Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Kulek Terakhir, Sebuah Pengantar Sejarah Suku Sawang Gantong - Part 4


Bab III
Pergulatan Hidup di Darat
(Kulek Terakhir)
  
Dokumentasi tertulis tentang Orang Laut di Belitung disebut-sebut sudah muncul pada tahun 1668. Hal ini ditulis dalam buku Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia yang merujuk pada sumber kepustakaan lama.

”Ketika pada tahun 1668 kapal Belanda mendarat di Pulau Belitung, para awak kapal mendapat serangan orang Ameng Sewang. Ini menunjukkan di masa lalu mereka pernah mempunyai kekuatan yang cukup berarti,”
M Junus Melalatoa, 1995.

Hal tersebut kata Junus, menunjukkan bahwa Orang Laut telah berabad-abad lamanya menghuni laut dan pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Bangka dan Belitung. Namun tulisan Junus ini tampak tidak menggunakan rujukan langsung dari sumber kepustakaan lama.
Sebab di akhir tulisan tersebut, Junus mencantukan daftar rujukan yang digunakannya. Rujukan itu yakni dari tulisan Ishak H di media Kompas terbitan 14 Februari 1980, Sarwoko di media Intisari edisi Februari 1981, dan Setyobudi di Seri Profil Masyarakat Terasing di Indonesia yang diterbitkan Direktorat Bina Masyarakat Terasing Departemen Sosial R.I tahun 1987.
Bila melihat tahun yang dimaksud yakni 1668, kemungkinan besar kapal Belanda yang mendarat itu adalah kapal De Zantlopper yang dinahkodai oleh Jan De Harde. Dalam buku Stapel memang disebutkan bahwa pada 12 Juli 1668, De Harde berangkat dari Batavia menuju Pulau Belitung dalam rangka mengawal seorang petinggi Palembang bernama Sampoera.
Buku Stapel juga melampiran laporan De Harde ketika berkunjung ke Pulau Belitung. Namun dalam laporan tersebut tidak terdapat satu kata pun yang mendeskripsikan Orang Laut, apalagi mengisahkan tentang serangan dari Orang Laut terhadap kapal De Harde. Penyerangan terhadap De Harde baru terjadi pada saat kunjungan keduanya ke Pulau Belitung pada 14 Juni 1672.         Ia tiba di muara sungai Kubu dan esok harinya tanpa disadari kapalnya sudah dikepung oleh 12 perahu yang berpura-pura mencari ikan.
Kapal De Harde diserang menggunakan tombak dan kapak. Akibatnya satu awak meninggal, 10 orang luka-luka dan De Harde sendiri mengalami luka yang parah.
Kisah inilah yang kemungkinan ditafsirkan sebagai serangan Orang Laut. Namun sekali lagi perlu dipertimbangkan bahwa De Harde sama sekali tak menulis secara detil tentang siapa suku yang menyerangnya tersebut.
Sejauh yang penulis ketahui, catatan mengenai Orang Laut tercantum dalam Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1820. Dalam surat keputusan tersebut Orang Laut ditulis dengan tulisan Siekapas yang kemudian diterjemahkan oleh Stapel (1938) sebagai Orang-orang Sekah.
Komisaris Hindia Belanda untuk Pelembang yakni J.I. Sevenhoven berkunjung ke Belitung pada Juli 1823. Dalam laporan kunjungannya, Sevenhoven menulis Orang Laut dengan tulisan Orang-Sekah atau Orang-Laut.
Dari generasi ke generasi Orang Belanda yang berkunjung ke Belitung tampak tidak konsisten dalam menuliskan nama Orang Laut. Insinyur tambang Dr. J.H. Croockewit yang berkunjung ke Belitung pada 1850 menuliskan nama Orang Laut dengan tulisan Orang Sicca.
John F. Loudon (1851) menulis Orang-laut atau Orang-sekah dan Cornelis De Groot hanya menulis Orang Sekah. Sedangkan Hedemann (1861) menulis lebih singkat yakni Sekkahs. Tampak sekali adanya perbedaan dalam penulisan Orang Laut. Padahal mereka sama-sama bertemu dan berhubungan langsung dengan Orang Laut di Belitung.
Perbedaan penulisan tersebut berlanjut hingga zaman kemerdekaan Indonesia. Sebagai contoh Ishak dalam tulisannya di Kompas 14 Februari 1980 menulis Orang Laut dengan tulisan Suku Laut. Sarwoko dalam majalah Intisari edisi Februari 1981 menulis Orang Laut dengan tulisan Suku Ameng Sewang. Dan Setyobudi dalam Seri Profil Masyarakat Terasing di Indonesia tahun 1987 mendeskripsikan Orang Laut dengan tulisan Suku Laut (Ameng Sawang).
Sementara Mary F.Somers Heidhues dalam karyanya Company Island: A Note on The History of Belitung, Mary F.Somers Heidhues April 1991 menulis Orang Sekak. Kemudian dalam Sejarah Timah Indonesia, Sutedjo menulis Orang Laut dengan tulisan Orang Sekak. Menurut Sutedjo, Orang Sekak juga menamai dirinya Manih Bajau yang artinya turunan bajak laut.

Tabel 3.1
Bentuk Penulisan Nama Orang Laut Pulau Belitung
Menurut Berbagai Literatur dari Masa ke Masa*

Era
Bentuk Penulisan
1800-1899
Siekapas, Orang Sicca, Orang Sikka, Orang-Sekah, Orang-Laut, Orang Sekah, Orang Laut, Sekkahs, Sekka
1900-1999
Suku Laut, Suku Ameng Sewang, Suku Ameng Sawang, Orang Sekak, Manih Bajau
2000-2016
Suku Laut, Orang Sawang, Suku Sawang
*Dari berbagai sumber. Wahyu Kurniawan, 2016.

Orang Laut di Pulau Belitung sekarang menamai dirinya dengan sebutan Suku Sawang. Selebihnya Suku Sawang Gantong menambahkan kata yang merujuk pada wilayah domisili. Contohnya seperti Suku Sawang Gantong, Suku Sawang Manggar, Suku Sawang Jalan Baru, dan Suku Sawang Seberang.
Suku Sawang Gantong berpusat di RT 4 Dusun Seberang, Desa Selinsing, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur. Suku Sawang Manggar di Desa Baru, Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Suku Sawang Seberang di Desa Juru Seberang, Kecamatan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung, dan Suku Sawang Jalan Baru di Jalan Gatot Subroto, Kelurahan Paal Satu, Kecamatan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung. Selebihnya sebagian warga Suku Sawang berbaur di dalam lingkungan masyarakat umum di berbagai desa di Pulau Belitung.
Pada era kolonial, kata ’Suku Sawang’ tampaknya tidak pernah digunakan untuk menyebutkan identitas Orang Laut di Belitung. Hingga kini belum jelas sejak kapan nama Suku Sawang pertama kali digunakan dalam bentuk tulisan ataupun lisan.
Laporan survei Direktorat Pembinaan Masyarakat Terasing pada tahun 1977 sudah menggunakan kata ’Sawang’. Hanya saja kata tersebut menjadi sebuah kesatuan yang ditulis lengkap; Ameng Sawang.
Para sesepuh Suku Sawang Gantong mengatakan, penggunaan nama Sawang sebetulnya sudah ada sebelum tahun 1977. Setidaknya menurut mereka, Orang Laut di Kecamatan Gantung sudah mendeklarasikan penggunaan nama Sawang pada awal tahun 60-an.
Hal ini merujuk pada pembentukan klub sepakbola SSG yang merupakan singkatan dari Suku Sawang Gantung. Sayang generasi yang tersisa sekarang kurang begitu ingat kapan pertama kali klub tersebut dibentuk. Seingat mereka, klub tersebut sudah eksis sejak awal tahun 1960 dan masih bertahan hingga sekarang.
Penggunaan kata Suku Sawang menjadi semacam sebuah perlawanan Orang Laut terhadap kesalahpahaman orang dalam mengidentifikasi Orang Laut di Pulau Belitung. Sebab Orang Laut di Belitung mengklaim tak pernah menamai diri mereka sebagai Orang Sekah, atau Orang Sekak. Hal ini juga berlaku bagi komunitas Suku Sawang Gantong.
Mereka lebih senang dipanggil Orang Laut dibandingkan Orang Sekak atau Orang Sekah. Sebab para leluhur mereka dulu memang memperkenalkan diri dengan nama Urang Laut, yang secara harfiah juga sama seperti Orang Laut. Setelah itu baru mereka menggunakan nama Suku Sawang. Kata ’Sawang’ sendiri sebenarnya memiliki arti yang sama yakni laut, jadi Orang Sawang sama artinya seperti Orang Laut, begitu juga Suku Sawang yang artinya adalah Suku Laut.
Nama Sekak atau Sekah tak lain hanyalah nama yang digunakan masyarakat Melayu di Pulau Belitung untuk mengidentifikasi Orang Laut. Hingga kini tak jelas siapa yang pertama kali menggunakan nama Sekak.
Namun Suku Sawang mengetahui makna dari kata Sekak dan menilai hal tersebut sebagai sebuah ejekan dan penghinaan. Mereka sama sekali tidak menyukai panggilan tersebut, dari sejak dulu sampai sekarang.

”Di kampung kami Belitung ada sebuah suku, kami namai Sekak, istilah umumnya Suku-laut. Sekak selalu berdiam di tepi laut, di sekitar pantai, sungai dan muara.  Bertempat tinggal dalam perahu. Ataupun kalau punya  rumah, biasanya rumah panggung yang tinggi di atas air, dengan  perhitungan kalaupun air laut pasang-naik tidak akan sampai ke lantai  rumah. Mereka hidup beramai-ramai bergerombolan. Suku-laut ini menyebar di  sepanjang pantai pulau Belitung, Bangka dan kepulaun yang ada di Riau-Tanjungpinang sampai di pesisir pantai Kalimantan sebelah barat,”
Sobron Aidit (2001),
Kisah Serba Serbi edisi 281

Kutipan yang diambil dari tulisan Sobron Aidit adik kandung D.N Aidit itu setidaknya memberikan gambaran. Seorang Melayu seperti Sobron mengakui bahwa Sekak adalah nama yang mereka gunakan untuk memanggil Orang Laut.
Nama Sekak diambil dari kata Nyekak. Menurut para sesepuh Suku Sawang Gantong, kata tersebut merupakan sebuah istilah untuk menyebutkan kebiasaan Orang Laut yang suka mengupas kerang (nyekak) dan memakan isinya mentah-mentah. Kebiasaan ini dipandang primitif karena memakan hewan laut tanpa dimasak terlebih dulu. Sampai kemudian sempat muncul istilah ’Urang Sekak makan barang mantak’ yang artinya ’Orang Laut makan barang mentah’. Munculnya diskriminasi semacam ini semakin memperlebar jurang perbedaan antara Orang Laut dan masyarakat umum di Pulau Belitung. Akibatnya, pada era sebelum tahun 60-an Suku Sawang Gantong bertahan menjadi sebuah komunitas yang mengisolasi diri dari pergaulan luas.
Namun pada dasarnya Suku Awang adalah komunitas yang cinta damai. Hal ini terbukti dari prinsip yang dipegang oleh Suku Sawang Gantong. Mereka berpegang teguh menahan diri dari perselisihan selama orang lain tak menggunakan kata Sekak di hadapan mereka. Karena itu pula mereka sebisa mungkin membatasi diri dalam pergaulan supaya mereka tak mendengar kata Sekak di telinga mereka. Kalaupun ada yang jelas-jelas mengejek lewat sebutan Sekak, maka serombongan Suku Sawang Gantong akan mencari orang tersebut sampai dapat.

Gambar 3.1. Rumah Orang Laut. Suku Sawang Gantong menyakini foto ini mirip seperti kondisi rumah mereka sebelum pindah ke Kampong Laut. Sumber: Gedenkboek Billiton 1852- 1927/Repro.
Namun entah siapa yang pertama kali memulainya, Suku Sawang Gantong kemudian berangsur-angsur berbaur dengan masyarakat di sekitarnya. Kuat dugaan bahwa klub sepakbola SSG adalah salah satu media bagi Suku Sawang di Kecamatan Gantung untuk mendekatkan diri pada masyarakat luas di Pulau Belitung.

Gambar 3.2. Para pemain klub sepakbola Suku Sawang Gantong (SSG) sedang berparade. Sumber: Dokumentasi Jana, tahun 60-an/Repro.
Kekuatan fisik lelaki Suku Sawang menjadikan mereka sebagai pemain sepakbola yang disegani sekaligus disenangi. Secara bertahap, pesepakbola Suku Sawang juga mulai diajak untuk bermain bersama di klub dari luar komunitas mereka.

Orang-orang Sekak biasanya hidupnya berkolektif, bergerombolan, ramai-ramai. Kalau ada pertandingan bola di Tanjungpandan, hanya kalau orang-orang Sekak turut main, maka serombongan mereka pada nonton. Dari bayi, anak-anak sampai kakek-nenek, memenuhi pinggiran lapangan sepakbola itu. Kami penduduk asli Belitung tak sampai begitu, tak ada dan tak pernah. Mana ada perempuan, nenek-nenek dan kakek-kakek pada nonton bola, tak ada itu!
Sobron Aidit (2001),
Kisah Serba Serbi edisi 281

Generasi muda Suku Sawang sekarang sudah ikut memperkuat kesebelasan PS Beltim Kabupaten Belitung Timur di berbagai ajang sepakbola di tingkat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung maupun wilayah Sumatera. Penampilan mereka juga selalu menarik perhatian para awak media.


Nama Suku Sawang tampaknya semakin menguat pada abad ke-21 ketika nama tersebut dimasukkan oleh Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi yang diterbitkan perdana tahun 2005. Bahkan Andrea memuat satu bab khusus di bab 14 yang diberi judul Laskar Pelangi dan Orang-Orang Sawang.
Sosok Suku Sawang juga masih dimasukkan dalam novel Sang Pemimpi terbitan tahun 2006. Lalu pada 2012, bab 14 novel Laskar Pelangi kembali dimuat ulang dalam buku Andrea Hirata dan kawan-kawan yang diberi judul Laskar Pelangi Song Book, Kisah dan Lagu dari Negeri Laskar Pelangi.
Dalam novel Laskar Pelangi tersirat bahwa hubungan antara komunitas Melayu dan Suku Sawang di Pulau Belitung sudah berlangsung sejak lama. Hubungan itu dalam bentuk barter di mana orang Melayu menukar hasil buruan dan komoditi hutan dengan garam buatan para perempuan Suku Sawang. Transaksi kedua belah pihak disebut berlangsung di teluk Balok yakni sebuah teluk yang sekarang berada di perairan Kecamatan Dendang, dan Kecamatan Simpang Pesak, Kabupaten Belitung Timur.
Tidak disebut mengenai asal usul Suku Sawang dalam novel Laskar Pelangi. Namun sempat disinggung soal tingkat kelahiran di komunitas Suku Sawang yang dinilai rendah. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran tentang kemungkinan punahnya bahasa Suku Sawang.
Telepas Laskar Pelangi hanyalah sebuah novel. Tapi jelas nama Suku Sawang setidaknya telah dibaca banyak orang di Indonesia. Sebab novel tersebut dinyatakan laris hingga jutaan eksemplar dan mampu mendorong banyak wisatawan berbondong-bondong datang ke Pulau Belitung.
           
Menelisik Asal Muasal Suku Sawang Gantong
Sebelum pindah ke Sungai Lenggang Kecamatan Gantung, komunitas Suku Sawang Gantong lebih dulu tinggal di teluk Balok, Kecamatan Dendang, Kabupaten Belitung Timur. Hal ini dibuktikan lewat penuturan sesepuh Suku Sawang Gantong yakni (90) Daud yang mengatakan bahwa asal muasal keluarganya dari Dendang. Bahkan Daud sendiri mengaku dilahirkan di dalam perahu di wilayah tersebut.
Pernyataan ini selaras dengan catatan Loudon tentang Orang Laut pada tahun 1853. Dalam catatan tersebut, Loudon tak menyebutkan adanya sebuah komunitas Orang Laut di Sungai Lenggang, atau wilayah Gantung. Catatan Loudon perlu jadi acuan mengingat dirinya memang pernah menyusuri sungai Lenggang bersama sejumlah Orang Laut Belantu dan Tanjungpandan.
Menurut Loudon, pada masa itu Orang Laut dibagi menjadi lima kelompok utama yakni Orang Ketappang, Orang Parrak, Orang Belantoe (baca: Belantu), Orang Olim, dan Orang Djoeroe (baca: Juru). Sayang Loudon tidak merinci secara detil lokasi domisili dari kelima kelompok tersebut.
Hanya disebutkan Orang Ketapang dan Orang Parrak tinggal di sebuah teluk di Pulau Belitung. Orang Belantu tinggal di wilayah Distrik Belantu, dan Orang Olim di sebuah sungai kecil. Sedangkan Orang Juru sudah jelas berada di muara Sungai Cerucuk Tanjungpandan dan masih bertahan hingga saat ini.
Pada tahun 1868, Hedemann dalam bukunya mengatakan Orang Laut di Belitung terbagi menjadi tiga suku yakni Suku Parak, Suku Ketapang, dan Suku Belantu. Setiap suku memiliki kepalanya masing-masing. Pada tahun 1870, de Groot membuat pendataan baru tentang keberadaan Orang Laut di Pulau Belitung. Hasil pendataan itu dipublikasikan dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1887.
Menurut De Groot, di Tanjungpandan terdapat Suku Parak yang dikepalai oleh Ma Demang, di muara sungai Sijuk terdapat Suku Ketapang yang dikepalai oleh Kanten, di sungai Buding juga terdapat Orang Laut dikepalai oleh Ma Tidja. Sementara di sungai Manggar dekat ibukota Distrik Manggar terdapat Suku Bakau yang dikepalai oleh Poenei.
Selanjutnya di Ibukota Distrik Dendang terdapat perahu-perahu Orang Laut dari Suku Belantu, yang diperintah oleh kepala yang lebih rendah yakni Ma Senin dan Ma Kanon. Sedangkan sisa dari Suku Belantu lainnya dikepalai oleh Ma Mina yang menempati Pulau Seliu dan Sungai Membalong.
Jadi bila merujuk pada catatan De Groot, patut diduga kuat bahwa Suku Sawang Gantong adalah bagian dari Orang Laut Belantu. Hal ini juga menunjukkan bahwa sampai pada tahun 1870 belum terdapat komunitas Suku Sawang yang secara tetap mendiami wilayah Gantung dan perairan Sungai Lenggang.
Dugaan bahwa Suku Sawang Gantong adalah bagian dari Orang Laut Belantu diperkuat oleh catatan Loudon. Disebutkan bahwa pada tanggal 30 September 1851 di Benteng Tanjong Gunong, Loudon menerima permohonan maaf salah seorang kepala bajak laut bernama Ma Kotjek yang datang bersama para anggotanya yang terdiri dari 10 aloean. Menurut Loudon, Ma Kotjek adalah orang yang pernah dicatat dalam laporan insinyur tambang Croockewit pada 13 Desember 1850. Kala itu Croockewit bertemu dengan Ma Kotjek di muara Sungai Lenggang. Dalam laporannya tersebut, Croockewit menulis nama Ma Kotjek dengan sebutan Ma Koti.
Pernyataan Loudon ternyata benar setelah penulis mengecek lebih lanjut laporan Croockewit yang diterbitkan ke dalam sebuah buku berjudul Banka, Malakka En Billiton, tahun 1852. Pada tanggal 13 Desember 1850, Croockewit didatangi oleh tiga perahu Orang Laut yang berisikan delapan orang bertubuh besar. Mereka datang bersama lima pemimpin mereka. Kesalahan Croockewit dalam penulisan nama Ma Kotjek menjadi tampak wajar karena ternyata ia mendapatkan nama kelima pemimpin Orang Laut itu dari salah seorang muridnya. Pada sisi lain, Croockewit juga sedang dalam kondisi demam saat menyambut kedatangan lima pemimpin tersebut. Lima nama pemimpin Orang Laut itu oleh Croockewit kemudian di tulis; Ma Koti, Ma Mina, Ma Rantjan, Pa Moeda, dan Ma Selat.
Bila kita merujuk lagi pada catatan Loudon dan De Groot, tampak jelas Ma Kotjek yang dijumpai Croockewit di sungai Lenggang adalah bagian dari Orang Laut Belantu. Hanya saja mungkin karena pola hidup berpindah-pindah membuat Orang Laut hanya menetap di Sungai Lenggang khusus pada waktu tertentu saja.
Jadi bisa disimpulkan secara sederhana, Suku Sawang Gantong pada awalnya adalah bagian dari kelompok Orang Laut Belantu yang bermukim di perairan Dendang. Suku Sawang Gantong kemungkinan adalah keturunan dari Ma Kotjeh, Ma Senin, atau Ma Kanon. Pasalnya Ma Kotjeh tercatat pernah berada di muara Sungai Lenggang, sedangkan Ma Senin dan Ma Kanon adalah dua pemimpin Orang Laut Belantu yang secara khusus mendiami perairan Dendang.

Tabel 3.2
Kelompok Orang Laut Belantu

Croockewit
1850
Loudon
1853
De Groot
1870
Ma Koti
Ma Mina
Ma Rantjan
Pa Moeda
Ma Selat
Ma Mina
Ma Rantjang
Ma Selat
Ma Bali
Ma Lanang
Ma Intan
Ma Kotjeh
Ma Mina
Ma Senin
Ma Kanon
Sumber: Croockewit, Loudon, De Groot.

Kesimpulan ini semakin diperkuat lewat catatan dalam diktat Asin Bahari tahun 1987. Ia mengatakan, umumnya Orang Laut di Pulau Belitung berdiam atau berumah di atas perahu atau rumah-rumah yang didirikan di atas air. Bentuk rumah Orang Laut itu berupa gubuk-gubuk berukuran sedang dan kecil. Mereka terbagi dalam kelompok-kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari puluhan perahu. Setiap kelompok memiliki pemimpinnya sendiri yang disebut Batin. Penggunaan istilah Batin ini sudah dikenal setidaknya sejak abad ke-19. Kemudian secara lebih rinci Asin memaparkan kelompok-kelompok tersebut. Paparannya itu membuat penuturan Loudon dan De Groot semakin jelas.

”Di Pulau Belitung bagian barat, yang meliputi Kota Tanjungpandan dan pulau-pulau di sekitarnya terdapat di Pulau Baguk, Suku Ulim, Suku Parak, Suku Ketapang, sedangkan di Pulau Belitung bagian timur dan selatan terdapat Suku Bakau dan Suku Belantu. Suku-suku tersebut disebut berdasarkan tempat bermukimnya atau pangkalan pulang dari lautan,”
Asin Bahari, 1987.

Jelas di sini bahwa Suku Bakau adalah komunitas Orang Laut yang mendiami wilayah Manggar dan hal ini sama seperti yang disampaikan oleh De Groot. Sedangkan Suku Belantu adalah komunitas yang menghuni wilayah Kecamatan Membalong dan Dendang. Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut ditemui benang merah yang menghubungkan Orang Laut di masa lalu dan generasi yang tersisa sekarang.
Sesepuh Suku Sawang Gantong Udin (76) mengatakan, dirinya di lahirkan di Manggar, tapi orangtuanya berasal dari Dendang1. Menurut Udin, hampir semua warga Suku Sawang Gantong adalah keturunan dari Orang Laut Dendang.
Loudon mengatakan, Orang Laut Belantu memilih tinggal di Pulau Mengkokong pasca mendapatkan ampunan. Sedangkan Udin mengatakan, Suku Sawang Gantong memiliki pantun yang diturunkan secara turun temurun yang di dalamnya terdapat nama pulau tersebut. Simak bunyi pantun di bawah ini ;

Mengkukong banyak rengit
Rengit menebok buku kayu
Puncak gunung pasang dinamit
Idang menimbak burung geruda lalu.
1Wawancara Kamis. 21 Juli 2016 di Kampong Laut bersama para sesepuh Suku Sawang Gantong.

Kemungkinan perpindahan Suku Sawang dari Dendang ke Gantung dipicu oleh perubahan tata kelola penambangan timah. Pada awalnya Dendang lebih dulu menjadi sebuah distrik tambang. Dendang menjadi distrik tambang timah milik perusahaan Belanda pada tahun 1867, sedangkan distrik Lenggang dengan ibukotanya Gantong baru dibuka pada tahun 1868.
Pada tahun 1912, distrik Dendang ditutup. Sebagian wilayahnya seperti Membalong dimasukkan ke distrik Tanjungpandan, sementara daerah Dendang dan sekitarnya dimasukkan ke wilayah distrik Lenggang. Penutupan distrik Dendang ini kemungkinan menjadi pemicu Suku Sawang pindah ke Gantung. Dugaan ini merujuk pada catatan De Groot yang menyebutkan bahwa Orang Laut sangat bergantung pada perusahaan timah. Setidaknya begitulah kondisi Orang Laut pada tahun 1887. Orang Laut menyenangi pekerjaan lepas dengan upah tetap per hari yang kala itu hanya bisa mereka peroleh dari pihak perusahaan.

Gambar 3.3. Jembatan Gantong di Ibukota Dsitrik Lenggang sebelum diuruk menjadi daratan yang menyatu dengan areal pasar. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927/Repro.
Gambar 3.4. Jembatan Sungai Lenggang. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927/Repro.
Pada sisi lain, pihak perusahaan juga sangat terbantu dengan kehadiran Orang Laut. Karena itu tampaknya penting untuk membujuk mereka agar tinggal secara permanen di daratan. Komunitas Orang Laut asal Dendang itu akhirnya menetap di ibukota Gantung. Mereka secara bertahap meninggalkan perahu dan membuat rumah panggung di tepian Sungai Lenggang. Komunitas inilah yang kemudian pada masa sekarang menjadi Suku Sawang Gantong.
Menurut penuturan generasi yang tersisa saat ini, perpindahan Suku Sawang dari perahu ke darat berlangsung tanpa paksaan dan terjadi karena permintaan perusahaan timah Belanda. Permintaan itu bertujuan agar Suku Sawang mudah ditemukan saat pihak perusahaan membutuhkan tenaga mereka. Jika dibiarkan terus berada di perahu, Suku Sawang kemungkinan akan mengikuti naluri mereka, berpergian ke laut dan pulau-pulau di sekitar Pulau Belitung untuk mencari ikan dan tripang.
Prilaku Suku Sawang tersebut tentu akan menghambat urusan perusahan. Karena saking besarnya kepentingan perusahaan pada Suku Sawang, maka sebuah komplek perumahan akhirnya dibangun khusus untuk Orang Laut di Lenggang.
Komplek perumahan itu sekarang dikenal dengan nama Kampong Laut, yang terletak di Desa Selinsing, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur. Warga Suku Sawang setempat menyakini komplek tersebut pada awalnya berbentuk rumah panggung. Gambaran mengenai pemukiman Suku Sawang Gantong sebelum pindah ke komplek Kampong Laut bisa dilihat dalam foto di buku Gedenkboek Billiton 1852-1927.
Minimnya tingkat pendidikan para warga Suku Sawang membuat mereka tidak memiliki arsip sejarah yang baik. Penuturan dari para orang tua mereka juga tidak pernah tersimpan sehingga Suku Sawang Gantong tak mengetahui detil waktu perpindahan mereka ke komplek Kampong Laut. 


Udin mengaku dirinya masih sempat tinggal di rumah panggung di tepian sungai Lenggang, tak jauh dari jembatan Lenggang. Pada saat usianya kurang lebih tujuh tahun, orangtuanya pindah ke komplek Kampong Laut yang dibangun oleh perusahaan timah Belanda. Bila merujuk pada cerita ini, kemungkinan komplek perumahan Kampong Laut dibangun pada tahun 1947 pada masa NV. Gemeenschappelijke Maatschappij Billiton (GMB). Meski Indonesia sudah merdeka, perusahaan GMB masih eksis di Pulau Belitung hingga tahun 1958.
Universitas Leiden dalam sebuah buku yang dipublikasikan tahun 1900 setidaknya bisa memberikan gambaran tentang keberadaan Suku Sawang di Sungai Lenggang. Buku yang berjudul ’De tinmijnbouw-onderneming op Billiton in algemeene trekken geschetst’ tersebut sudah menyebutkan Sungai Lenggang adalah salah satu tempat tinggal Orang Laut di Belitung, disamping Sungai Cerucuk, Sijuk, Buding, Manggar, dan Dendang.
Catatan ini setidaknya memberikan gambaran bahwa Suku Sawang Gantong sudah menghuni sungai Lenggang secara tetap dalam kurun waktu antara tahun 1887 sampai 1900. Jadi, besar kemungkinan puncak perpindahan Suku Sawang ke wilayah Gantung berlangsung pada tahun 1912 yakni ketika distrik Dendang ditutup. Dengan kata lain Suku Sawang sudah menetap di wilayah Kecamatan Gantung selama lebih dari 129 tahun.

Gambar 3.6. Foto berjudul ikan duyung  ini terlampir dalam buku De Groot tahun 1887. Kemungkinan pria yang ada dalam foto ini adalah sosok seorang Suku Sawang.
Belum jelas bagi warga Suku Sawang Gantong ketika ditanya mengenai asal usul mereka sebelum tiba di Pulau Belitung. Hasil wawancara penulis dengan komunitas ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan antara satu dan yang lain. Sebagian mereka ada yang mengatakan Suku Sawang Gantong berasal dari Kepuluan Riau dan sebagian lagi mengatakan nenek moyangnya berangkat dari Johor, Malaysia.
Karena itu, kepastian mengenai asal usul Suku Sawang Gantong tampaknya masih butuh kajian lebih mendalam. Hubungan antara Orang Laut di setiap tempat di Pulau Belitung juga perlu dikaji kembali mengingat Suku Sawang Gantong merasa nenek moyangnya berbeda dari Suku Sawang Seberang. Bahkan Orang Juru di tepian muara sungai Cerucuk yang sempat dikira bagian dari Orang Laut ternyata memiliki bahasa yang berbeda. Satu lagi yang perlu menjadi perhatian adalah hubungan antara Orang Laut Belitung dan Pulau Bangka.

Orang Laut dan Tuan Loudon
Sampai pada tahun 1850, Orang Laut di Pulau Belitung dikenal oleh kalangan Eropa sebagai bagian dari komplotan bajak laut yang sangat berbahaya. Namun Sevenhoven menyakini Orang Laut tak bergerak secara mandiri dalam melancarkan aksi tersebut. Sebab ia menyakini Orang Laut tidak cukup mampu menyediakan beragam peralatan yang diperlukan sekaligus merancang strategi untuk melakukan pembajakan kapal-kapal Eropa. Hal itu hanya bisa diperoleh berkat dukungan para petinggi di Belitung dan pengaruh dari para pimpinan mereka sendiri.
”Banyak dari mereka adalah bajak laut, tetapi merupakan kebohongan bahwa hanya mereka yang mengambil alih pembajakan,” kata Sevenhoven.
Adalah John Francis Loudon yang dalam sejarah Hindia Belanda diakui sebagai orang yang berjasa mengatasi masalah Orang Laut di Belitung. Ia menyudahi keterlibatan Orang laut dalam aksi pembajakan tanpa sedikit pun menimbulkan korban.
Riwayat hubungan dengan Orang Laut itu diabadikan oleh Loudon dalam bukunya yang diterbitan tahun 1883. Buku itu disusun berdasarkan pengalamannya selama berada di Belitung kurun tahun 1851 sampai 1857. Sewaktu tiba di Belitung, Loudon menilai Orang Laut seolah-olah terbagi menjadi dua kelompok yakni Tanjungpandan dan Belantu. Kelompok yang pertama adalah orang-orang yang tenang dan patuh pada Depati. Sedangkan kelompok dari Belantu tampil sebaliknya, hidup secara liar dan tidak mengakui pemerintah.
Kelompok Belantu ini tinggal di pantai selatan dan timur Pulau Belitung. Mereka tidak berhubungan dengan kelompok Orang Laut lainnya. Menurut Loudon perbedaan itu terjadi karena kelompok Belantu bermukim jauh dari ibukota sehingga kontrol pemerintah terhadap mereka menjadi sangat minim. Namun Loudon menyakini bahwa kelompok Tanjungpandan pada awanya juga bagian dari komplotan bajak laut.

”Orang Laut atau Orang Sekah’s semua tinggal di dalam perahu dan bekerja sebagai pencari ikan, dan tripang, agar-agar, kura-kura, dan lain-lainnya dari laut,”
J.F Loudon, 1883

Minimnya kontrol pemerintah dinilai telah membuat Orang Laut dari kelompok Belantu mudah terjerumus dalam aksi perompakan. Namun aksi mereka tampaknya tidak murni atas obsesi pribadi. Hal itu dibuktikan dengan munculnya inisiatif untuk mengajukan ampunan kepada Pemerintah Hindia-Belanda lewat perantara Loudon.
Kabar tentang usulan permohonan maaf Orang Laut Belantu diperoleh Loudon dari seorang pedagang di Tanjungpandan asal Muntok bernama Haji Idries. Disebutkan bahwa 21 panglima atau kepala dari Orang Laut yang melakukan pembajakan di Pantai Jawa mau berbicara dengan Loudon di Pulau Kalimuak tanpa diketahui oleh Depati. Orang Laut ingin pertemuan itu tidak diketahui Depati bukannya tanpa alasan. Mereka sadar aksi mereka sebelumnya berada dalam naungan Ngabehi Belantu yang berasal dari keluarga Depati.
”Saya dengar bahwa Ngabehi dari Belantu sendiri mempunyai perahu-perahu yang digunakan untuk pembajakan di laut. Lima perahu di antaranya berawakan sejumlah Orang Laut dan sedang bersembunyi di salah satu sungai di bagian barat,” kata Loudon.
Orang Laut lari dan menyembunyikan perahunya lantaran takut melihat kedatangan dua kapal perang pemerintah yakni Aruba dan Etna di Pelabuhan Tanjungpandan. Sejumlah orang juga mengatakan pada Loudon bahwa Orang Laut tersebut telah merampok sebuah kapal di selatan Pulau Jawa. Bahkan Depati dikabarkan mengetahui aksi perompakan tersebut.

”Kapal mereka cukup kuat, tempat-tempat di mana mereka membajak adalah laut Jawa, di sekitar sini mereka tidak berani karena mereka telah dikenal betul. Dikatakan bahwa Depati tahu mengenai ini dan tidak melarang oleh karena mulutnya ditutup dengan hadiah-hadiah dan ponakannya juga dapat andil dari hasil bajakan tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang saya dengar di Sungai Selan,”
J.F Loudon, 18 Juli 1851.

Pasca menerima informasi tersebut, Loudon menghadapi sebuah dilema yang cukup berat. Satu sisi ia ingin membantu Pemerintah mengatasi masalah Orang Laut yang sering terlibat dalam aksi perompakan. Namun pada sisi lain dirinya juga tidak ingin menyakiti Orang Laut dan Depati karena hal itu bisa menggangu usahanya dalam merintis pertambangan timah di Belitung.
Langkah pertama yang ia lakukan adalah meminta jajarannya untuk tidak menyebarkan informasi tersebut pada awak kapal perang dan Depati. Ia kemudian juga menolak bertemu Orang Laut secara sembunyi-sembunyi di Pulau Kalimuak. Loudon pun memutuskan untuk menunggu sambil terus menjalankan kegiatan eksplorasi timah di berbagai tempat.
Ia sadar, setiap orang yang datang dan berbicara padanya pasti diketahui Depati lewat informasi para mata-mata. Pilihan agar tetap diam akhirnya membuahkan hasil. Depati kemudian buka suara dengan menyebut ada sejumlah saudagar pribumi yang tidak menyenangi dirinya. Menurut Depati, para saudagar yang tidak senang padanya lantaran mereka berteman baik dengan Mas Agus dari Lepar.
Sosok Mas Agus disebut-sebut sejak lama ingin mengambil posisi Depati di Pulau Belitung. Mendengar penuturan Depati tersebut maka Loudon menjawab segala informasi yang diterimanya hanya masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan. Loudon juga tetap menahan diri sekalipun Orang Laut terus mendesak ingin bertemu. Pilihan itu diambil dengan harapan Depati secara sadar mau mengaku tentang perkara pembajakan yang dilakukan oleh Orang Laut. Sebab Loudon juga mendengar bahwa Ngabehi Belantu memiliki banyak senjata yang disembunyikan di dalam tanah dan biasa digunakan untuk kebutuhan perahu saat melakukan pembajakan.
Butuh waktu hampir dua bulan Loudon menunggu sampai akhirnya Depati buka suara soal pembajakan yang dilakukan oleh Orang Laut dari Belantu. Peristiwa itu berlangsung pada 13 September 1851.
”Dia membenarkan semua yang telah saya dengar tetapi tidak bahwa dia tahu mengenai pembajakan laut dan keponakannya lah yang memimpin itu,” kata Loudon.
Depati memberikan pembelaan atas apa yang telah dilakukan oleh keponakannya dan Orang Laut dari Belantu. Mereka takut dihukum dan tak berani datang serta berjanji akan berubah menjadi baik setelah dimaafkan.
”Saya katakan untuk memberitahukan kepada para kepala (Orang Laut, red) bila mereka mau datang ke sini (Benteng Tanjong Gunong, red) dan berjanji menjadi baik maka mereka dimaafkan,” kata Loudon.
Berselang sembilan hari kemudian atau tepatnya 22 September 1851, Orang Laut dari Belantu tiba di rumah Depati. Loudon mendapat pesan dari Depati bahwa Orang Laut tersebut tidak berani datang ke Benteng.
Mendapat pesan tersebut, Loudon kemudian memutuskan untuk datang langsung ke rumah Depati. Rekan Loudon yakni Van Tuyll sempat menawarkan agar kunjungan ke rumah Depati dikawal oleh para serdadu. Kalau pun tidak, para serdadu bisa diminta berjaga dari jauh sambil menunggu kode bila terjadi sesuatu yang buruk pada Loudon dan Van Tuyll. Namun Loudon menolak dan yakin bahwa ide tersebut sama sekali tidak perlu. Mereka berdua akhirnya berangkat ke rumah Depati tanpa pengawalan.

”Bertemu mereka di halaman rumah Depati, kira-kira ada 50 orang yang berkumpul, tiga pemimpinnya yaitu Ma Rantjang (paling penting dan paling tua), Ma Minah dan Ma Selat. Mereka berjanji akan berkelakukan baik dikemudian hari, perahu-perahu besar yang mereka gunakan untuk membajak akan dilepas, dan senjata-senjata akan mereka serahkan dan selanjutnya akan tinggal menetap di Belitung dan akan menurut pada Depati,”
J. F Loudon, 22 September 1851.

Sebagai balasannya, Loudon berjanji agar Gubernur Jenderal Hindia-Belanda memaafkan mereka dan pihak Loudon selanjutnya juga akan menjamin para Orang Laut tesebut. Loudon meminta agar Orang Laut dari Belantu menyerahkan perahu-perahu dan senjata-senjata yang digunakan untuk pembajakan. Semua yang diserahkan itu akan dibayar sebagai ganti rugi, walau menurut Loudon perahu-perahu tersebut sebetulnya harus dibakar.
”Dan kalau mereka berkelakuan baik, mereka akan selalu dapat beras dari kami bila mereka lapar. Kelihatannya mereka merasa puas,” kata Loudon.
Tanggal 23 September, Depati mengatakan Orang Laut mau bersumpah di bawah Alquran di masjid. Sumpahnya yakni akan setia kepada Pemerintah dan Depati. Loudon dan van Tuyll diminta menyaksikan. Namun Loudon menilai sumpah tersebut tidak perlu karena sebelumnya Orang Laut sudah melakukannya. Orang Laut diminta pulang ke Belantu untuk membawa seluruh anggotanya ke Benteng, Tanjong Gunong.
Berselang tiga hari kemudian, atau tepatnya pada tanggal 26 September pukul empat sore, Orang Laut Belantu tiba di muara sungai Cerucuk Tanjungpandan menggunakan tiga perahu besar dan beberapa perahu kecil sambil membawa istri dan anak-anak mereka. Loudon sempat khawatir kedatangan Orang Laut Belantu diketahui dan diserang kapal perang Aruba. Namun nyatanya kekhawatiran itu tak terjadi. Menurut Loudon, Orang Laut mengaku sangat senang atas pengampunan yang telah diberikan kepada mereka.
Tanggal 27 September di Benteng Tanjong Gunong kembali terjadi percakapan antara Loudon dan Orang Laut. Orang Laut Belantu mengaku memiliki tiga buah meriam kecil yang dalam Bahasa Melayu disebut lela. Menurut mereka, satu dari tiga meriam itu dipinjam dari Ngabehi Belantu dan sudah dikembalikan.
Bukti keterlibatan Ngabehi Belantu dalam aksi pembajakan di laut semakin kuat. Apalagi kemudian Ngabehi Belantu menulis surat ke Depati yang isinya tidak bisa datang ke Tanjungpandan memenuhi undangan Depati. Loudon lalu menganjurkan Depati agar mengirim surat untuk Ngabehi Belantu.
”Bahwa kalau Ngabehi tidak datang, dia nanti bisa disalahkan karena telah meminjamkan senjata kepada Sekah-Sekah untuk dipakai membajak,” kata Loudon.
Siang hari, tiga pemimpin Orang Laut diminta datang ke Benteng untuk menerima uang atas penyerahan senjata mereka. Kemudian muncul kabar dari Depati yang meminta Loudon jangan takut karena ketiga pemimpin Orang Laut tersebut akan datang bersama para anggota kelompoknya. Menanggapi kabar tersebut Loudon mengatakan pihaknya tidak akan takut sekalipun yang datang itu 1000 orang.
Akhirnya datang tiga pemimpin Orang Laut bersama anggotanya yang berjumlah 94 orang. Uang yang dijanjikan diambil oleh tiga pemimpin tersebut. Loudon kembali menegaskan bahwa uang tersebut adalah kebaikan pihaknya dan selanjutnya perahu-perahu Orang Laut akan ditaksir dan dibayarkan kepada mereka.

Gambar 3.8. Perahu kulek di Desa Juru Seberang, Kecamatan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung. Sumber : Dokumentasi Wahyu Kurniawan/2014


Loudon punya kedekatan emosional yang cukup baik dengan komunitas Orang Laut. Dalam bukunya ia juga mengisahkan saat-saat yang menyenangkan ketika bermain baris-berbaris seperti serdadu bersama anak-anak Orang Laut Tanjungpandan.
Ketakutan Orang Laut pun semakin mencair, yang semula masih bertahan, akhirnya bersedia menemui Loudon. Ia adalah Ma Kotjek, salah satu kepala bajak laut dari kelompok Orang Laut Belantu. Ma Kotjek datang meminta ampunan dan akhirnya berkumpul bersama kelompok lain yang sudah lebih dulu tiba.
Momen ini adalah tonggak bersejarah dalam perjalanan hidup komunitas Orang Laut di Pulau Belitung. Mereka seperti mendapat harapan hidup yang lebih baik berkat pengampunan. Orang Laut di Sungai Padang yang dipimpin oleh Ma Moeda juga datang meminta ampunan saat Loudon dalam perjalanan ekspedisi di kawasan antara Sungai Padang dan Telok Buding. Pada masa lalu, kelompok Ma Moeda mengaku pernah merampok wangkang Cina dan membunuh awak-awaknya, dan sejak itu mereka berkeliaran di laut. Loudon kemudian memberikan ampunan dan menitipkan sebuah surat kepada Ma Moeda untuk diantar kepada Depati.
Selanjutnya Loudon menepati janjinya untuk meminta Pemerintah Hindia-Belanda mengampuni kesalahan-kesalahan Orang Laut di masa lalu. Pada tanggal 7 Desemeber 1851 ia tiba di Jakarta untuk menanyakan langsung jawaban atas surat resminya kepada kepada Gubernur Jenderal Mr. A.J. Daymaer van Twist.
Ia mengaku agak kecewa lantaran keputusan Pemerintah yakni membiarkan apa yang telah dilakukan oleh Loudon terhadap Orang Laut Belantu. Bagi Loudon, kata ’membiarkan’ membuat Pemerintah Hindia Belanda terkesan mencela dan menghina tindakan yang telah dilakukan Loudon pada Orang Laut.
”Saya membacanya sebagai pencelaan bukannya setuju dan itu membuat saya sedih,” kata Loudon.
Selanjutnya dalam keputusan tersebut, Orang Laut dijamin tidak akan dipersulit karena kelakuan mereka asalkan mereka bertingkah laku sebagai penduduk yang berguna. Pada kemudian hari, kekecewaan Loudon terobati. Pasalnya ia menerima penghargaan dari Kerajaan Belanda berupa pengangkatan sebagai kesatria penjaga ketentraman simbol kerajaan Belanda. Alasan pengangatakannya itu karena Loudon dianggap telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Baik dalam hal mengubah Orang Laut Belitung dari seorang bajak laut menjadi pekerja biasa dan bertempat tinggal secara tetap, juga karena membuat kekayaan mineral Hindia-Belanda semakin dikenal dan meningkatkan penggarapannya.
Sepulangnya ke Belitung, Loudon langsung mendapat kunjungan Orang Laut yang siap menerima tugas selanjutnya. Permintaan ini menjadi pemikiran Loudon sehingga dirinya membicarakan urusan itu kepada Depati. Hasil pembicaraan keduanya menyimpulkan bahwa keberadaan Orang Laut Belantu harus terus mendapat kontrol. Karena itu perlu menempatkan mereka dalam satu tempat agar mudah dihubungi dan diawasi. Orang Laut Belantu kemudian diberikan kesempatan untuk memilih tempatnya sendiri.
”Yang dipilih adalah Pulau Mengkokong, terletak di tepi barat pulau dan tidak jauh dari muara sungai Brang. Kemudian atas permintaan mereka, Ma Rantjang yang sudah tua diganti oleh Mak Mina, yang sebagai tanda kedudukannya diberi baju baru dari laken warna biru dengan leher baju keemas-emasan dan juga bendera Negeri Belanda. Dia diberi tugas membangun rumah dan memasang bendera di pulau itu. Kalau kapal-kapal dagang tampak di perairan, dia harus mengangkat benderanya,” kata Loudon.
Pulau Mengkokong yang dimaksud sekarang ini masuk dalam wilayah Desa Lasar, Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung. Namun pada era tahun 50-an, komunitas Orang Laut berangsur-angsur meninggalkan pulau tersebut.
Loudon juga ikut andil dalam pembuatan kebijakan daerah dalam mengatur kehidupan Orang Laut di Belitung. Ia meminta agar Orang Laut dibebaskan menjual hasil tangkapan laut kepada siapa pun. Namun Orang Laut harus melaksanakan perdagangannya di Tanjungpandan. Kebijakan ini muncul karena perahu-perahu asing sering merayu Orang Laut agar menukar hasil tangkapan mereka dengan beras di tengah laut. Sering pula Orang Laut diajak untuk menangkap ikan bersama mereka.
Perdagangan di tengah laut dianggap merugikan daerah dan Orang Laut sering kali menghilang tanpa diketahui ke mana perginya. Kebijakan ini juga untuk mencegah perbuatan tidak jujur para pemimpin Orang Laut yang sering membeli hasil penangkapan ikan para anggotanya dengan harga murah.


Gambar 3.11. Perahu Orang Laut berkumpul di sekitar dermaga Pelabuhan GMB di Tanjungpandan. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927/Repro.
Loudon juga mencegah Orang Laut Olim dari Pulau Lepar yang ingin tinggal di Belitung. Hal ini dilakukan karena kepala dari Pulau Lepar mengklaim Orang Laut tersebut sudah menjadi penduduk mereka. Orang Laut Olim bersikeras dan memilih tinggal di perairan Tanjung Kubu. Akibatnya Loudon terpaksa mempersenjatai dua perahu dengan meriam kecil untuk menakut-nakuti mereka. Cara ini hanya memberikan dampak sesaat karena Orang Olim kembali lagi. Kali ini Orang Olim sampai merendahkan diri dengan mengatakan rela digantung asal anak istri mereka diperbolehkan tinggal di Belitung. Hal ini dilakukan karena mereka mengaku kelaparan dan tidak mau tinggal di Lepar.
”Depati dan semua penduduk pribumi menaruh belas kasih pada Orang Laut yang kelaparan itu dan Depati segera memberi mereka makan nasi,” kata Loudon.
Perbuatan Loudon terhadap Orang Laut Olim membuat Residen Bangka menuduhnya terlalu banyak campur tangan dalam urusan masyarakat Bangka. Namun Loudon menjawab bahwa semua dilakukan atas prosedur yang benar dan Orang Laut Olim merasa puas karena diperbolehkan menetap di Belitung. Jawab Loudon membuat Residen Bangka sampai menilai Belitung tak akan pernah sejahtera tanpa merugikan Bangka.
Pola hubungan antara Loudon dan Orang Laut adalah saling tolong menolong. Artinya, pada sisi lain Orang Laut juga tak sekadar menjadi pihak yang senantiasa menerima bantuan, tapi juga memberi bantuan.
Pernah pada Desember 1853 Loudon dan rekannya Worbert menderita demam yang cukup parah sehingga harus di bawa ke Toboali. Namun pada saat diperlukan, satu perahu miliknya sedang dalam perbaikan dan satunya lagi sedang mengambil surat ke kapal pos. Akhirnya Orang Laut yang membawa Loudon menggunakan perahu dengan enam orang pendayung. Ketika sadar, Loudon diberitahu bahwa perjalanan dari Tanjungpandan ke Toboali tersebut berlangsung selama tiga hari. Setelah dua hari dirawat oleh dokter di Toboali, demam Loudon akhirnya sembuh. Sayang seorang rekan yang ikut bersamanya tak tertolong akibat demam yang begitu parah. Mungkin jika bukan Orang Laut yang mengantar, Loudon juga akan mengalami nasib yang serupa seperti rekannya tersebut.
Pada 11 Desember 1855 Loudon kembali ke Eropa. Setelah itu sebagian waktunya tidak lagi sepenuhnya terfokus di Belitung. Namun dalam setiap kunjungannya ke Belitung, Loudon selalu menyempatkan diri untuk memastikan kondisi Orang Laut.
”Pada salah satu kunjungan di Belitung, masih ada kesempatan bagi saya untuk mencegah para pengurus di Belitung membuat peraturan yang mengakibatkan kesedihan bagi teman-teman lama saya Orang Sekah dari Belantu,” kata Loudon.
Tindakan Loudon bukannya tanpa dasar. Ia menyakini Orang Laut mungkin akan mendapat perlakuan yang berbeda ketika dirinya tidak berada di Belitung. Keyakinan itu pun terbukti ketika ia berkunjung ke Belitung pada April 1857. Setibanya di Belitung ia menemukan adanya perselisihan yang cukup keras antara pengurus tambang timah Belitung dengan Orang Laut dari Belantu.             Perselisihan itu membuat Orang Laut menolak untuk menuruti perintah pengurus dan para pemimpin Orang Laut tersebut juga enggan menemui Asisten Residen berulang-ulang. Akibatnya, Orang Laut tidak menampakkan diri dan tinggal di selatan Belitung. Tindakan tersebut membuat Asisten Residen marah dan langsung menulis surat permohonan kepada Pemerintah agar mengirim kapal perang.
Loudon mendapat kabar tentang penyebab perselisihan antara pengurus dan Orang Laut. Ternyata ada kapal pribumi bermuatan beras yang terdampar di laut selatan Belitung. Kapal itu ditinggal oleh nahkoda dan para awaknya dan kemudian Orang Laut menjarah muatan kapal tersebut.
Cemas akan nasib Orang Laut, Loudon pun berusaha mencegah dan memohon kepada Asisten Residen agar menahan surat tersebut untuk beberapa hari saja. Loudon berjanji akan mengatasi masalah tersebut. Menurutnya tak mudah menyakinkan Asisten Residen yang merasa terhina akibat perlakuan Orang Laut tersebut.
Asisten Residen bersedia menangguhkan laporan dan Loudon langsung bergerak. Pertama yang ia lakukan adalah menyuruh orang membawa sebuh ’tanda’ darinya untuk Orang Laut Belantu. Tanda itu berupa baju jas merah flanel yang setiap hari dipakai Loudon. Selain itu Loudon juga meminta agar para pemimpin Orang Laut Belantu secepatnya datang ke Tanjungpandan.


Gambar 3.12. John Francis Loudon. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927/Repro
”Dua hari kemudian saya menemukan mereka pagi-pagi duduk di atas tanah di halaman rumah saya, jumlahnya kira-kira 30 orang, seperti anak-anak nakal dengan mata ke bawah. Atas pertanyaan saya mengapa mereka melanggar janjinya kepada saya, jawaban mereka, ’lapar!’,” kata Loudon.
Loudon kemudian memberi teguran dan menyuruh mereka pergi ke Depati dan selanjutnya menemui Asisten Residen. Namun setengah jam kemudian Loudon menerima laporan Depati bahwa dalam perjalanan menuju Asisten Residen, Orang Laut menolak menemui Asisten Residen dan kemudian langsung pergi naik perahu.
Loudon kemudian mengirim perintah kedua yang isinya sama seperti sebelumnya. Kali ini Orang Laut dari Belantu datang dengan jumlah yang lebih banyak, yakni sekitar 70-80 orang. Pada kesempatan itu Loudon meminta Depati untuk datang dan ia berbicara dengan nada keras bahwa Orang Laut harus mengikuti Depati menemui Asisten Residen. Meski terlihat enggan, Orang Laut pun akhirnya menuruti perintah Loudon.
Namun setengah jam kemudian mereka kembali dengan gembira. Mereka menjelaskan kesalahannya kepada Loudon dan sebagai hukumannya mereka disuruh membongkar muatan sebuah perahu layar bermuatan beras dan membawanya ke gudang. Sore hari saat sedang berjalan melalui kampung Loudon mendapati Orang Laut memanggilnya dari kejauhan sambil berteriak ’sudah kosong tuan’.
”Saya memerintahkan memberikan mereka beras dengan mengemukakan kalau mereka lapar lagi, mereka harus datang menemui pengurus untuk meminta beras dan jangan merampok perahu-perahu lagi. Saya yakin setelah ini mereka tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan lagi dengan perampokan,” kata Loudon.
Demikian rangkuman kisah Orang Laut yang dimuat dalam buku Loudon. Kemudian dalam sejumlah buku-buku Belanda seperti tulisan de Groot, Hedemann, dan Gedenkboek Billiton diakui bahwa Loudon adalah sosok yang menginspirasi Orang Laut meninggalkan dunia bajak laut sekaligus memberi pandangan baru mengenai pola kehidupan mereka.
Pesan terakhir dari Loudon tersebut mengisyaratkan bahwa Orang Laut bisa mengandalkan perusahaan bila mereka ingin makan. Mungkin karena pesan itu pula yang membuat Orang Laut secara sadar meninggalkan lingkungan asal mereka di laut dan memilih bekerja di daratan bersama perusahaan timah tanpa paksaan. Hingga kini penulis juga belum menemukan adanya catatan yang menyebutkan Orang Laut dipaksa bekerja oleh perusahaan timah Belanda.
”Orang Laut tidak membutuhkan banyak, meski pun tenaga mereka kuat, mereka lebih baik tidak bekerja, dan baru bekerja kalau kelaparan. Orang Laut dari Belantu khususnya sangat berterima kasih karena pemberian maaf dan selalu siap kalau dibutuhkan,” kata Loudon.


Mempertahankan Kulek Terakhir
Jumlah warga Suku Sawang di Pulau Belitung terus mengalamai penyusutan dari masa ke masa. Pada tahun 1851, jumlah mereka tercatat 1.654 jiwa berdasarkan laporan resmi pemerintahan setempat. Namun Loudon memperkirakan jumlah mereka lebih dari 2.000 jiwa.
Peta Kabupaten Belitung tahun 1856 karya Baron Melvill juga mencantumkan catatan jumlah penduduk Pulau Belitung per 1 Januari 1856. Dalam peta tersebut dinyatakan jumlah Suku Sawang di Pulau Belitung sebanyak 2.047 jiwa. Kemudian pada tahun 1870, hasil pendataan De Groot menunjukkan jumlah Suku Sawang mencapai 2.769 jiwa. Ensiklopedia Hindia Belanda terbitan tahun 1896 menyebut jumlah Suku Sawang pada tahun 1893 sebanyak 2.993 jiwa. Sedangkan dalam buku ’De Tinmijnbouw-Onderneming Op Billiton, in algemeene trekken geschetst’ pada tahun 1900 jumlah mereka diperkirakan mencapai 3000 jiwa.
Puncak populasi Suku Sawang kemungkinan terjadi pada era tahun 50-an. M. Junus mengatakan jumlah seluruh warga Suku Sawang di Pulau Belitung mencapai 1.000 kepala keluarga. Namun jumlahnya kemudian merosot drastis pada tahun 1980 menjadi 150 kepala keluarga atau hanya sekitar 500 jiwa. Direktorat Bina Masyarakat Terasing Departemen Sosial pada 1987 menyatakan jumlah warga Suku Sawang di Pulau Belitung hanya 115 kepala keluarga.

Gambar 3.14. Perempuan Orang Laut.
Sumber : Gedenkboek Billiton, 1927/Repro.

Belum tampak jelas faktor penyebab menyusutnya jumlah warga Suku Sawang di Pulau Belitung. M Junus memduga penyusutan itu terjadi lantaran sistim pengetahuan Suku Sawang yang masih sederhana. Kondisi itu membuat Suku Sawang dinilai tidak mampu menghadapi tantangan alam keras di sekitar lingkungan hidup mereka.
Dugaan Junus ini merujuk pada hasil penelitian Universitas Riau tahun 1977. Hasil penelitian menunjukkan angka kamatian Orang Laut di Provinsi Riau terbilang tinggi yakni mencapai 11 persen. Penyebabnya antara lain penyakit seperti malaria dan muntah berak.
Pada tahun 2016, jumlah warga Suku Sawang Gantong di Kampong Laut berjumlah 66 kepala keluarga. Mereka tinggal komplek perumahan berbentuk leter U yang terdiri dari 52 pintu. Sebagian kecil tinggal membaur di perkampungan. Menurut para sesepuh Suku Sawang Gantong, para istri mereka rata-rata melahirkan dua orang anak dan hanya sedikit yang melahirkan lebih dari empat anak. Kasus kematian akibat penyakit sering ditemui pada keluarga yang memiliki banyak anak.
Sekitar 80 persen warga Suku Sawang Gantong sekarang ini bekerja sebagai buruh bongkar muat di pertambangan timah.  Sebagian lagi jadi buruh di pertokoan dan sisanya menjadi nelayan.
Kemampuan mereka sebagai nelayan juga sudah jauh menurun bila dibandingkan cerita yang dituturkan dalam buku-buku kuno terbitan Belanda. Sekarang mereka sudah bukan penyelam tripang yang andal, setidaknya tak seandal seperti saudara-saudara mereka di Juru Seberang, Tanjungpandan. Bahkan mereka boleh dikatakan tidak mampu untuk membangun perahu sendiri.
Sekalipun sudah pernah diberikan bantuan perahu oleh Pemerintah, Suku Sawang Gantong masih sangat kesulitan untuk mengembangkan usahanya. Akibatnya, penghasilan dari melaut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan mereka sehari-hari. Aktivitas mereka juga sangat jauh dari laut. Mereka yang bertahan sebagai nelayan harus menempuh jarak belasan kilometer untuk sampai ke pangkalan perahu di Gusong Cine. Perahu khas mereka disebut Prauwok, biasa juga disebut Kulek. Jumlahnya kini memprihatinkan, yakni hanya tertinggal satu unit saja.  Adalah Kati (70) satu-satunya Nelayan Suku Sawang Gantong yang masih memiliki Kulek. Namun ternyata perahu miliknya itu adalah perahu produksi Tanjung Kubu, Desa Batu Itam, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Perahu itu dulu diperoleh Kati berkat bantuan Pemerintah pada tahun 2002. Terdapat tiga orang Suku Sawang Gantong yang memperoleh bantuan tersebut. Tapi yang tersisa sekarang hanyalah Kulek yang dimiliki oleh Kati, sedangkan dua Kulek lainnya sudah hancur.
Hancurnya Kulek terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya para nelayan Suku Sawang Gantong sudah beralih menggunakan perahu bermotor penggerak. Perahu ini biasa disebut perahu ketingting. Selain itu kemampuan Suku Sawang Gantong dalam hal memperbaiki kapal juga sudah tak seandal dulu lagi.

Gambar 3.15. Kati. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.
”Sampai kapan pun (Kulek itu) sebisa mungkin akan terus aku pertahankan, kalau rusak aku perbaiki lagi, kalau badan ini dak kuat lagi baru berhenti,”

Kati












Kati mengatakan, Kulek yang dimilikinya masih bertahan berkat kemampuannya dalam memperbaiki perahu. Di samping itu, Kati juga merasa lebih nyaman melaut menggunakan Kulek yang digerakkan menggunakan dayung kaki, ketimbang pakai mesin.
Kati adalah generasi Suku Sawang Gantong yang masih mempertahankan pola hidup seperti nenek moyangnya. Ia dilahirkan di dalam perahu di Pulau Baguk 70 tahun silam. Sepanjang hidupnya, Kati tak sekalipun berganti profesi selain menjadi nelayan. Ia tak peduli walaupun penghasilannya hanya cukup buat makan. Baginya, laut sudah menjadi bagian dari hidup. Ia bahkan akan merasa lebih sehat ketika berada di laut ketimbang berlama-lama tinggal di darat.
  
  Gambar 3.16. Tombak Rampang dan replika perahu kulek. Dua barang ini dimiliki oleh Udin. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.