segera mengirimkan Corneelis de Groot untuk melakukan penelitian ulang tentang keberadaan timah di Belitung.

            Sementara itu sambil menunggu hasil penelitian de Groot, John Loudon mengisi waktu luangnya di Batavia dengan menyelidiki berbagai arsip dan keterangan mengenai Pulau Belitung. Lamun, hasilnya tetap sama. Catatan soal eksistensi timah Belitung masih nihil. John Loudon lagi-lagi tidak patah semangat. John Loudon terus mencari keterangan hingga kemudian mendapati bukti dari Kapten Kuhn yang pernah bertugas di Belitung. Kapten Kuhn bersaksi, bahwa dirinya melihat sendiri penggalian dan peleburan timah oleh penduduk lokal Belitung. Berdasarkan kesaksian dari Kapten Kuhn ini, John Loudun menjadi yakin bahwa Belitung memang memiliki kandungan timah. Untuk itulah John Loudon beserta koleganya bertolak ke Muntok, Bangka (12 Juni 1851) terkait penelusuran lebih jauh soal Belitung. Pada tanggal 18 Juni 1851, John Loudon pergi menemui kepala pelabuhan (syahbandar) Muntok. Melaluinya diperoleh keterangan, bahwa syahbandar Muntok sering mendengar dari pedagang yang singgah tentang timah Belitung. Lantas, John Loudon semakin yakin dan memutuskan untuk berlayar ke Pulau Belitung.

John Loudon Tiba di Pulau Belitung (1851) dan Deskripsinya Tentang Pulau Belitung

            Menurut catatan John Loudon (1883: 15), dirinya dan kolega tiba di Belitung, tepatnya Tanjungpandan pada 27 Juni 1851. Sebelum menuliskan lebih jauh soal aktivitasnya di pulau ini, John Loudon terlebih dahulu memaparkan Pulau Belitung secara umum, seperti tentang sejarahnya, kehidupan sosial-ekonomi, dan kondisi demografi.

            John Loudon menjelaskan bahwasanya hingga tahun 1812, Pulau Belitung—bersama dengan Bangka —menjadi wilayah kekuasaan Palembang. Setiap tahun, Pulau Belitung harus mengirimkan upeti kepada sultan Palembang berupa 1.000 batang besi, 50 tikar, 2 kati[1] garu, 2 kati lilin, dan lain-lain. Selanjutnya pada tahun 1821, Pulau Belitung diambil alih oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada saat John Loudon berlabuh (1851), adminastrasi di Pulau Belitung terbagi atas beberapa distrik, seperti distrik Tandjong Pandan, Sidjok, Boeding, Badau, Blantoe, dan Lingan[2]. Distrik-distrik tersebut dikepalai oleh seorang ngabehi, terkecuali distrik Tandjong Pandan dan Lingan yang dikepalai oleh depati. Jabatan ngabehi diangkat langsung oleh depati melalui persetujuan terlebih dahulu dengan Hindia-Belanda. Antara jabatan ngabehi dan depati, terdapat privilese (hak istimewa) yang berbeda. Tiap tiga bulan sekali, seorang depati memperoleh subsidi dari pemerintah, berupa f 600, 81,5 pikul[3] beras, dan 90 pikul garam. Seorang depati juga membawahi polisi sebagai pembantunya. Beda halnya dengan ngabehi, yang hanya memperoleh 30 sen dan itu pun dari pajak penduduk. Lantas, jelaslah bahwa jabatan ngabehi tidak memperoleh privilese seperti depati. Akan tetapi, privilese yang dimiliki depati membuat mereka cenderung semena-mena. Depati hampir selalu memberikan hukuman, berupa uang. Jarang sekali penahanan. Pernyataan tersebut keluar dari mulut John Loudon dalam bukunya (1883: 16-17). Bagi John Loudon, hal tersebut terjadi karena kekuasaan depati waktu itu kurang terkontrol oleh pemerintah.

            Selain Belitung daratan, John Loudon juga menerangkan hal yang berkaitan dengan pulau-pulau di sekitar Belitung. Semisal Pulau Mendanau. Dikatakan oleh John Loudon (1883:16), bahwa Pulau Mendanau —termasuk wilayah administrasi Tandjong Pandan— dihuni sementara (tidak menetap) oleh orang-orang Belitung. Di Pulau Mendanau, mereka bertani sawah.

            Dalam bukunya, saat berlabuh di Belitung, John Loudon juga mencatat soal komposisi penduduk Belitung yang telah terklasfikasi. Klasifikasinya soal penduduk Belitung meliputi Orang Darat/orang Belitong, orang timur asing dan Melayu, orang Cina, dan Orang Laut/suku Sekak. Orang Darat/orang Belitong menduduki tingkat paling tinggi dalam hal jumlah penduduk, yakni 3.531 jiwa. Disusul Orang Laut/suku Sekak; 1654 jiwa, orang timur asing dan Melayu; 351 jiwa, dan orang Cina; 28 jiwa (1883: 18).

Penemuan Langsung Timah oleh John Loudon

            Setelah sekian hari di Pulau Belitung, John Loudon memperoleh kabar dari seorang koleganya, Den Dekker tentang penemuan timah oleh dirinya. Kemudian pada tanggal 30 Juni 1851, John Loudon dan tim pergi langsung ke lubang di mana Den Dekker melakukan penggaliannya. Dari lubang itu dilakukan penelitian secara intensif dan teratur. Lubang penggalian tersebut berada di dekat blok granit sekitar hilir Sungai Siburik. Dengan ditemukannya timah di sekitar Siburik, John Loudon dan tim terus melakukan penggalian pada berbagai daerah di Belitung. Hingga pada akhirnya, John Loudon menemukan sebuah titik penggalian Lissong Batang[4] yang cukup banyak timah. Dengan ditemukannya titik Lissong Batang ini, John Loudon menjadi semakin yakin untuk menerima hak konsesi secara penuh dari pemerintah (7 Desember 1851). Pada 17 Januari 1852, John Loudon berhasil menarik cukup banyak kuli Cina untuk bekerja di usaha pertambangannya. Berangkat dari hal tersebut, jejak eksploitasi besar-besaran timah Belitung telah dimulai. Pionirnya ialah—tak lain dan tak bukan, John Loudon dan teman-temannya.

            Begitulah catatan seorang John Loudon soal pergulatannya dengan timah di Belitung. Hari-hari pertamanya selama di Belitung, banyak dihabiskan untuk memuaskan ambisi dalam membuktikan keberadaan timah di Belitung. Buku ini kemudian juga menjadi penting untuk mengetahui kondisi Belitung, terkhusus sekitar awal hingga pertengahan abad ke-19. Hal ini dikarenakan John Loudon ikut menyelipkan kondisi Belitung dan penduduknya di buku De Eerste Jaren Der Billiton-onderneming. Walaupun, sudah pasti tentu penggambarannya soal Belitung menggunakan sudut pandang asing (orang luar Belitung). Selain itu sebagai sebuah buku dengan gaya penulisan logbook (catatan harian), jelas apa yang diungkapkan dalam buku ini kental nuansa subjektifitas John Loudon. Oleh karena itu, pembaca diharapkan bisa menjernihkan hal demikian sehingga mampu memilah antara opini atau fakta.(*)



[1]Kati adalah satuan ukuran yang berbobot 6,25 ons.

[2]Penulisan nama distrik menggunakan ejaan asli seperti yang ada dalam catatannya (buku) John  Loudon.

[3]Pikul adalah satuan ukuran yang berbobot 62,5 kg.

[4]Mengikuti ejaan asli di buku.



Penulis : Dony Agustio Wijaya
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber: petabelitung.com