Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Daftar Jenis Padi Lokal Belitong yang Dicatat 146 Tahun Silam, Padi Raja Dianggap Paling Unggul

PETABELITUNG.COM - Bentuk pengusahaan padi di lahan sawah (basah) bukanlah suatu budaya yang populer bagi masyarakat Belitung. Terhitung hingga tahun 1874, telah dilakukan berbagai upaya oleh pihak Belanda untuk menggiatkan masyarakat Belitung agar bertani padi di sawah. Akan tetapi, hal tersebut boleh dikatakan tidak berhasil. 

Masyarakat Belitung tetap pada pendirian sebelumnya, yakni bertani di lahan kering (Ume). Walaupun demikian, bagi masyarakat Belitung betani di lahan kering sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka

Terdapat berbagai varietas padi yang menjadi andalan masyarakat Belitung saat bertani di lahan kering. Asisten Residen Belitung Ecoma Verstege menulis daftar varietas itu pada sebuah laporan yang bertajuk “Opmerkingen Omtrent Sommige Voortbrengselen van Billiton en Onderhoorige Eilanden” (1874). Menurut Ecoma,  padi Raja (Radja) adalah jenis padi terbaik yang ditanam di Belitung. Selain itu, juga terdapat jenis padi lain yang matang dalam waktu 100 hari (3 Bulan lebih), seperti

1. Remboedingan (Rembudingan)

2. Tangkik

3. Nangka

Kemudian, Pulau Belitung juga memiliki varietas padi yang matang dalam waktu 120 hari (4 bulan). Berikut varietas padi tersebut:

1. Biasa (gewone)

a. Jenis putih; baloek (baluk), tembatoek (tembatuk), djoeraj (juray), gedeh, dan kroepit (krupit).

b. Jenis merah; klekah dan kembirie

2. Ketan

a. Jenis putih; djangoet (jangut), singoel (singul), kalapa, merawang, genit, dan toelang (tulang).

b. Jenis merah; bagoeng (bagung), tjatoek (catuk), sloewang (sluwang), dan lekam.

Selanjutnya, Pulau Belitung pun memiliki varietas padi yang matang dalam waktu 180 hari (6 bulan).

1. Bedak Koening (Kuning)

2. Padi Boentar (Padi Buntar)

3. Witte Bedak (Bedak Putih); tampoel (tampul), pitjing (picing), mätan kayung, sarang boeroeng (sarang burung), palembang, seni besar, dan seni ketjil (seni kecil).

4. Roode Bedak (Bedak Merah); loekam (lukam), koetoe (kutu), bidji teroeng (biji terung), ampaij sawah (ampaiy sawah), padi poeloet agang (padi pulut agang), dan padi poeloet sepang (padi pulut sepang).

Menurut pengamatan Ecoma Verstege, di antara jenis padi di atas, masyarakat Belitung lebih menyukai jenis padi yang menghasilkan beras putih ketimbang merah. Hal ini dikarenakan rasa beras putih dianggap lebih enak. Walaupun secara gizi, jelas beras merah lebih unggul.

Meski hingga tahun 1874 tidak terdapat sawah, masyarakat Belitung juga tetap mengupayakan bertani padi di lahan basah lain. Ecoma mengatakan, peran sawah digantikan oleh lahan basah lain yang bernama lalap atau tanah binca. Tanah binca ini merupakan daerah berawa yang pada musim hujan lumayan digenangi air. Pada tanah binca (bintja) atau lalap ini, penduduk Belitung menanam jenis padi yang matangnya cukup lama (180 hari), seperti jenis padi ampaiy sawah, seni besar, dan seni kecil

Ecoma Verseteg selaku Asisten Residen Belitung ketika itu menyangsikan kegiatan bertani m

asyarakat Belitung. Baginya, kegiatan bertani masyarakat Belitung yang sebagian besar dilakukan di ladang (lahan kering) tidak akan bisa menghasilkan keuntungan besar. Menurut kalkulasi Ecoma Verstege, dalam satu kali pengerjaan ladang, paling banyak menghasilkan 37 pikul  padi, yang tiap pikulnya dihargai 3,5 Gulden. Dengan demikian pendapatan kotor hanya 129,5 Gulden. Pendapatan kotor tersebut belum dikurangi dengan biaya pembukaan ladang sekitar 57 Gulden.(*)

Foto ilustrasi: Keranjang untuk panen padi yang disebut Ambin. Foto ini merupakan koleksi Wereld Museum Rotterdam, Belanda. Judul aslinya ditulis Mand voor geoogste padi - ambin. Dalam keterangan lebih lanjut di dalam foto tersebut disebutkan: In deze mand wordt de geoogste padi naar huis vervoerd. Terjemahan bebasnya yakni Padi yang sudah dipanen diangkut pulang dengan keranjang ini. Sumber: wereldculturen. repro by petabelitung.com tahun 2020


Penulis: Dony Agustio Wijaya

Editor : Wahyu Kurniawan

Sumber: petabelitung.com