Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Kerajaan Balok - Part 8

BAB VII
PENINGGALAN TERKAHIR KERAJAAN BALOK

Terjadi peristiwa penting pada masa pemerintahan Depati Cakraningrat IX KA Mohamad Saleh. Peristiwa itu adalah pembangunan akses jalan di sekeliling pulau Belitung. Pembangunan dimulai pada 1864 hingga 1871 atau sekitar tujuh tahun.
Pada tahun 1864, pembangunan jalan dilaksanakan oleh Asisten-Residen Belitung H.von Gaffron (1860-1868). Pembiayaan pembangunan jalan tersebut didanai lewat sokongan Billiton Maatschappij. Pembangunan ini adalah tahap kedua yang kegiatan sebelumnya yang sudah dirintis J.F Loudon sejak 1852.
Pembangunan jalan pada 1864 dimulai dengan menghubungkan Tanjungpandan dan Manggar via Simpang Tige yang merupakan titik pertengahan di pulau Belitung. Tujuan awal pembangunan jalan adalah untuk membuka akses transportasi antar distrik tambang. Namun tujuan itu berubah setelah para pegawai pertambangan ternyata lebih senang menggunakan perahu atau kapal uap. Sebab kondisi jalan yang dibangun saat itu masih belum memadai, tidak melalui pengerasan dan kurang lebar.
Tahun 1868, pembangunan jalan yang disebut dengan istilah ‘jalan besar’ akhirnya dilakukan untuk tujuan penataan pemukiman penduduk. Ide ini dicetuskan oleh Asisten-Residen Belitung Ch.M.G.A.M. Ecoma Verstege (1868-1875).
“Jaringan jalan itu sebenarnya membebaskan daerah pedalaman dari pengucilan dan demi kebaikan penduduk di sana. Hal ini akan lebih baik jika lokal lebih bersemangat mengelola perdagangan mereka, walaupun hanya perdagangan kecil-kecilan saja dari hasil hutan dan ladangnya,”
Gedenkboek Billiton Jilid 2, (1927) terj hlm 242.
Pada masa itu, pemukiman penduduk dan jalan yang telah dibangun tidak terintegrasi secara baik. Penduduk masih bermukim secara tradisional di dalam hutan dengan sebaran yang tidak teratur. Maka itu Asisten-Residen berencana memindahkan perkampungan-perkampungan tradisional tersebut ke tepi ‘jalan besar’. Namun pemindahan pemukinan tersebut bukan perkara yang mudah. Sebab penduduk sudah secara turun temurun menetap di kampungnya masing-masing, yang dalam budaya Belitong biasa disebut ‘Kelekak’.
Untuk merealisasikan rencananya, Asisten-Residen kemudian meminta bantuan Depati KA Mohamad Saleh sebagai kepala pemerintahan bumiputra di Belitung. Permintaan tersebut disetujui Depati. Penduduk lokal secara tidak langsung dipaksa untuk meninggalkan Kelekak. Pada masa ini Depati menetapkan tata pemukiman baru dalam bentuk Desa untuk menggantikan sistim Kelekak yang secara turun temurun didiami penduduk pribumi. Pembangunan setiap desa dilaksanakan di tepi kiri dan kanan jalan dengan jarak antar satu desa dengan desa lainnya diatur kurang lebih 3 paal. Satuan ukuran jarak yang digunakan yakni paal jawa  yang mana 1 paal = 1507 meter atau 1,5 kilometer.
“Jumlah (hunian) yang dibangun di satu titik dan siapa yang akan menghuninya, ditetapkan oleh otoritas (Depati),” tulis De Groot, (1887).
Proses pemindahan pemukiman ke jalan besar pada awalnya mendapat penolakan dari penduduk lokal. Kondisi ini pula yang membuat De Groot berasumsi bahwa Depati sebetulnya hanya berpura-pura mendukung rencana Asisten-Residen Ecoma Verstege.
“Apakah penduduk lokal, setelah 30 atau 40 tahun setelah tindakan itu puas dengan pemukiman buatan ini, waktu akan menilai, tetapi bahwa mereka semula anti dan tidak puas, adalah satu kenyataan,” tulis De Groot.
Menurut De Groot, Depati mencoba menyalahkan ‘orang kulit putih’ atas tindakan pemindahan pemukiman tersebut. Maka itu proses pemindahan pemukiman berlangsung sangat ‘dingin’ dan merepotkan bagi Asisten-Residen maupun Billiton Maatschappij.
“Otoritas bumiputra, relasinya dan kawan-kawannya menyetujui Asisten-Residen di dalam reorganisasi, tapi membuat orang kecil melawan tindakan, yang mereka pura-pura setujui. Mereka mencoba menyalahkan orang kulit putih, mereka tidak beritikad baik,” tulis De Groot.
Dalam Gedenkboek Billiton Jilid 2 disebutkan pembuatan pemukiman baru telah menyusahkan penduduk pribumi. Mereka harus berjalan jauh untuk menjangkau ladangnya di hutan. Maka itu saat waktu panen, kampong di tepi jalan menjadi sepi dan hanya menyisahakan para orang tua untuk menjaga rumah.

 “Tetapi waktu telah menunjukkan manfaat dari peraturan ini, peraturan ini memaksa orang berhemat sekali dengan hasil ladangnya dan hubungan dengan ibukota memberi kesempatan untuk mengakut hasil dari hutan dan ladang untuk mendapatkan penghasilan ala kadarnya,”

Gedenkboek Billiton Jilid 2, 1927.

Pernyataan De Groot mengenai babak ini perlu dikaji lebih mendalam. Sebelumnya De Groot mengatakan bahwa Depati sebetulnya tidak menyetujui rencana pemindahan pemukiman penduduk ke tepi jalan. Pernyataan ini pada kemudian hari akan menimbulkan kesan bahwa Depati tidak mendukung program pengembangan masyarakat yang ditawarkan oleh Asisten-Residen Ecoma. Terlebih lagi buku Gedenkboek Billiton (1927) menyatakan bahwa pemindahan pemukiman tersebut akhirnya memberikan manfaat bagi masyarakat.
Sikap ‘setengah hati’ Depati mungkin harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Sebab Belanda sebetulnya telah menerapkan program serupa di Bangka pada 1851. Program ‘Kampung Baru’ (new villages) adalah strategi Residen Bangka dalam menghadapi perlawanan gerilya Amir, anak Depati Bahrin. Kampung Baru yang dibangun di tepi jalan pada awalnya juga berasal dari perkampungan yang tersebar di hutan. Pemusatan pemukiman ini dilakukan untuk memutus pasokan logistik para pengikut Amir. Strategi ini terbukti jitu dalam mendukung upaya menundukkan perlawanan Amir. Residen Bangka bahkan kemudian dengan bangga menyatakan bahwa Bangka adalah salah satu keresidenan paling teratur di Hindia-Belanda.
Staregi Belanda di Bangka mungkin saja membuat Depati KA Mohamad Saleh tampak berhati-hati dalam menyetujui rencana Residen Ecoma. Meski demikian pada akhirnya Depati juga ikut mendukung program pemindahan pemukiman. Dukungan itu juga diberikan setelah Depati menjalin komunikasi dengan para Ngabehi dan pejabat di lingkungannya.
“Kemudian sesudah dimufakatkan, Depati dengan Ngabehi-Ngabehi dan dengan anak cucunya apa-apa maksud itu, dan sudah ditetapkan maksud tuan Asisten-Residen mesti dilaksanakan; supaya segera akan menjadi kebaikan bagi sekalian rakyat dan negeri,” tulis KA Abdul Hamid, (1939) hlm 26.
Maka lewat pemaparan ini dapat diketahui bahwa desa-desa yang sekarang kita kenal di pulau Belitung adalah buah dari penetapan Depati. Sebab De Groot telah menjelaskan dalam bukunya, bahwa jumlah rumah dan penghuni di setiap desa di tepian jalan besar ditetapkan oleh otoritas Depati.
Desa-desa yang kini dijumpai di sepanjang jalan raya pulau Belitung adalah jejak peninggalan terakhir kerajaan Balok pada masa pemerintahan Depati Cakraningrat IX KA Mohamad Saleh. Penolakan yang awalnya dilakukan oleh penduduk mungkin saja muncul secara alami, sebagai bentuk protes terhadap sesuatu hal yang baru dalam hidup mereka. Namun waktu kemudian membuktikan bahwa pengaturan pemukiman tersebut membawa dampak yang baik bagi penduduk pulau Belitung.

Baca sambungannya :
Kerajaan Balok - Part 1
Kerajaan Balok - Part 2
Kerajaan Balok - Part 3
Kerajaan Balok - Part 4
Kerajaan Balok - Part 5
Kerajaan Balok - Part 6
Kerajaan Balok - Part 7
Kerajaan Balok - Part 9
Kerajaan Balok - Part 10