Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Catatan Mengenai Kapal Pinisi di Belitong, Ada Kisah Pelayaran dari Manggar ke Singapura

PETABELITUNG.COM - Semalam, Senin (19/9/2022) mendadak saya agak terusik dengan Pinisi. Padahal agenda kajian koleksi museum sedang berjalan.Namun sekali terusik, maka saya akan mencarinya sampai kantuk menjemput dan kadang sampai mengeyampingkan agenda sendiri.

Faktanya sekarang, Museum Maritim Belitung memiliki koleksi replika perahu Pinisi. Perbandingan ukurannya adalah 1:1 yang berarti ukuran ini sesuai dengan aslinya, sesuai seperti yang dulu dipakai oleh pelaut tradisional. Bahkan 'empunya' memastikan perahu ini dalam posisi siap berlayar jika diperlukan.

Ada yang bertanya mengapa replika perahu ini sampai ditempatkan di Belitong? Mengapa harus Belitong? Padahal ilmu pembuatan perahu ini sudah umum dikenal berasal dari Sulawesi Selatan. Bahkan kemudian Seni Pembuatan Perahu di Sulawesi Selatan tersebut ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia oleh UNESCO.

Kami sudah pernah mengulas perahu pinisi sebelumnya di portal Peta Belitung. Laporan kolonial tahun 1862 mengindikasikan Pinisi pertama justru tercatat dari Belitong, namanya ditulis "Pinisch" (baca: pinis). Penulisan ini sangat mendekati nama yang kita kenal sekarang yakni Pinisi. Para pengkaji Pinisi lantas gamang. Sebab dalam daftar registrasi kendaraan laut asal Makassar abad ke-19 belum ada pinisi di Sulawesi.

Baik.

Bagaimana dengan Belitong?

Pertama, tidak ada legenda tentang perahu Pinisi di Belitong.

Yang ada itu cerita rakyat tentang kapal pecah yang kemudian pecahannya menjadi Pulau Belitong dan tiang-tiangnya menjadi pulau-pulau kecil di sekitarnya. Selain itu ada pula cerita rakyat tentang asal mula Pulau Kapal di aliran sungai Cerucok, yang mirip seperti Cerita Si Kantan yang ditulis oleh guru asal Padang di Tanjungpandan pada tahun 1920. Ada pula legenda pulau Campang Kemudi di Tanjung Kelumpang. Bahkan Raja Berekor dikisahkan balap-balapan menggunakan kapal dengan seekor burung sebelum sampai ke sungai Buding. Artinya sejak kanak-kanak, Urang Belitong telah akrab dengan kapal. Sebab cerita rakyat atau legenda dituturkan oleh para orangtua kepada generasi muda.

Kedua, mengenai catatan. Kami bersyukur semalam membaca lagi Syair berjudul Saer Perjalanan Toen JF Den Dekker dan anaknya L.Den Dekker. Ditulis pada tahun 1884 s.d 1888 di Manggar Belitung oleh: Datok Entjik Mohammad Arsyad bin Entjik Landoed (Orang Sidjok). Syair ini diketik ulang oleh SalimY.A.H dan ditamatkan pengetikannya pada hari Senin, 28 september 2014 di Tanjongpandan Belitong.

Dalam syair ini terdapat bait yang mengisahkan perahu Pinis. Latar kisahnya adalah perjalanan Pak Itam Jangkat pergi ke Singapura untuk memenuhi perintah kepala distrik tambang Manggar J.F. den Dekker mencari tukang bangunan. Tidak disebutkan tahunnya. Namun merujuk pada catatan kolonial, kisah tersebut terjadi dalam kurun tahun 1864-1870. Kisah kapal Pinisi itu dimulai dari bait ke 112, simak baik-baik :

112

Toeanpoen soeka tijada terkira

Mendengarkan sahabat poenja bitjara

Pak Itam diperintah dengan segera

Di soeroeh berlajar ke Singapoera


113

Perintah toean perloe dengari

Ke Singapoera nama negeri

Segala perintah diangkat sekali

Bersijap perahoe penis serta kelasi


114

Soedahlah kelar penis serta orang

Teroes mengadap toean terbilang

Mempersembahkan hal ijang terang

Hendak berlajar kaloe tijada berhalang


117

Pak Itampoen menerima perintah

Serta bermoehoen hendak berlajarla

Memberi alamat dengan segera

Berlajar ke Tandjoeng Pandan mesti singgah


118

Tijada berapa hari perahoe dilajarkan

Sampailah soedah ke Tadjoeng Pandan

Toean sahbandar segera didapatkan

Mengatakan segala ada moeatan


119

Pak Itampoen teroes laloe betjara

Moehoenkan pas dengan bersegera

Hendak berlajar ke Singapoera

Moeatan barang bermatjam perkara


120

Toeroen ke parahoe djoeragan sekali

Pinispoen soedah hendak dilajari

Djoeragan pak Itam segera kende

Membongkar tali djangkar sekali


121

Djangkar habis soedah terbongkar

Segera djoega memboeka lajar

Haloean kebelaang kelasi berkedjar

Menarik tali haloes dan kasar


122

Lama dilaoet tijada koeseboetkan

Hambapoen tijada pergi mengikoetkan

Sekedar djoega mendengar perkataan

Makloemlah berlajar dalam laoetan


123

Tijada dapat hendak dikira

Berlajar ladjoe angin tenggara

Sampailah soedah perahoe keSingapoera

Moeatan didjoeal dengan segera


124

Moeatan segala habis didjoealkan

Seperti perintah hendak didjalankan

Mentjari orang padoeka toean soerohkan

Dapatlah soedah Djawa dan Bawian


125

Orang ditjari soedahlah dapat

Membelit dagangan apa ijang terdapat

Soedah dibeli teroes bermoeat

Perahoepoen soedah berisi sarat


126

Habislah dimoeatkan segala barang

Disoerohlah toeroen segala orang

Hendak berlajar djoega sekarang

Ke negeri Belitoeng kembali poelang


127

Berlajarlah perahoe dari Singapoera

Loewan menoedjoe timoer menenggara

Djoeragan dagangan bermatjam perkara

Merikin dagangan bermatjam perkara


128

Berlajar di laoet beberapa hari

Beloemlah tampak poelaoe dan negeri

Sangatlah soesah didalam hati

Angin dari loewan sehari-hari


129

Tijada terseboet lamanja itoe

Ada kepada hari soeatoe

Tampaklah di ahloewan goenoengnja tentoe

Njatalah Belitoeng negerinya itoe


130

Njatalah soedah negeri Belitoeng

Perahoepoen ladjoe seperti boeroeng

Djeraganpoen segera mengambil teropong

Terlihatlah segala telo dan tanjoeng


131

Sampailah perahoe keTandjoeng Pandan

Djangkar di boeang lajar ditoeroenkan

Djoeragan segera toeroen ke sampan

Toean sahbandar segera didapatkan


132

Djoragang mengadap toean sahbandar

Segala moeatan diberi habar

Minta permisi mana barang di bongkar

Hendak segera poelang ke Manggar.


Dalam kurun waktu tersebut tercatat nama-nama juragan Pinis di Belitong yakni Intje Aboe, Intje Rachmat, Intje Dris, dan Tjen Kang Ngie. Sebelumnya dalam tahun 1862 selain dari tiga nama pertama terdapat pula nama Hadjie Alie dan Lim Amoei.

Siapa pembuat kapal-kapal Pinisi di Belitong dapat diperhatikan lewat catatan harian J.F. Loudon pada tahun 1852.


"Perahu baru yang saya pernah pesan dan telah saya terima, saya suruh bongkar dan dari kayu parak itu, dengan diulang oleh seorang penduduk asli di Belitung yang ahli membuat kapal layar, dibuat satu kapal layar kecil. Besinya yang diperlukan berasal dari kapal-kapal yang kecelakaan di selat Gaspar dekat Poeloe Liat bahkan dua meriam yang dipasang di kapal layar, juga berasal dari kapal-kapal itu. Saya tidak ada tembaga untuk melapisnya maka itu saya pergunakan seng. Kapal tersebut yang diberi nama “Sri Blitong” kelihatannya tidak jelek, dapat memuat 300 pikol, berlayarnya cepat dan banyak berjasa antara Belitung dan Jakarta, sampai di 1860 menurun."


Jelas Loudon menyebut ada seorang penduduk asli di Belitung yang ahli membuat kapal layar. Untuk menyikapi catatan Loudon perlu memperhatikan catatan Cornelis de Groot tentang penduduk asli Belitong. De Groot mengatakan sebagian penduduk asli Belitong adalah keturunan Lingga, Bugis dan Makasar. Lalu perhatikan pula catatan F.W. Stapel yang menyebutkan bahwa setelah tahun 1680 hubungan Belitong dan Batavia terputus.

"Ialah semasa Bangka dan Belitung menjadi sarang penyamun, yakni tempat berkumpulnya perompak-perompak dari Makasar dan Bugis," demikian kata Stapel dalam bukunya.

Label penyamun tentu diambil dari perspektif VOC. Yang jelas faktanya adalah Belitong merupakan tempat berkumpul para pelaut Makasar dan Bugis sejak abad ke-17. Wajar bila ada anak cucu keturunannya bermukin di Belitong dan kemudian dipandang sebagai Urang Belitong pada abad ke-19, dan mewarisi ilmu perkapalan tradisional nenek moyangnya, lalu kemudian memodifikasinya sesuai pesanan dan kebutuhan zaman. Modifikasi bisa pula terjadi karena penggabungan teknologi tradisional dari dua kebudayaan yang berbeda, bisa jadi Bugis-Lingga.(*)

Penulis : Wahyu Kurniawan