Ikat Kepala Getang Pakaian Tradisional Masyarakat Belitong
PETABELITUNG.COM - Pulau Belitung
sejak dahulu telah disinggahi oleh berbagai macam etnis suku dari penjuru
Nusantara, bahkan mancanegara. Etnis Melayu, Bugis, Jawa, Sekah, Hingga Iranun
yang berasal dari Mindanau Filipina Selatan tercatat dalam sejarah telah
menjadi bagian dari populasi penduduk Belitung pada abad ke-18. Para penyintas
tersebut ada yang menetap dan menjadi leluhur bagi kita, generasi Belitung saat
ini. Kemudian setiap kelompok suku membawa pengaruh budaya yang diwariskan dari
generasi ke generasi, salah satu yang kita bahas kali ini adalah budaya etnik
Melayu.
Berbicara tentang budaya Melayu,
ada satu hal yang menarik untuk di kupas, yaitu seni budaya berpakaian. Seorang
seniman legendaris Belitung almarhum Abdul Hadi bahkan mengekalkan pengetahuan
tentang pakaian adat kita melalui lirik lagu yang mudah diingat oleh siapapun
hingga saat ini. “ Pakai baju’ Seting , Selindang Mentok kain betabur,”.
Itulah sekilas secara umum
mengenai pentingnya melestarikan budaya berpakaian adat Melayu Belitong sebagai
identitas dan karakteristik manusianya. Salah satu kelengkapan pakaian yang
sangat penting bagi laki-laki Melayu yaitu destar atau penutup kepala. Mengutip
dari buku “ DESTAR Alam Melayu (Asal-usul, sejarah dan penggunaan)” tulisan
Johan Iskandar (penerbit: Akademi Seni Tradisional Warisan Melayu ) disebutkan bahwa destar ialah semua jenis hiasan kepala yang penting dalam busana Melayu. Destar mempunyai banyak jenis pecahan lagi seperti tanjak, tengkolok
lelaki, tengkolak perempuan, getam/getang, songkok dan semutar.
Setiap macam destar tersebut
memiliki maksud tersendiri didalam penggunaannya, tersirat rahasia, adab
pergaulan dan makna-makna khusus. Di dalam buku tersebut dikatakan destar boleh
digunakan untuk sebutan mewakili semua jenis hiasan kepala baik tengkolok, tanjak, getang maupun semutar. Penjelasan ini perlu disampaikan untuk
meluruskan kesalahpahaman dan silang pendapat diantara penggiat budaya saat
ini. Penulis sangat tertarik dengan
salah satu jenis destar yaitu getang atau getam. Lantaran melihat beberapa
koleksi foto-foto yang merekam potret masyarakat Belitung di era awal masuknya perusahaan tambang Belanda, N.V. Billiton Maatschappij.
Sebagai contoh misalnya foto
koleksi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan daerah Kabupaten Belitung tertanggal 25 September
1925, Memperlihatkan para Lurah di Belitung dengan pakaian adat resmi. Semuanya
mengenakan destar, dengan berbagai macam variasi. Mayoritas mengenakan getang/getam. Yaitu jenis destar khas lelaki Melayu berbahan kain lemas yang
dililitkan beberapa lapis/putaran dan di reka sedemikian rupa di atas kepala.
Selain foto tersebut, masih ada beberapa lagi foto-foto yang memperlihatkan
bahwa destar berjenis getang/getam adalah pakaian umum yang dikenakan
sehari-hari maupun acara-acara khusus oleh para pria di Belitung saat itu.
Budaya ikat kepala getang atau getam dapat dijumpai di wilayah Melayu semenanjung, Kelantan, Johor hingga
daerah Pattani di Thailand selatan. Sedangkan di Nusantara, getang juga dikenal di wilayah kepulauan pesisir pantai timur Sumatera hingga pantai barat
Kalimantan Ketapang, Kayong dan Sambas.
Dari tempat asalnya di semenanjung Melaka, budaya destar dibawa oleh perantau Melayu ke wilayah
persebaran yang telah disebutkan sebelumnya. Tidak terkecuali pulau Belitung.
Seorang sarjana Inggris Donald J. Goudie dalam tesisnya “A critical Edition
of The Syair Perang Siak” menyebutkan, saat terjadi pertentangan antara Sultan
Mahmud dan Raja Alam di Siak Inderapura , maka Sultan Mahmud sebagai pihak yang
kalah menyingkir ke Pelalawan pada tahun 1791 dan kemudian dievakuasi ke Pulau
Billiton (Belitung) dengan maksud melanjutkan perjalanan ke Kalimantan setelahnya.
Jelaslah bahwa, para pionir
Melayu rantau ini yang secara nasab masih bertalian dengan kerajaan Malaka
membawa serta adat istiadat Melayu yang sangat kental. Bagian dari kelompok
penyintas ini berbaur dengan penduduk asli Belitung sehingga tidak heran jika
saat ini kita menyaksikan mayoritas masyarakat Belitung mengiktirafkan diri
sebagai orang Melayu, serta memiliki ciri khas budaya Melayu secara umum, namun
memiliki keunikan tersendiri lantaran interaksi dengan budaya suku-suku lain
yang hidup berdampingan dalam rentang abad lamanya.
Kembali ke pembahasan destar
penutup kepala, ada satu pertanyaan yang menggugah untuk diungkap yaitu,
mengapa di Belitung kita tidak menjumpai tanjak Melayu yang berdesain agung dan elok semisal di wilayah Riau maupun Semenanjung? Bukankah para perantau
tersebut adalah bangsawan Melayu yang pantas mengenakan pakaian-pakaian
kebesaran. Melihat latar belakang datangnya rombongan orang Melayu ini sebagai
perantau bebas, ataupun bangsawan yang menyembunyikan identitas diri, dapat
dipahami adalah bijak untuk tidak mencolok dan terlalu menampakkan status.
Sehingga pada penampilan keseharian pun, mereka memilih mengenakan pakaian
masyarakat biasa. Lama kelamaan, Kebiasaan mengenakan getang ini pun menurun
kepada generasi-generasi sesudahnya.
Getang atau getam adalah jenis
destar yang dipakai sehari-hari oleh laki-laki Melayu pada umumnya. Sama halnya
dengan tengkolok dan semutar Ia terbuat dari sehelai kain lepas dengan panjang
sedepa atau lebih, lebarnya biasanya sekitar setengah depa. Berbahan kain katun
baik yang halus maupun yang kasar, terkadang ada yang memakai bahan kain cual
atau pun kain tenun mewah. Tidak seperti tanjak yang memiliki tata aturan
lipatan, silih susun nan rumit serta ikatan kunci, mengenakankan getang ini
sangatlah sederhana yaitu dililit dan disimpit, dan ada pula yang dililit lalu
diikat.
Penulis bersyukur masih
mendapatkan keterangan dari seorang sepuh yaitu nenek Halipah yang semasa kecilnya
pernah tinggal di Desa Tanjung Rusa, dan kemudian menikah dengan orang Pulau
Mendanau, Kecamatan Selat Nasik. Dari penuturan Beliau langsung, ia masih
menyaksikan sendiri kebiasaan kaum lelaki di dua wilayah yang disebutkan diawal
mengenakan getang dalam kehidupan sehari-hari. Bekerja di hutan, kebun, ladang
ataupun melaut dengan getang melekat di kepala sebagai pelindung dari terik
panas dan menyerap keringat di dahi. Begitupun saat sembahyang, bertamu atau
menghadiri majelis ramai maka dipakailah getang dengan kain yang lebih baik dan
rapi lilitannya. Untuk jenis yang terakhir disebutkan sebagian ada yang
menyebutnya tengkulok, ada juga yang menyebutnya sereban, dan seringkali tetap
disebut dengan getang.
Gambar-gambar yang ditunjukkan
di atas misalnya, adalah contoh dari penduduk bumiputra Belitung pada tahun 1920-an
mengenakan getang untuk suatu acara yang bersifat formal. Begitupula halnya
untuk kegiatan lain semisalnya berlaga tanding dalam permainan beripat. Dua
orang petarung akan mengenakan ikat kepala getang sebagai pelindung kepala.
Bukan kebetulan, karena sesungguhnya para pendekar Melayu di zaman dahulu,
lebih memilih mengenakan getang kain lepas di kepala mereka lantaran ringkas dan
fungsional. Terkadang sehelai kain getang dalam keadaan darurat bisa digunakan
untuk membebat luka, atau diikatkan dengan batu sebagai buntilan senjata.
Dikutip dari Buku "Herinneringen Aan Blitong" yang ditulis Cornelis De Groot, dalam Bab IV ia menjelaskan cukup detil tentang ciri-cara berpakaian masyarakat Belitong pada dekade akhir tahun 1800an sebagai berikut:
“Dalam berpakaian Orang-Darat tidak berbeda dengan orang Melayu. Jarang seorang Kepala memakai sandal dan tiada yang memakai sepatu. Sebuah jas lakon hitam tertutup tinggi dengan kerah berdiri adalah kemewahan untuk seorang Kepala, ikat kepala untuk laki-laki dan lain-lain pakaian untuk kedua jenis adalah katun putih atau berwarna, tetapi kerah pada baju dari bumiputra biasa harus dibalik. Di luar rumah laki-laki biasanya memakai celana pendek lebar, yang diikat dengan sebuah gesper terikat di atas pinggangnya, di atas mana sebuah kain sarung setengah digulung dan setengah digantung sampai di atas lutut, dipaut oleh gelungan sekeliling badan. Seutas tali dari kulit pohon atau rotan dianyam dengan kancing dari batok kelapa, pada mana ia gantungkan parangnya. Di atas kepala dililitkan kain dari warna putih, biru dan hitam katun berbunga. Kalau pribumi pergi ke Tanjung-Pandang (Tanjungpandan), maka suami biasanya memakai parang dan lagi pula ia berjalan dengan tombak pendek di tangan kanan dengan ujungnya, yang ditutup dengan sarung kayu, menghadap ke atas.
Jika perempuan pergi sendirian, maka ia yang berjalan di depan menaruh lengannya bersilang dengan di tangan kanan sebilah pisau terhunus. Keris panjang, model khas Blitong dipakai Orang-Darat hanya kalau ia pergi ke pesta. Perempuannya berpakaian baju putih dan kain panjang yang ia seperti laki-laki dengan tancapan konde sanggul dipasang pada badannya.
Jika seorang perempuan pergi bekerja di ladang atau di dalam hutan maka ia memakai selendang berwarna mungil dililitkan lepas di kepalanya atau jika tidak ada sebuah kain biru,".
Bagaimana halnya dengan
masyarakat Belitung dimasa kini? adakah orang laki-laki yang masih mengenakan
Getang sebagai pakaian sehari-hari? Boleh dikatakan hampir tidak ada lagi.
Tradisi tutup kepala orang Melayu telah digantikan dengan songkok buatan Jawa
yang lebih modern dan praktis. Dalam menghadiri majelis resmi atau
kegiatan-kegiatan ibadah, songkok hampir selalu menjadi pilihan utama dan
tradisi Begetang pun perlahan-lahan mulai punah.
Sedangkan dalam aplikasi pakaian
tradisional acara adat, lebih sering masyarakat Belitung memilih hiasan kepala
tanjak segitiga khas Palembang. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat pada era
Orde Baru Belitung merupakan bagian dari provinsi Sumatera Selatan, sehingga
lama kelamaan terbiasa dengan kebiasaan yang baru ini. Jika sempat kita
mengingat masa-masa dahulu, atau melihat lagi potret-potret orang terdahulu
tentu kita akan ditemukan banyak pengantin pria Melayu Belitong pada zaman itu mengenakan
hiasan kepala “getang haji” atau “getang sereban” alih-alih tanjak yang diadaptasi dari budaya Palembang.
Tidak hanya dalam acara
pernikahan, bahkan dalam acara selamatan merayakan khatam Al-Qur'an dan sunatan
bagi anak laki-laki remaja menjelang
akil baligh biasanya mengenakan getang haji atau sereban haji. Mungkin saja
secara tersirat mengingatkan bagi seorang laki-laki bila kelak menjadi pemimpin
hendaknya ingat kepada kiblat. Seperti halnya getang yang dikenakan di kepala,
ia menutupi bagian tubuh kita yang paling mulia yakni dahi, yang hanya kita
tundukkan saat sujud kepada Ilahi. Bila ragu akan kebersihan saat hendak
sembayang di suatu tempat, maka sehelai kain Getang dapat pula di jadikan
sajadah darurat.
Sudah selayaknya kita mengangkat kembali getang ke permukaan, sebagai simbol dan ciri khas orang Melayu Belitong. Adapun bagi para pengguna tanjak Palembang, Riau dan semenanjung Melayu, tidak serta-merta patut dipermasalahkan, karena itu juga tidak dipungkiri masih menjadi bagian dari rumpun budaya Melayu secara umum. Namun tentunya jika kita telah mengetahui akar tradisi yang telah lama dicontohkan oleh orang-orang terdahulu, tentu tak elok bila dilupakan lalu diganti dengan yang lain.
Semoga generasi muda Belitong,
beserta para penggiat budaya mau meluangkan waktu untuk melakukan riset tentang
tradisi begetang, agar khazanah budaya kita tetap otentik dan terpelihara. Sudah
semestinya kita bangga dan menunjukkan bahwa Belitong mempunyai tradisi yang
khas tersendiri. Afala ta’qiluun - Wallahua’lam Bisshawab.(*)
Penulis: Achmed Viqie bin Husaini
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber: petabelitung.com