Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Kerajaan Balok - Part 3


BAB II
MENGHADAPI EKSPEDISI VOC

Secara politik, kerajaan Balok tampak beberapa kali harus menghadapi invasi VOC. Namun terhitung sejak tahun 1668 sampai akhirnya VOC bubar pada awal abad ke-19, kerajaan ini selalu lolos dari invasi tersebut. Tidak diketahui detil strategi yang dimainkan oleh kerajaan Balok dalam menghadapi VOC. Namun bisa jadi kerajaan ini telah menerapkan strategi pencitraan dan opini publik.
Sejak VOC datang ke Belitung pada tahun 1668, wilayah kerajaan Balok di pulau Belitung sudah dicitrakan sebagai sarang bajak laut dan tempat bermukimnya para penjahat dari berbagai daerah. Kemudian opini publik di nusantara seolah menjadi satu suara.
Sejumlah laporan tertulis dari abad ke-17 dan ke-18 menyatakan bahwa pulau Belitung tidak aman, tidak sehat, dan tidak ekonomis. Laporan-laporan itu ditulis oleh berbagai kalangan, mulai dari suku bangsa asia sampai orang Eropa sendiri. Kondisi ini pula yang pada akhirnya membuat VOC tampak ‘tidak bersemangat’ untuk bekerjasama atau menguasai kerajaan Balok.
Ekspedisi pertama VOC ke wilayah kerajaan Balok berlangsung pada tahun 1668. Detil ekspedisi ini juga ditulis dalam buku Stapel, ‘Aanvullende gegevens omtrent de geschiedenis van het eiland Billiton en het voorkomen van tin aldaar’ (1938).
Ekspedisi itu berlangsung setelah hubungan perdagangan antara Belitung dan Batavia terjalin sekurang-kurangnya selama dua dekade. Singkat kata, pada 22 Mei 1668 sebuah perahu dari Belitung tiba di Batavia. Perahu itu milik seorang bernama Kiahi Sampoera yang mengaku sebagai Raja dari kepulauan Bangka Belitung. Setelah sebulan lebih berada di Batavia, Kiahi Sampoera mulai menjajaki kerjasama dengan VOC.
Kepada VOC, Kiahi Sampoera mengaku tidak mau tunduk oleh bujukan raja-raja dari Jambi, Johor, dan Bantam. Ia juga bermusuhan dengan Palembang karena dirinya tidak mau tunduk dan tidak mengakui sultan. Kemudian ia juga mengaku bermusuhan dengan Lampung karena dirinya tidak mau ambil bagian dalam aksi perompakan di sana. Maka itu Kiahi Sampoera ingin bekerjasama dengan VOC untuk melindungi diri dan rakyatnya dari para musuh. Sebagai gantinya, Kiahi Sampoera bersedia memberikan hak monopoli perdagangan pada VOC.
Pada tanggal 10 Juli 1668 Kiahi Sampoera dan VOC menandatangai kontrak kerjasama. Kemudian VOC memerintahkan Jan De Harde memimpin kapal perang De Zantlooper untuk mengiringi Kiahi Sampoera pulang ke Bangka Belitung.
Setelah dari Bangka, Jan De Harde akhirnya tiba di pulau Belitung pada 31 Juli 1668. Kemudian Jan De Harde sadar bahwa VOC telah ditipu. Sebab Kiahi Sampoera sama sekali bukan Raja, tapi hanya seorang bangsawan di Bangka yang telah diusir oleh penguasa Palembang dan selanjutnya bermukim di Belitung.
“Tempat kediaman Sampoera di Belitung adalah seperti sarang-sarang perompak, seperti tempat pembunuhan saja,” tulis Jan De Harde seperti yang dikutip Stapel dalam bukunya.
“Dari nelayan-nelayan, De Harde mendengar bahwa para penghuni pulau Belitung terdiri dari orang-orang jahat, perompak, dan pelarian-pelarian dari tempat-tempat lain dan mereka berusaha menguasai tempat ini dan berusaha membuat keonaran terhadap Regent dari Palembang yang memerintah di pulau ini,” tulis Stapel.
Jan De Harde kemudian mengubah kontrak antara VOC dan Kiahi Sampoera, dan membuat kontrak baru dengan para pejabat lokal di Bangka. Namun, kontrak tersebut berbeda dari yang sebelumnya sudah diteken di Batavia. Sebab kontrak baru tersebut hanya menyebutkan nama Bangka, dan nama Belitung tidak disebutkan sama sekali.
6 Juni 1672 Jan De Harde berangkat ke Belitung untuk mencari Sampoera. Sebab sebelumnya Jan De Harde dikagetkan oleh sebuah pernyataan dari bangsawan di Bangka bahwa Sampoera telah menjadi Raja Bangka.
14 Juni 1672 Jan De Harde sampai di muara sungai Kubu. Kemudian ia kembali dibuat bingung oleh pernyataan beberapa orang Melayu di Belitung tentang Sampoera. Menurut mereka, Sampoera telah dipermalukan dan diusir ketika beberapa waktu lalu berkunjung ke Batavia. Sampoera kemudian menjalin kerjasama dengan Banten dan tapi di sisi lain ia juga masih tetap akan melaksanakan perjanjian dengan VOC.
Jan De Harde tidak sadar bahwa orang-orang yang memberi informasi tersebut adalah mata-mata Sampoera. Maka itu di saat masih kebingungan karena simpang siur informasi, Jan De Harde tak menyangka kapalnya telah dikepung oleh 12 perahu yang berpura-pura mencari ikan. Kapal Jan de Harde diserang menggunakan tombak dan kapak. Akibatnya satu awak kapal meninggal, dan 10 lainnya luka-luka termasuk Jan De Harde sendiri.
Peristiwa itu membuat Jan De Harde mundur dan kembali ke Bangka. Dalam laporannya ia menulis ; “dari Belitung tidak ada harapan yang akan baik lagi,”.
Sewaktu tiba di Bangka, Jan De Harde juga menemui perlawanan dari penduduk dan para kepala setempat. Pasalnya, saat Jan De Harde di Belitung, dua perahu dari Banten tiba di Bangka. Penduduk kemudian memihak kepada Banten dan tidak menyukai VOC. Akhirnya tidak ada lagi yang bisa diusahakan oleh Jan De Harde di Bangka dan Belitung. Ia akhirnya pulang ke Batavia pada 23 Juli 1672. Setelah itu hubungan antara Batavia dan Bangka Belitung terputus.
Menurut Stapel, beberapa tahun kemudian tampak masih tercatat hubungan perdagangan antara Belitung dan Batavia. Namun hubungan tersebut dilakukan oleh perseorangan.
“Tetapi kemudian setelah tahun 1680 putus lagi, ialah semasa Bangka dan Belitung menjadi sarang penyamun ialah tempat berkumpulnya perompak-perompak dari Makasar dan Bugis,” tulis Stapel.
Hingga kini tidak diketahui siapa sebetulnya sosok Kiahi Sampoera dalam babak kontak pertama antara VOC dan Belitung. Namun bila merujuk pada waktu kejadiannya, babak tersebut tampak masih berlangsung pada era kerajaan Balok menguasai pulau Belitung.
Jan de Harde memastikan pusat kerajaan Balok berada di sungai Balok, sedangkan kediaman Sampoera di sungai Kubu. Kemudian Jan de Harde menyatakan bahwa kerajaan Balok adalah bagian dari kesultanan Palembang yang saat itu merupakan mitra dagang VOC. Sedangkan Sampoera terkesan seperti kawanan bajak laut dan justru bermitra dengan Banten.
Peristiwa yang dialami Jan de Harde mengindikasikan bahwa kerajaan Balok telah memainkan strategi pencitraan dan opini publik. Citra sebagai daerah bajak laut bisa jadi sengaja dimunculkan untuk membangun opini publik bahwa wilayah kerajaan Balok di pulau Belitung adalah daerah yang menyeramkan. Asumsi ini bukannya tanpa dasar. Sebab citra sebagai daerah bajak laut terus melekat pada pulau Belitung hingga abad ke-18. Selama kurun waktu itu pula, kerajaan Balok tampak tetap eksis menguasai pulau Belitung dan terjauhkan dari campur tangan VOC.
Strategi pencitraan kerajaan Balok dalam menghadapi VOC tampak dilakukan secara sistematis. Sebab VOC kemudian seperti tidak punya pandangan lain mengenai pulau Belitung selain merupakan pulau bajak laut.
Berikut ini akan ditampilkan laporan-laporan yang muncul pada abad-18 yang kemudian sangat mempengaruhi pandangan VOC terhadap pulau Belitung. Laporan-laporan tersebut dimuat dalam buku Cornelis de Groot yang diterbitkan pada 1887.
A. Van der Werp pada akhir bulan Februari 1754 membuat laporan yang ditulis di Palembang. Laporan ini disusun berdasarkan penuturan seorang Melayu yang pernah tinggal di Belitung selama hampir satu tahun. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa daerah pulau Belitung seperti Sijuk dan Tanjong Gunong tempat yang tidak sehat dan sangat berbahaya. Bahkan daerah Balok sama sekali tidak bisa didekati. Pulau Belitung juga merupakan tempat singgah para bajak laut dari Johor yang sering kali beroperasi di laut Jawa.
“Sebagian hasil rampokannya ditukar, yang diam-diam diketahui oleh istana (Palembang),” tulis Werp.
Pada Oktober 1755, terdapat laporan dari seorang pedagang bernama Koopman Matthijs Diderik Haak. Laporan itu menyatakan VOC tidak akan memperoleh apa-apa dari Belitung. Sebab Belitung disebut hanya menghasilkan besi yang dibutuhkan untuk pembuatan perabotan dapur.
“Selanjutnya (pulau Belitung) dikelilingi batu cadas dan dihuni oleh kawanan bajak laut dan bandit-bandit lain,” tulis Haak.
Pada 14 Oktober 1757, muncul lagi laporan yang dibuat berdasarkan berita dari syahbandar Johannes Andreas Paravicini. Laporan ini juga menekankan sisi negatif Belitung sebagai daerah bajak laut dan hanya menghasilkan sedikit besi yang tidak menguntungkan dalam perdagangan.
“Pulau Bliton adalah tanah liar, penduduknya terdiri dari sampah masyarakat yang tinggal di situ dan sekarang membentuk perkumpulan maling dan bajak laut dan memusatkan aktivitasnya merampok pelaut yang lewat di situ, bahkan sampai mendekati daerah Batavia,” tulis Paravicini.
Pada sisi lain Paravicini tetap memasukkan nama Belitung disamping Bangka dalam kontrak perdagangan antara VOC dan Batavia. Pencantuman nama Belitung mengindikasikan bahwa Paravicini telah mengakomodir isu tentang adanya timah dari pulau Belitung.
Kemudian pada 24 Desember 1757 juga ada laporan dari seorang berkebangsaan Tiongkok bernama Lim Tjipko. Laporan ini juga mengungkapkan tentang keberadaan kawanan bajak laut di Belitung. Sedangkan komoditi perdagangan yang dihasilkan oleh Belitung hanya berupa tangkapan laut dan hasil dari hutan.
“Di sebelah selatan dari pulau adalah tempat tinggal penduduk yang terpencil. Di sebelah lainnya dari pulau itu ada teluk yang dibentuk oleh laut dengan karang-karang berat di sekelilingnya, dengan tempat masuk sempit yang bisa dilalui perahu ringan sewaktu air pasang. Di teluk ini terdapat tempat sejumlah besar bajak laut; orang Bugis, Bangka, Melayu, Jawa, dan lain-lain sebagainya yang membajak di pantai-pantai Jawa, Cirebon dan pulau lain yang berdekatan. Rampasannya dijual sampai Bliton. Jika dikejar mereka bersembunyi di dalam sarangnya di mana mereka bebas dari badai dan kapal-kapal besar. Tetapi perhatikan bahwa mereka tidak mengganggu kapal-kapal yang pergi ke Bliton untuk berdagang, sebab untuk mencapai sarangnya mereka harus berlayar memutari desa Bliton dan mereka menyadari bahwa perbuatan melanggar akan dihukum setimpal oleh Ngabehi,” tulis Lim Tjipko.
Puncak dari laporan negatif tentang pulau Belitung akhirnya ditulis sendiri oleh internal VOC. Adalah Residen Palembang H.J. de Heere yang menulis laporan tersebut. Ia tiba di Tanjong Gunong, Belitung pada hari Minggu 16 September 1759.
“Sejauh ini saya telah meninjau tiga hari di daratan, melihat satu dan lain hal, memikirkan mengenai pulau ini apakah menguntungkan untuk maskapai, saya di sini menyatakan bahwa pulau itu tidak ada gunanya bagi kompeni dan percuma saja untuk mengeluarkan ongkos. Pulau itu sebanding dengan tanah bajak laut yang didiami bandit-bandit,” tulis De Heere.
Perlu diketahui, kedatangan De Heere di pulau Belitung berada dalam pengawalan kerajaan Balok dan wakil dari Kesultanan Palembang. Ia dipandu oleh kedua pihak tersebut selama melakukan inspeksi ke sejumlah lokasi. Sampai kemudian De Heere menyimpulkan bahwa pulau Belitung tidak ekonomis bagi VOC.
Jadi pada babak ini kerajaan Balok bukan hanya memainkan stretegi pencitraan secara baik. Tapi lebih jauh mereka tampak telah menerapkan taktik negosiasi Good Guy Bad Guy. Pihak kerajaan memainkan peran Good Guy dan para bajak laut diposisikan sebagai Bad Guy.
Sikap buruk para bajak laut memberi ruang bagi kerajaan Balok untuk meyakinkan perwakilan VOC bahwa hanya pihak kerajaan adalah satu-satu orang yang bisa mereka percayai sekaligus menjaga mereka saat menginspeksi pulau Belitung. Selanjutnya pihak kerajaan tinggal melakukan sabotase dalam kegiatan pemanduan tersebut. Tempat-tempat yang buruk ditunjukkan, sedangkan tempat-tempat potensial disembunyikan.
Pada kemudian hari, Conerlis de Groot dalam bukunya (1887) mengkritik inspeksi yang dilakukan oleh De Heere pada 1759. Sebab menurutnya, De Heere terlalu percaya apa yang disampaikan oleh para pemandu dari Belitung tanpa mau mengecek lebih jauh hingga ke pedalaman. Padahal bila hal itu dilakukan, maka kemungkinan besar De Heere akan menemukan potensi sesungguhnya yang disembunyikan dari pulau Belitung, yakni timah! Menurut De Groot, kandungan timah adalah salah satu musabab berdirinya pemukiman dan berkembangnya isu bajak laut di pulau Belitung.
“Adalah aneh bahwa Residen De Heere tidak memperoleh kepastian mengenai adanya bijih timah atau produksi timah, yang telah dibicarakan semenjak 1746 lewat informasi yang diperoleh dari bumiputra, sedangkan Paravicini telah memuat dalam kontraknya dengan Palembang untuk melever timah Belitong. Semestinya oleh penelitian De Heere di tempat, ada kepastian apakah Belitong mengandung timah atau tidak,” tulis De Groot.
“Lebih aneh lagi bahwa Residen yang menguasai kapal perang dan sekoci Golconda, diperlengkapi dengan pemandu-pemandu Belitong dan seorang Pangeran Palembang, tidak mengunjungi tempat-tempat lain, hanya Tanjung Pandang (Tanjung Pandan), sedangkan tempat-tempat lain sudah disebut,” tulis De Groot.
Soal strategi Good Guy Bad Guy ditulis dalam buku Secrets of Power Negotiation Rahasia Sukses Seorang Negosiator Ulung. Buku ini ditulis oleh Roger Dawson tahun 1999. Ia mengatakan gambit Good Guy Bad Guy biasa ditemui saat seseorang sedang bernegosiasi dengan dua orang atau lebih.
“Gambit ini merupakan cara menekan orang tanpa harus menimbulkan konfrontasi dari pihak lawan,” tulis Dawson.

Baca sambungannya :
Kerajaan Balok - Part 1
Kerajaan Balok - Part 2
Kerajaan Balok - Part 4
Kerajaan Balok - Part 5
Kerajaan Balok - Part 6
Kerajaan Balok - Part 7
Kerajaan Balok - Part 8
Kerajaan Balok - Part 9
Kerajaan Balok - Part 10