Video Of Day

ads

Selayang Pandang

2 Cerita Rakyat Dari Belitung Ini Dianggap Bukan Karya Sastra, Salah Satunya Berjudul Gara-gara Satam


PETABELITUNG.COM - Pada tahun 1987 atau sekitar 33 tahun lalu telah dilakukan kegiatan bertajuk Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Sumatera Selatan di Kabupaten Belitung. Hasil penelitian tersebut kemudian dituangkan ke dalam Buku Sastra Lisan Bahasa Melayu Belitung yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Terdapat 30 cerita yang berhasil dikumpulkan pada penelitian tahun 1987. Namun terdapat dua cerita yang tidak dimasukkan ke dalam buku. Kedua cerita itu berjudul "Gara-gara Satam" dan "Tata Tertib Nirok Nanggok Dewasa Ini".
Kedua cerita tersebut dianggap sebagai cerita biasa dan tidak dapat digolongkan ke dalam karya sastra.
Simak kutipan dalam buku tersebut berikut ini:

"Cerita prosa rakyat sastra lisan bahasa Melayu Belitung dapat dikelompokkan ke dalam legende, mite , sage, fahel, dan parabel. Pada mulanya sebanyak 30 buah cerita dapat dikumpulkan melalui penelitian ini. Akan tetapi, setelah cerita-cerita itu diseleksi, hanya 28 buah yang dapat digolongkan ke dalam karya sastra, sedangkan dua buah cerita lagi hanyalah cerita biasa. Cerita yang tidak dapat digolongkan ke dalam karya sastra itu adalah cerita yang berjudul "Gara-gara Satam" dan "Tata Tertib Nirok Nanggok Dewasa ini''. Cerita pertama berupa kisah perjalanan seorang pedagang per· mata yang bernama Dul Qomar, asal Arab yang berdagang permata ke pulau Belitung. Sedangkan cerita kedua berupa aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh penduduk pulau Belitung dewasa ini jika ikut pergi mengambil ikan secara beramai-ramai, seperti keturunan Cina tidak boleh ikut dan wanita yang sedang haid juga dilarang ikut,".



Dijelaskan lebih lanjut dalam buku tersebut bahwa Semua penutur cerita prosa rakyat sastra lisan Bahasa Melayu Belitung berasal dari daerah Belitung. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, berumur antara 25 sampai 70 tahun.
Penutur cerita itu ada yang pekerjaannya sebagai petani, pedagang, pegawai (negeri dan swasta).
Sebagian penutur cerita adalah dwibahasawan yang menguasai bahasa Melayu Belitung dan bahasa Indonesia.
Para penutur cerita tersebut menyatakan bahwa cerita-cerita itu mereka terima secara lisan dari
orang-orang yang lebih tua seperti nenek, kakek, ayah, ibu, atau orang tua lainnya yang mereka kenali.
Cerita prosa rakyat sastra lisan bahasa Melayu Belitung dapat dituturkan pada berbagai kesempatan seperti :
(1) Pada waktu orang memperbincangkan asal usul benda, nama tempat, narpa binatang, dan sejarah, 
(2) dalam suasana santai pada sore atau malam hari, pada waktu orang-orang tua dan anak-anak
berkumpul di suatu tempat,
(3) menjelang tidur misalnya ketika kakek atau nenek akan menidurkan cucunya, dan
(4) pada waktu kematian, kenduri, khitanan, panen. Lingkungan penceritaan cerita prosa rakyat sastra lisan bahasa Melayu Belitung tidak terbatas. Maksudnya, semua orang boleh mendengarkannya: anak-anak, remaja, orang tua, baik laki-laki maupun perempuan.(*)

Ilustrasi: foto lawas batu Satam di pulau Belitung tahun 1921 milik Ir. N. Wingeaston. Foto tersebut dimuat dalam bukunya yang berjudul The Billitonit (An Attempt to Unravel The Tectite Puzzle). Dalam buku tersebut terdapat 42 bentuk batu Satam.


Penulis: Wahyu Kurniawan
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber: petabelitung.com