Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Kerajaan Balok - Part 7

BAB VI
MASA SURUT KERAJAAN BALOK

Eksistensi kerajaan Balok sepanjang tiga abad di pulau Belitung bukannya berjalan tanpa rintangan. Diketahui kerajaan ini sempat mengalami proses pasang surut akibat gangguan dari luar.
Gangguan pertama berupa serangan dari Syaid Ali Raja Siak pada masa pemerintahan Depati Cakraningrat VI KA Usman (1755-1785). Kejadian itu membuat Depati diyakini telah terbunuh dan jasadnya menghilang di lautan.
Kemudian gangguan kedua berlangsung pada masa Depati Cakraningrat VII KA Hatam (1785-1815). Pada tahun-tahun terakhirnya, KA Hatam mememerintah disaat Inggris sedang menguasai sebagian wilayah nusantara yang sebelumnya menjadi koloni Belanda pada tahun 1812. Demi memastikan kedudukan di pulau Belitung, pihak Inggris kemudian menempatkan Tengku Akil dari Siak. Selanjutnya pada satu waktu pada tahun 1815, Tengku Akil menyerang istana Depati Cakraningrat VII di Cerucuk. Serangan tak terduga itu menyebabkan Depati tewas dan anaknya lari ke pedalaman dalam kondisi terluka.
Dalam tulisan KA Abdul Hamid disebutkan, Depati Cakraningrat VII tewas dan kepalanya terpenggal. Istana beserta harta-harta Depati juga dibakar dalam serangan Tengku Akil tersebut.
Kiranya peristiwa penyerangan ini menyebabkan hilangnya peninggalan-peninggalan kerajaan Balok pada masa lalu. Pembakaran istana Depati bukan tidak mungkin juga telah menghanguskan manuskrip-manuskrip kuno mengenai kerajaan tersebut.
Pada rentang waktu 1815-1824 adalah masa surut bagi kerajaan Balok.  Pengaruh kerajaan ini boleh dikatakan semakin berkurang. Sebab dalam kurun waktu tersebut pulau Belitung menjadi daerah yang diperebutkan oleh Belanda dan Inggris. Komisaris Belanda di Palembang yakni Muntinghe sempat pula memerintahkan seseorang bernama Raja Badar untuk mengibarkan bendera Belanda pada tahun Januari tahun 1819. Perintah itu bertujuan untuk mendahului Inggris dalam mengklaim kepemilikan pulau Belitung. Namun tidak ada laporan lebih lanjut dari Raja Badar mengenai pelaksanaan perintah tersebut.
Kerajaan Balok kemudian diketahui eksis kembali pada tahun 1821. Adalah putra KA Hatam yakni KA Rahad yang didapuk sebagai penerus Raja-raja Balok dengan gelar Depati Cakraningrat VIII. Namun upaya mengembalikan kekuasaan kerajaan bukan perkara mudah bagi Depati. Sebab ia harus menghadapi gerakan sejumlah bangsawan dari Palembang seperti Pangeran Sarief Mohamad, Sarief Hassim, dan Mas Agus Mohammad Asik.
Ketiga bangsawan tersebut memanfaatkan rencana pemerintah Hindia-Belanda untuk menduduki pulau Belitung. Tujuannya tak lain adalah untuk menggantikan posisi Raja-raja Balok yang selama ini menguasai pulau tersebut. Namun upaya tersebut tak berlangsung lama. Sebab Sarief Mohamad kemudian meninggal pada tahun 1824 di Muntok, dan Sarief Hassim meninggal di Belitung pada 1837. Sedangkan Mas Agus Mohammad Asik memilih mengundurkan diri pada 1838.
“Kematian dua orang kepala ini dikatakan oleh penduduk Belitung ada sebuah desas desus bahwa Depati ikut terlibat,” tulis Loudon, 1883.
Pemerintah Hindia-Belanda tidak memiliki pilihan lain selain mengakui kedudukan Depati Cakraningrat VIII KA Rahad yang merupakan penerus kerajaan Balok. Akhirnya pada 1 Juli 1838, Residen Bangka mengakui kedudukan KA Rahad sebagai penguasa di pulau Belitung. Pengakuan tersebut diperkuat lagi dengan surat keputusan pemerintah Hindia-Belanda nomor 9 tanggal 11 Oktober 1838.
“Pada tahun 1851 saat kami tiba di Belitung, ia (KA Rahad) sudah memerintah selama 13 tahun. Banyak sekali Depati menceritakan kepada saya tentang kepahitan hidupnya pada masa lalu dan memperlihatkan tanda bekas lukanya dan kekesalannya atas pembunuhan bapaknya. Tidak mengherankan kalau ia selalu curiga dan tidak senang terhadap orang Eropa atau Belanda,” ungkap Loudon dalam tulisannya, 1883.
Sekilas KA Rahad tampak berhasil meneruskan kekuasaan kerajaan Balok atas pulau Belitung. Namun ternyata pemerintah Hindia-Belanda telah memberikan sejumlah batasan mengenai kekuasaan tersebut. Hal ini bisa dilihat dalam surat keputusan pemerintah Hindia-Belanda nomor 9 tanggal 11 Oktober 1838 sebagai berikut :
  1. Tugas dan kewajiban pertama Depati adalah mencegah perampokan-perampokan di laut dan perdagangan gelap.
  2. Depati harus bersikap baik dengan kepala-kepala yang lain, antara lain dengan Belantu, Sijuk, dan Buding.
  3. Depati jangan merintangi menghalangi kehidupan orang laut dengan cara yang tidak adil.
  4. Selain dari yang sekarang yang sudah ada dari orang-orang luar pulau, dari Lingga dan Johor, tidak diperkenankan lagi orang lain masuk Belitung dan harus ada izin dari Residen Bangka.
  5. Semua penduduk dan pedagang kecil harus mendapat keamanan.
  6. Depati harus menahan diri dari pemerasan dan menerima harta yang tidak terpuji.
  7. Penampungan orang-orang Tionghoa sedapat mungkin digalakkan, karena orang-orang ini golongan yang rajin dan bisa menumbuhkan perdagangan dan kebudayaan, kecuali orang-orang Tionghoa pelarian, pekerja-pekerja tambang timah dari Bangka.
  8. Depati harus sedapat mungkin mencegah adu ayam dan perjudian, dan menggalakkan anak buahnya supaya mencari kesenangan dari permainan-permainan yang lain.
  9. Depati harus segara mungkin membuat daftar penduduk.
  10. Depati tidak boleh mengangkat pejabat yang lebih rendah dan memberhentikannya sebelum diketahui dan disetujui oleh Residen Bangka.
  11. Depati wajib menempati rumah tempat kediamannya yang ditetapkan di Tanjong Gunong di mana juga ada detasemen militer yang tinggal dan dijaga dengan baik.
  12. Anak-anak Raja Lingga diperbolehkan menetap di Belitung dengan syarat berkelakuan baik.
  13. Depati harus mentaati semua yang sudah ditetapkan maupun yang akan diatur kemudian.

Semasa Depati Cakraningrat VIII berkuasa, terdapat sejumlah peristiwa yang menjadi catatan bagi pemerintah Hindia-Belanda. Pertama yakni pembukaan pelayaran antara Belitung dengan seluruh pelabuhan di Hindia-Belanda. Penetapannya tercantum dalam resolusi pemerintah nomor 8 tanggal 24 April 1839. Penetapan ini membuat pelayaran dari dan ke pulau Belitung bisa dilakukan tanpa harus melewati Muntok terlebih dahulu.
Pembatasan kekuasaan yang diterapkan oleh Belanda tidak membuat Depati tunduk begitu saja. Satu contoh perlawanan secara diam-diam dilakukan pada bidang perdagangan. Kegiatan tersebut tidak hanya dilakukan antar pelabuhan di Hindia-Belanda, tapi juga lebih jauh sampai ke Singapura. Namun perdagangan antara Belitung dan Singapura akhirnya diketahui oleh Belanda pada tahun 1848. Pemerintah menuding kegiatan perdagangan terlarang itu dilakoni oleh seorang yang berasal dari Palembang bernama Kemas Mail. Pemerintah juga meyakini Depati ikut terlibat dan memberikan dukungan. Maka itu kemudian pemerintah lewat Residen Bangka menetapkan Depati untuk membayar ganti rugi atas kejadian perdagangan terlarang tersebut.
Pada tahun 1850 menjadi babak baru bagi perjalanan sejarah kerajaan Balok yang saat itu dipimpin oleh Depati Cakraningrat VIII KA Rahad. Sebab untuk pertama kalinya kerajaan ini berhadapan dengan sebuah kekuatan di luar pemerintah, yakni para pengusaha swasta Belanda. Para pengusaha tersebut sangat berambisi untuk menambang timah di pulau Belitung. Ambisi pengusaha swasta Belanda ini pada kemudian hari menjadi benih kehancuran bagi eksistensi kerajaan Balok di pulau Belitung.
Para pengusaha swasta tersebut digawangi oleh Pangeran Hendrik dari negeri Belanda dan seorang bangsawan dari kalangan kerajaan Belanda bernama Baron Van Tuyll. Pangeran Hendrik kemudian menunjuk John Francis Loudon sebagai pemegang kuasa namanya dalam menjalankan usaha pembukaan tambang timah di pulau Belitung.
Pangeran Hendrik dan Van Tuyll meminta kerajaan Belanda untuk menginstruksikan Pemerintah Hindia-Belanda di Batavia agar melaksanakan penelitian potensi timah pulau Belitung. Pemerintah Hindia-Belanda pun tak bisa berbuat banyak, dan kemudian mengirim seorang tenaga ahli bernama DR. Croockewit ke Belitung pada tahun 1850.
Depati Rahad tidak tinggal diam menghadapi gerakan tersebut. Sejumlah sabotase dilakukan selama Dr Croockewit melaksanakan proses penelitian di pulau Belitung. Dr Croockewit pun tidak menyadari bahwa dirinya telah masuk dalam skenario perlawanan senyap oleh Depati. Kemudian secara menyakinkan, Dr Croockewit menyimpulkan bahwa pulau Belitung tidak mengandung timah, tapi hanya besi titan yang menyerupai timah yang biasa disebut dengan istilah Koppong. Bak gayung bersambut, pemerintah Hindia-Belanda juga ikut meyakini hasil penelitian tersebut. Kondisi tersebut membuat pemerintah maupun para pengusaha di Hindia-Belanda semakin tidak berminat pada pulau Belitung.

“Maka tidak mengherankan kalau seseorang yang tidak berjiwa pelopor menjadi korban dari penentangan terorganisir dari Depati,”
Gedenkboek Billiton Jilid I, 1927.

Namun John Francis Loudon yang memegang amanat Pangeran Hendrik tidak mau percaya begitu saja. Bekal kemampuan berbahasa Melayu menjadi pembeda yang cukup signifikan antara dirinya dan Croockewit. Rombongan Loudon tiba di Tanjong Gunong pada 28 Juni 1851 pagi. Sejak awal ia mengambil pendekatan bersahabat dengan Depati dan memanfaatkan penduduk lokal untuk mengungkap potensi timah di pulau Belitung. Kurang dari 24 jam sejak tiba di Tanjungpandan, Loudon akhirnya berhasil memastikan bahwa kesimpulan yang dibuat oleh Croockewit adalah salah. Belitung jelas mengandung timah, tapi mengenai potensi ekonominya masih harus diteliti lebih mendalam.
Depati KA Rahad tak lantas menyerah ketika kerahasiaan kandungan timah berhasil dibongkar oleh rombongan J.F Loudon. Ia pun kemudian mengambil cara yang sama, yakni berpura-pura bersahabat dengan Loudon. KA Rahad kemudian menunjukkan sejumlah lokasi timah dan membuat Loudon merasa telah memiliki harapan.
Dua lokasi utama yang ditunjukkan oleh KA Rahad adalah sungai Lesong Batang dan sungai Aik Pancor. Sebuah lokasi di Lesong Batang akhirnya menjadi kolong timah pertama di pulau Belitung. Sedangkan Aik Pancor digarap menggunakan metode tambang kulit. Usaha Loudon kemudian benar-benar berjalan pada tahun 1852. Saat itu pihak Loudon menerima konsesi selama 40 tahun untuk penggarapan tambang timah di pulau Belitung. Maka itu dalam sejarah, pihak Loudon kemudian dikenal dengan istilah ‘Pemegang Konsesi’.
Perlu diketahui, konsesi yang diberikan oleh pemerintah Hindia-Belanda tidak lantas membuat Loudon bisa menambang seenaknya di seluruh pulau Belitung.  Pada satu pasal disebutkan, pemerintah menyewakan seluruh pulau Belitung kepada Pemegang Konsesi, dalam bentuk bagian-bagian yang akan ditunjuk lebih lanjut. Sesuai surat Keputusan Pemerintah nomor 1 tanggal 15 Maret 1852, penunjukan bagian yang akan digarap ditetapkan oleh pemerintah lewat perundingan bersama Pemegang Konsesi.
Pada tahap ini, Depati tampak melaksanakan strategi yang tidak diduga oleh Loudon. Kesediaan Depati menunjukkan lokasi timah Lesong Batang bukannya tanpa alasan. Hal itu dilakukan agar Loudon percaya bahwa wilayah pertama yang harus digarap adalah wilayah bagian barat pulau Belitung. Akhirnya Loudon bersama pemerintah Hindia-Belanda bersepakat bahwa penggarapan pertama mencakup ¼ wilayah pulau Belitung bagian barat. Wilayah tersebut batasnya dimulai dari sungai Samak ke selatan Gunung Tajam, terus sampai Batu Bedil di Sungai Padang dan Laut Cina Selatan.
Semula penggarapan tampak berlangsung lancar. Namun setelah dua tahun berjalan, pihak Loudon mulai merasakan kekurangan modal. Sebab biaya yang dibutuhkan untuk penggarapan, tidak sesuai dengan hasil produksi timah yang didapatkan.
Tanggal 20 April 1854, Depati Cakraningrat VIII KA Rahad meninggal pada usia 54 tahun. Usahanya menjauhkan pulau Belitung dari ekspansi Belanda akhirnya terhenti. Namun dampak dari perlawanannya tak bisa dipungkiri telah membuat usaha Loudon merana.
Selama bertahun-tahun sejak 1854,  usaha Loudon mengalami kesulitan modal. Pada tahun 1860, usaha Loudon hampir bangkrut dan menanggung banyak hutang. Akhirnya para Pemegang Konsesi terpaksa menyerahkan usaha mereka kepada sebuah perseroan bernama Billiton Maatschappij.
Sebelum masa peralihan tersebut, para Pemegang Konsesi telah mengajukan penunjukkan lokasi penggarapan yang kedua di wilayah selatan. Singkat kata, para Pemegang Konsesi saat itu telah menggarap setengah bagian barat pulau Belitung. Maka opsi penunjukkan selanjutnya tinggal menyisakan setengah pulau Belitung bagian timur. Segera saat Billiton Maatschappij beroperasi, wilayah bagian timur tersebut pun digarap.
Pada kemudian hari Loudon baru menyadari bahwa pihaknya selama ini telah menempuh cara yang salah dalam menggarap timah di pulau Belitung. Selama kurun 1851-1860, para Pemegang Konsesi memilih menggarap tambang timah di setengah wilayah barat.
“Selama itu Pemegang Konsesi menggarap setengah pulau yang paling miskin di bagian barat, sedangkan Billiton Maatschappij langsung memulai dengan menggarap setengah pulau bagian timur atau bagian yang paling kaya,” tulis Loudon.
KA Rahad sebetulnya hampir saja membuat usaha pertambangan timah swasta Belanda angkat kaki dari pulau Belitung. Namun sikap patriotisme Loudon yang begitu besar untuk bangsanya telah membuat dampak dari sabotase Depati dapat diredam. Loudon dan para Pemegang Konsesi rela tidak mendapatkan keuntungan dari usaha yang mereka rintis asalkan pertambangan timah di Belitung terus dilanjutkan. Saat Billiton Maatschappij beroperasi, para Pemegang Konsesi rela menanggung hutang senilai f 665.000. Hutang tersebut diangsur menggunakan jatah saham mereka dalam perseroan Billiton Maatschappij.
Momen peralihan dari Pemegang Konsesi ke Billiton Maatschappij menimbulkan dampak yang signifikan bagi pulau Belitung. Momen itu tidak hanya membuat penggarapan timah semakin masif, tapi juga secara perlahan menyebabkan runtuhnya eksistensi kerajaan Balok di pulau Belitung.
Setelah KA Rahad meninggal pada 1854, posisinya digantikan oleh adik kandungnya yang bungsu yakni KA Mohamad Saleh. Dalam bukunya (1887) De Groot mengatakan Asisten-Residen Belitung sempat mengusulkan kepada pemerintah agar tidak meneruskan lagi kepemimpinan bumiputra. Namun usulan tersebut ditolak dan pemerintah Hindia-Belanda tetap ingin penduduk lokal dipimpin oleh penerus kerajaan Balok. KA Mohamad Saleh akhirnya diangkat menjadi Depati pada tanggal 24 November 1854 dengan gelar Depati Cakraningrat IX.
Masa kepemimpinan KA Mohamad Saleh berlangsung seiring dengan perkembangan bisnis perseroan Billiton Maatschappij. Pada tanggal 29 Maret 1873, jabatannya dicabut oleh pemerintah Hindia-Belanda. Peristiwa ini sekaligus mengakhiri eksistensi kerajaan Balok sebagai pemegang pemerintahan bumiputra di pulau Belitung.
KA Abdul Hamid dalam tulisannya (1939) mengatakan, pencabutan jabatan KA Mohamad Saleh terjadi karena atas permintaannya sendiri. KA Mohamad Saleh mengundurkan diri karena merasa usianya saat itu sudah terlalu tua, yakni sekitar 70 tahun.
KA Mohamad Saleh adalah keturunan raja-raja Balok yang terakhir kali menggunakan gelar Depati Cakraningrat. Ia memiliki tiga anak perempuan dan tidak memiliki anak laki-laki. Kiranya kondisi ini juga yang ikut mempengaruhi terputusnya eksistensi kerajaan Balok di pulau Belitung. Pada 15 Januari 1876 sebelum KA Mohamad Saleh wafat, Billiton Maatschappij sempat memberinya saham dari tambang nomor 30 Bengkuang di Manggar. Saham itu diberikan untuk menjamin kesejahteraan anak cucunya di masa mendatang.
Selanjutnya sebagian dari keturunan Raja-raja Balok tampak melebur dalam struktur pemerintahan daerah di bawah pemerintah Hindia-Belanda. Sedangkan sebagian yang lain ikut bekerja sebagai pegawai dalam perseroan Billiton Maatschappij.

Baca sambungannya :
Kerajaan Balok - Part 1
Kerajaan Balok - Part 2
Kerajaan Balok - Part 3
Kerajaan Balok - Part 4
Kerajaan Balok - Part 5
Kerajaan Balok - Part 6
Kerajaan Balok - Part 8
Kerajaan Balok - Part 9
Kerajaan Balok - Part 10