Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Kulek Terakhir, Sebuah Pengantar Sejarah Suku Sawang Gantong - Part 5



Bab IV
Kembali ke Pusaran Zaman


Bukan Suku Bajak Laut
Para sesepuh Suku Sawang Gantong berkumpul dan mendengar secara seksama ketika penulis membacakan kisah Orang Laut dalam buku Loudon. Kisah pertama yakni tentang Orang Laut yang dicap sebagai bajak laut.
Ketua Adat Suku Sawang Gantong bernama Sunardo tak lantas gusar mendengar kisah tersebut. Pria yang akrab disapa Nado ini juga tak memungkiri bahwa Suku Sawang Gantong mungkin saja pernah terlibat dalam aksi pembajakan di laut pada masa sebelum Loudon tiba di Pulau Belitung.
Satu hal yang pasti, Suku Sawang Gantong tak pernah diajarkan oleh para orangtua mereka untuk mengklarifikasi kisah tersebut. Mereka hanya terfokus pada upaya menegakkan nama Suku Sawang dan menghilangkan panggilan Sekak. Bagi mereka, yang disebut bajak laut itu adalah Lanun, dan Orang Laut tidak sama dengan Lanun. Bahkan Suku Sawang Gantong memiliki sebuah permainan tradisional yang secara khusus menggambarkan pertempuran antara Orang Laut dan Lanun. Permainan itu biasa ditampilkan pada pelaksanaan tradisi Buang Jong setiap tahun.
Nado menduga, sebagian dari warga Suku Sawang pada masa lalu mungkin telah dimanfaatkan oleh Lanun untuk melancarkan aksi perompakan. Alasannya tak lain karena Suku Sawang sejak dulu terkenal memiliki fisik yang kuat dan postur yang besar, serta sangat andal di lautan. Suku Sawang yang berpendidikan rendah menjadikannya mudah diperdaya dan mau ikut terlibat dalam aksi Lanun. Tapi pada akhirnya Orang Laut kena getahnya dan terus dipandang sebagai bajak laut dalam berbagai literatur sejarah.
Pada dasarnya Suku Sawang Gantong masa kini tidak mengetahui kisah para nenek moyang mereka di masa lalu. Karena itu mereka tidak berani mengatakan bahwa Orang Laut pada zaman dulu benar-benar tak pernah melakukan aksi pembajakan. Pada sisi lain, Nado sendiri sempat mendengar cerita yang mengatakan bahwa Orang Laut pada masa lalu pernah menyerang kapal Inggris.
Namun Nado yakin Orang Laut, khususnya Suku Sawang Gantong bukan tipikal orang yang punya inisiatif untuk melakukan aksi perompakan seperti itu. Ia semakin yakin setelah mendengar cerita dalam buku Loudon bahwa hubungan Orang Laut dan Lanun terputus pada tahun 1822.
Menurut Nado, mungkin saja hubungan tersebut terputus lantaran Orang Laut sadar telah diperdaya. Mungkin pula Orang Laut memusuhi Lanun karena pembagian hasil jarahan yang tidak seimbang.
”Kami memang tidak menampikkan cerita itu, tapi kemungkinan, istilah kasarnya, pembagiannya mungkin tidak seimbang, lebih baik kita tidak usah ikut, misal dapatnya 10 juta, masa kita cuma 500 ribu, mereka dapat 9,5 juta, sedangkan yang akan mati kita, mungkin seperti itu, karena terus terang bukan saya membicarakan kekurangan kami, tapi secara garis besar memang tidak ada yang sekolah, jadi mudah ditipu,” kata Nado.
Di sisi lain, Orang Laut seperti halnya Suku Sawang Gantong adalah komunitas yang memiliki solidaritas yang tinggi. Mereka akan bersatu membela mati-matian siapa saja yang mereka anggap teman. Mungkin hal ini pula yang dimanfaatkan oleh Lanun atau pihak tertentu di masa lalu untuk memperdaya Orang Laut.
Nado membuat perbandingan serupa di masa kini yang mungkin bisa menjelaskan masalah yang dihadapi Orang Laut di masa lalu. Menurutnya, generasi Suku Sawang Gantong masa kini sering direkrut dalam sebuah klub sepakbola dengan bendera tertentu yang didanai oleh orang lain. Sebagai contoh, mereka pernah membela klub APMS milik juragan minyak di wilayah Desa Selinsing. Karena jumlah mereka dalam klub tersebut cukup banyak, maka masyarakat sering menilai bahwa klub tersebut adalah klubnya Orang Laut.

Gambar 4.1. Sunardo. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.

”Satu tim kan 11 orang, tapi karena sembilan pemainnya adalah Orang Laut, maka mayarakat bilang ini klub Orang Laut, padahal bukan,”

Sunardo
Ketua Adat Suku Sawang Gantong


Berdasarkan analogi tersebut Nado menduga Orang Laut akhirnya terlanjur disangka suku bajak laut oleh masyarakat luas. Padahal mungkin saja Orang Laut pada zaman dahulu hanya bagian dari aksi perompakan yang diorganisir dan didanai oleh kelompok lain.

Masyarakat Beragama
Sampai sebelum tahun 1860, sebagian besar warga Orang Laut di Pulau Belitung disebut tidak memeluk satu agama tertentu. Bahkan hal serupa masih disebutkan dalam buku Gedenkboek Billiton Jilid 2 terbitan tahun 1927. Namun terdapat tradisi mereka  yang diduga mirip dengan keyakinan agama Islam. Satu contoh dalam prosesi penguburan yang jenazahnya juga dibungkus menggunakan kain putih. Tapi selanjutnya, rangkaian prosesi di dalamnya sangat berbeda dengan Islam. Seperti adanya barang-barang peninggalan almarhum berupa priuk dan serampang yang ikut dimasukkan ke dalam kubur.
Sesepuh Suku Sawang Gantong Daud (90) tak menampik bahwa Orang Laut pada masa itu belum memeluk agama tertentu. Kondisi itu terjadi karena syiar agama Islam belum begitu gencar masuk ke dalam komunitas mereka. Selanjutnya, seiring pergaulan dengan masyarakat dan masuknya syiar agama Islam, Orang Laut kemudian secara sadar ikut memeluk agama Islam tanpa paksaan sedikit pun. Sekalipun sudah memeluk Islam, sebagian besar Orang Laut pada awalnya masih tetap menggunakan adat istiadat mereka. Satu contoh dalam hal pernikahan yang dilakukan tanpa menggunakan ijab kabul secara Islam. Suku Sawang Gantong menawai prosesi pernikahan mereka dengan istilah ’Kawin Adat’. Prosesi Kawin Adat di dalam komunitas Suku Sawang Gantong setidaknya masih berlangsung hingga era tahun 50-an.
Generasi tua yang sempat menjalani Kawin Adat itu masih bisa dijumpai hingga sekarang di Kampong Laut. Mereka mengatakan, dulu Kawin Adat diakui oleh pihak perusahaan timah. Sebab setelah melaporkan perkawinannya, seorang pekerja langsung akan mendapat tambahan tunjangan beras untuk istri mereka.
Nado sebagai Ketua Suku Sawang Gantong saat ini juga tak menampik soal kepercayaan orang-orang Suku Sawang di masa lalu. Ia mengaku dirinya harus bersikap objektif mengingat segala keterangan yang disampaikannya akan dibaca oleh banyak orang. Ia tak ingin dianggap menutup-nutupi sesuatu yang sebenarnya tidak mereka ketahui secara pasti.
Namun yang jelas, saat ini warga Suku Sawang Gantong sepenuhnya sudah memeluk Islam. Mereka juga sudah melangsungkan perkawinan secara Islam. Sedangkan soal ketaatan tentu hal itu dikembalikan kepada sikap priadi setiap orang. Satu contoh adalah Kati (70), warga Suku Sawang Gantong dari generasi tua yang dulu dilahirkan di atas perahu dan sekarang masih menjalani kehidupan sebagai seorang nelayan.
Saban subuh Kati sudah meninggalkan rumahnya di Kampong Laut menuju pangkalan nelayan di Gusong Cine yang jaraknya harus ditempuh selama dua jam bersepeda. Rutinitas itu ternyata diawali Kati dengan terlebih dulu melaksanakan Salat Subuh di rumahnya. Hal ini setidaknya memberikan gambaran tentang ketaatan Orang Laut pada agama semakin membaik.
Menjaga Budaya Bahari
Sekalipun bukan lagi masyarakat nelayan, tapi Suku Sawang Gantong masih menyimpan jejak kebudayaan bahari. Jejak itu tampak pada pelaksanaan tradisi yang dikenal dengan nama Buang Jong. Menurut Adiguna dalam Majalah Visit Beltim edisi 2 tahun 2013, tradisi yang dilaksanakan setiap tahun ini bertujuan untuk menghormati leluhur dan keluarga yang telah mendahului mereka. Selain itu Buang Jong juga digunakan sebagai media penghormatan pada penguasa laut agar memberikan keselamatan bagi para nelayan di lautan.
Nama Buang Jong adalah nama yang umum digunakan di wilayah Belitung Timur. Sedangkan di wilayah Belitung, upacara adat ini disebut dengan nama Muang Jong. Bagi Suku Sawang Gantong, penamaan tersebut bisa dimaklumi meski tak sesuai seperti aslinya. Para sesepuh Suku Sawang Gantong mengatakan, dalam Bahasa Laut tidak dikenal istilah Buang Jong. Istilah nama Buang Jong digunakan oleh Pemerintah Daerah ketika upacara tersebut diangkat menjadi salah satu daya tarik pariwisata.
Bila merujuk pada nama aslinya dalam Bahasa Laut, upacara adat tersebut dikenal dengan nama Mueng Patong. Kata ’Mueng’ secara harfiah berarti ’membuang’, sedangkan ’Patong’ adalah nama dari replika perahu yang digunakan sebagai salah satu properti utama dalam pelaksanaan upacara adat tersebut. Penamaan Jong disebabkan replika perahu tersebut mirip perahu Jong dan lebih mudah dilafalkan.
Menurut Asin Bahari, sewaktu Suku Sawang masih menghuni lautan, upacara adat tersebut dilaksanakan secara terpadu di Pulau Garongara. Bahkan upacara adat itu juga dihadiri oleh Suku Sawang dari Pulau Bangka. Belum jelas bagi penulis mengenai letak Pulau Garongara. Sebab pulau tersebut tidak tercantum dalam peta-peta kuno yang menggambarkan perairan Pulau Belitung pada abad ke-18 sampai abad ke-20. Namun sesepuh Suku Sawang Gantong memastikan bahwa Buang Jong di masa lalu selalu dihadiri oleh seluruh komunitas Suku Sawang seantero Pulau Belitung. Seperti contoh pada masa kini, ketika Suku Sawang Gantong menggelar Buang Jong, maka Suku Sawang dari Tanjungpandan dan Manggar juga ikut hadir bersama-sama.
Buang Jong diadakan selama tiga hari tiga malam. Pada masa lalu, pelaksanaannya dibiayai secara swadaya. Bagi Suku Sawang Gantong kondisi itu setidaknya berlangsung hingga tahun 2007. Bantuan Pemerintah Daerah mulai masuk pada pelaksanaan Buang Jong tahun 2008.
Fasilitasi Pemda tak sekadar dipandang sebagai sebuah bantuan materil bagi para sesepuh Suku Sawang Gantong. Pada sisi lain, mereka menganggap fasilitasi tersebut sebagai sebuah pengakuan Pemda terhadap keberadaan Suku Sawang di tengah komunitas sosial masyarakat. Mereka juga menganggap fasilitasi itu semakin memperkokoh nama Suku Sawang sebagai nama resmi yang diakui Pemerintah untuk komunitas Orang Laut di Pulau Belitung.

Gambar 4.2.  Patong. Ini adalah replika perahu yang sering disebut Jong dalam upacara adat Buang Jong. Sumber: Dokumentasi Amair, 2016.

Rindu Kembali ke Lautan
Setidaknya sudah lebih dari 100 tahun Suku Sawang Gantong terlibat dalam rantai kelola pertambangan timah di Pulau Belitung. Sebuah perjalanan panjang yang membuat mereka terjauhkan dari lingkungan asalnya di lautan. Namun perlu diperhatikan bahwa mereka tak sekalipun menyesali kondisi tersebut.
Bekerja di darat menjadi buruh ternyata adalah sebuah kebanggaan bagi para generasi Suku Sawang Gantong yang pernah hidup di era kolonial dan kemerdekaan. Bahkan kebanggaan itu masih berbekas pada generasi sekarang, sekalipun mereka hanya sebatas mendengar cerita.
Sesepuh paling tua di komunitas Suku Sawang Gantong, Daud (90) bahkan tak sungkan mengatakan dirinya pernah memijat tangan seorang Belanda di masanya. Ia tampak bersemangat ketika mengatakan pernah bekerja di banyak sektor mulai dari gudang, kolong, sampai kapal keruk. Semangat yang sama juga ditunjukkannya ketika menuturkan pengalaman sebagai pekerja di bawah perusahan timah era kemerdekaan. Pasalnya pada era kemerdekaan, fasilitas yang mereka peroleh dari perusahaan timah Belanda masih terus dilanjutkan. Rumah disediakan, bahan makanan berlimpah, listrik dan air gratis sehingga tidak ada cerita Suku Sawang yang menderita kelaparan apalagi terlantar.
Sesepuh Suku Sawang Gantong Udin (76) mengatakan, mereka merasa bangga bisa bekerja di perusahaan timah, baik pada masa Belanda maupun di era kemerdekaan. Bahkan menurutnya, pada masa Belanda Suku Sawang boleh dibilang menjadi anak kesayangan karena mau bekerja keras dan tidak pernah membuat masalah.

Gambar 4.3. Daud.
Sumber : Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.
”Dulu kami lebih banyak diam di perahu, tidak banyak diam di darat, tapi Belanda menyuruh kerja, jadi perahu merapat, tapi jadi susah turun naik perahu, makanya dibuatkan mereka rumah,”

Dalam konteks ini, Belanda yang dimaksud adalah perusahaan timah NV. Gemeenschappelijke Maatschappij Billiton (GMB). Perusahaan ini adalah gabungan dari saham Pemerintah Hindia Belanda dan NV. Billiton Maatschappij (BM). GMB beroperasi sejak tahun 1924 sedangkan pengelolaan timah sebelumnya dilaksanakan langsung oleh BM sejak 1860. Jauh ke belakang, pada 23 Maret 1852 usaha tersebut dikelola oleh konsesi atas nama J.F. Loudon sebagai pemegang kuasa Pangeran Williem Frederik Hendrik dan Vincent Gildemeester Baron Van Tuyll yang bertindak atas nama sendiri. Pada tahun 1958, izin GMB tidak diperpanjang dan Pemerintah Indonesia mengambil alih pengelolaan timah Belitung lewat Perusahaan Tambang Timah Belitung (PTTB). Pada 1960, PTTB disatukan ke dalam PN Tambang Timah yang sekarang menjadi PT Timah (persero) Tbk.
Sewaktu era restrukturisasi 1990-1995, PT Timah secara bertahap mengurangi jumlah karyawannya. Udin yang telah mengabdi selama 33 tahun menerima pesangon Rp 13 juta. Sedangkan Daud yang memang sudah lebih dulu purna tugas masih merasakan uang pensiun hingga sekarang.
Pasca restrukturisasi, PT Timah tetap membutuhkan tenaga Suku Sawang untuk kegiatan bongkar muat. Mantan L.O PT Timah di Belitung Timur Mahmuddin mengatakan, waktu itu pihak perusahaan menggunakan sistim perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Suku Sawang dipekerjakan dibawah naungan Koperasi Karyawan Timah (Kokartim) untuk melaksanakan pekerjaan tertentu yang dibutuhkan perusahaan seperti kegiatan bongkar muat di gudang wilayah operasi Gantung.
Walau sepertinya Suku Sawang tampak kurang mendapat posisi yang baik di akhir pengabdiannya, tapi mereka tetap bersemangat ketika bercerita tentang kejayaan di masa lalu.
Sewaktu masih bekerja sebagai karyawan perusahaan, mereka mendapatkan ransum setiap tanggal 25 atau tanggal 29 bersamaan pembagian gaji. Komponennya yakni kacang tanah, kacang hijau, gula, kopi, teh, garam, cornet, susu, ikan kaleng, ikan asin, sabun, rokok, dan buah-buahan seperti pisang dan kurma. Mereka masuk kerja pukul 07.00-11.00, istirahat dan masuk kembali 13.00-16.00 dan Sabtu pulang pukul 13.00 WIB. Sebagian mereka mengisi waktu luang dengan melaut, dan sebagian lagi sibuk pada minatnya masing-masing.



Gambar 4.4. Udin. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.

”Dulu gaji memang murah, tapi makanannya mewah, setiap bulan dapat jatah ransum, beras tiap hari dapat 9 ons, akhir bulan dapat lagi, kalau punya istri dan anak, jatah berasnya ditambah lagi, rumah dapat, air listrik gratis, bola lampu putus pun tinggal minta ganti ke perusahaan, gimana tidak bangga kerja di perusahaan,”

Setelah masa kejayaan timah berlalu, mereka sadar bahwa Suku Sawang Gantong seharusnya kembali ke lingkungan asalnya. Terlebih rumah yang mereka tempati sekarang di Kampong Laut bukan milik sendiri. Wacana pemindahan Kampong Laut membuka peluang mereka untuk memimpikan suasana laut di tepi pantai sebagai tempat tinggal.
Sejarah sepertinya terulang. Ingat 165 tahun lalu, para nenek moyang mereka diberi kesempatan untuk memilih tempat tinggal pasca mendapat pengampunan dan mereka memilih Pulau Mengkokong. Pada masa kini, mereka juga kembali mendapat pilihan, tapi pilihannya tetap mengarahkan mereka jauh dari laut. Sebetulnya mereka bermimpi bisa tinggal di tepian pantai Gusong Cine, tapi lokasi itu berada di luar wilayah administrasi desa mereka saat ini. Pilihan lainnya Pantai Mudong, tapi lokasinya masuk dalam kawasan hutan lindung. Walau belum tentu terwujud, tapi setidaknya mimpi ini menjadi indikasi bahwa generasi Suku Sawang Gantong masa kini masih menyimpan jiwa asli mereka sebagai Orang Laut. Sekalipun sudah lama tinggal di daratan, mereka tetaplah Orang Laut yang senantiasa merindukan lautan.
”Sedih memang rasanya,” kata Udin.
Zaman telah membuktikan bahwa Suku Sawang dapat diandalkan untuk menyukseskan berbagai agenda besar. Mereka mampu menjadi angkatan laut dalam perlawanan terhadap aksi kolonialisme barat di masa kerajaan. Mereka menjadikan roda pengelolaan timah di Pulau Belitung menjadi sempurna di masa Belanda hingga orde baru sehingga negara punya devisa yang bisa diandalkan. Karena itu, seyogyanya Suku Sawang juga bisa berada di posisi yang strategis untuk mendukung agenda besar Pulau Belitung pada masa kini di sektor pariwisata. Tentu hal ini membutuhkan pemahaman para pemangku kepentingan tentang jiwa, karakter dan sejarah Suku Sawang dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Orang Laut atau Suku Sawang begitu banyak diulas oleh para penulis dunia. Setidaknya fakta itu menunjukkan bahwa sejarah dan budaya mereka selalu menjadi daya tarik bagi banyak kalangan dari masa ke masa.





Menata Masa Depan
Sadar pada kelemahan sendiri adalah bekal penting bagi Suku Sawang Gantong untuk kembali ke pusaran zaman dan menata masa depan. Mereka menyadari selama ini telah tertinggal jauh dalam hal pendidikan. Bak gayung bersambut, kesadaran itu akhirnya mempertemukan mereka pada Program Peduli yang berada di bawah naungan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko Bidang PMK) Republik Indonesia.
Melalui program tersebut, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dan Penelitian – Air Mata Air (LPMP Amair) selaku Civil Social Organization (CSO) akhirnya dipercaya serta ditunjuk oleh The Asia Foundation (TAF) dan Kemitraan (Partnership) Indonesia untuk mendampingi masyarakat adat Suku Sawang Gantong. CSO yang berisikan kalangan akademisi muda Belitung Timur ini lantas melaksanakan salah satu program kerjanya bertema Penyetaraan Pendidikan Formal Bagi Masyarakat Adat Sawang. Mengenai tujuan dari program ini dapat dilihat dari rilis media yang disampaikan Amair pada, Rabu 19 Mei 2016.

”Kegiatan ini diharapkan menjadi salah satu upaya dan cara untuk bisa meningkatkan motivasi dan kapasitas Masyarakat Adat Sawang Gantong. Dengan meningkatnya motivasi dan kapasitas Masyarakat Adat Sawang Gantong maka secara perlahan stigma negatif terkait  ’Urang Sekak atau Urang Laut’ akan berangsur hilang dan terjadi proses inklusi sosial di Masyarakat Adat Sawang Gantong dan masyarakat non-Suku Sawang di sekitarnya mengalami pembauran yang setara, positif, dan produktif,”
Amair, 2016

Sebanyak 13 warga Suku Sawang yang belum tamat sekolah dasar berhasil diikutkan dalam program penyetaraan pendidikan formal tersebut. Mereka mengikuti kegiatan belajar setiap minggu pada Senin malam selama lima bulan terhitung dari tanggal 7 Desember 2015 sampai 2 Mei 2016. Selanjutnya mereka mengikuti Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) Sekolah Dasar (SD) Paket A di bawah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kecamatan Gantung. Ujian tersebut berlangsung di SD Negeri 09 Gantung Dusun Seberang Desa Selising Kecamatan Gantung Senin (16/05/2016) sampai dengan Rabu (18/05/2016) mulai pukul 13.30 - 18.00 WIB.
LPMP Amair sempat memotret antusiasme warga Suku Sawang mengikuti ujian Paket A tersebut. Mereka tampil rapi mengenakan kemeja dan celana panjang. Walau sebagian hanya mengenakan sandal jepit, mereka tetap bersemangat berjalan kaki menuju tempat ujian yang berjarak sekitar 1 kilometer dari komplek perumahan Kampong Laut.
Dua bulan kemudian hasil Ujian Paket A diumumkan. Hasilnya 13 warga Suku Sawang Gantong tersebut dinyatakan lulus! Kelulusan itu akhirnya membuat mereka berhak memperoleh ijazah setara SD.
Salah satu warga Suku Sawang Gantong yang mengikuti ujian tersebut adalah Ronny Zukriyan (17). Remaja yang juga terdaftar sebagai Kader Peduli ini mengatakan, kelulusan tersebut membuktikan bahwa mereka mampu mengenyam pendidikan dan memiliki ijazah. Hal itu juga membuka peluang bagi mereka untuk mengubah stigma negatif masyarakat terhadap tingkat pendidikan warga Suku Sawang.
"Usia bukan halangan untuk meraih gelar pendidikan pada lembar ijazah, yang penting kemauan dan tekad," ujar Ronny
Ketua Pelaksana USBN SD Paket A PKBM Taruna Maju Yusman menyampaikan pesan kepada Pendamping Lapangan LPMP Amair Edo Yulanda. Ia berpesan agar Amair terus memberikan motivasi, fasilitasi serta dukungan untuk warga Suku Sawang Gantong. Sebab, setelah lulus Ujian Paket A, mereka bisa melanjutkan ke jenjang Paket B dan Paket C. Hal ini berarti membuka peluang bagi Suku Sawang Gantong untuk memperoleh ijazah setara SMP dan SLTA.

Gambar 4.6. Warga Suku Sawang Gantong berjalan kaki menuju lokasi ujian Paket A. Sumber: Dokumentasi LPMP Air Mata Air, 2016.


Gambar 4.7. Warga Suku Sawang sedang mengikuti Ujian Paket A mata pelajaran IPA di hari ke-3, Rabu, 18 Mei 2016. Sumber: Dokumentasi LPMP Air Mata Air, 2016.

Pendampingan yang dilakukan oleh LPMP Amair pada Suku Sawang Gantong tak sebatas hanya untuk penyetaraan pendidikan formal saja. Berbagai kegiatan lain juga telah dilaksanakan sepanjang kurun 2015-2016. Kegiataan itu tergambar dari pelaksanaan program kerja fase 1 dan 2 pada rentang dua tahun terakhir.
Sebagai contoh di bidang kebudayaan terdapat kegiatan untuk menghidupkan kembali sanggar seni Ketimang Burong dalam komunitas Suku Sawang Gantong. Mereka kemudian difasilitasi untuk membentuk Lembaga Adat Suku Sawang Gantong secara formal. Pendampingan juga mereka peroleh dalam pelaksaan upacara adat Buang Jong.
Di bidang olahraga, Suku Sawang Gantong merevitalisasi klub sepakbola legendaris Persatuan Sepakbola SSG. Hal serupa juga dilakukan pada klub bola voli yang mereka miliki.
Suku Sawang Gantong pun tampak antusias mengikuti berbagai pelatihan yang berguna untuk meningkatkan kapasitas mereka. Contohnya, pelatihan peningkatan pola hidup sehat, pelatihan kader, pelatihan pengorganisasian, pelatihan keahlian membuat replika perahu untuk cinderamata, pelatihan parenting skill, dan pelatihan urban farming dalam bentuk hidroponik dan aquaponik.
Pendekatan pada mekanisme birokrasi juga dilakukan lewat kegiatan audiensi, lobi, maupun sosialisasi. Aplikasi dari kegiatan tersebut yakni dengan melaksanakan audiensi dan lobi bersama Bupati dan Ketua DPRD Belitung Timur di kantornya masing-masing. Mereka juga mengikuti musyawarah rencana pembangunan  di tingkat Desa Selinsing dan menyuarakan aspirasi lewat focus group discussion (FGD) multipihak untuk mendapatkan dukungan  program terhadap Suku Sawang. Kegiatan ini pada akhirnya telah membawa Suku Sawang Gantong menjadi bagian penting dalam pembentukan Kelompok Kerja Forum Peduli Belitung Timur. Kelompok kerja ini nantinya dicita-citakan sebagai wadah yang menghasilkan solusi produktif dan konstruksi terhadap persoalan sosial kemasyarakatan yang ada di Kabupaten Belitung Timur.
Selama berada dalam pendampingan LPMP Amair, Suku Sawang Gantong juga mendapat layanan dan fasilitasi yang berkaitan dengan program layanan dari Pemerintah. Contohnya, Layanan Keluarga Berencana (KB) Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), sosialisasi dan fasilitasi kartu BPJS Kesehatan, serta sosialisasi dan fasilitasi dokumen administrasi kependudukan berupa akta kelahiran (AK), kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP).
Suku Sawang Gantong tampak telah menyadari bahwa penguatan generasi muda adalah modal penting untuk menjaga eksistensi mereka dalam menghadapi perubahan zaman. Kesadaran itu tergambar lewat kehadiran para generasi muda Suku Sawang Gantong dalam kegiatan pelatihan komputer praktis dan pengembangan media komunitas melalui media sosial (medsos) Kulek Terakhir. Pendekatan Suku Sawang Gantong pada komputer dan media sosial adalah salah satu komponen penting yang akan membawa mereka kembali ke pusaran zaman, terlepas dari eksklusi sosial, dan menyetarakan diri dalam pembangunan.
Terlepas dari semua asa yang ada, sejarah Suku Sawang Gantong tampaknya kembali terulang. Kata kuncinya terletak pada ’pendampingan’. Ingat 165 tahun lalu, ketika Suku Sawang mampu melepaskan stigma negatifnya sebagai bajak laut lewat pendampingan J.F Loudon. Kemudian pada masa kini mereka kembali berangsur meninggalkan keterbelakangan dalam hal wawasan dan pendidikan lewat pendampingan intensif oleh LPMP Amair. Karena itu penting menjaga kualitas pendampingan yang baik sebagai sebuah nilai dalam membawa Suku Sawang ke dalam pusaran zaman sekarang.
Satu langkah strategis yang diambil oleh LPMP Amair dalam proses pendampingan adalah penyusunan dan penerbitan buku sejarah Suku Sawang Gantong. Buku ini akan membuat Program Peduli tampak semakin bermakna dan berpeluang menimbulkan dampak berkelanjutan. Sebab, rasanya begitu banyak sisi lain dari kehidupan Suku Sawang Gantong yang menarik untuk dieksplorasi berdasarkan sejarah dan budayanya. Bukan tidak mungkin buku ini juga akan menginspirasi banyak institusi atau orang per orang untuk menghasilkan karya yang lebih brilian. Karya itu bisa terkait langsung dengan komunitas Suku Sawang Gantong atau pada aspek lain dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegera di Pulau Belitung.

*** Selesai ***





Refrensi

Adiguna. ”Buang Jong Tradisi Unik Nan Magis,” Visit Beltim, II (2013), hlm 41-43.

Aidit, Sobron.”Suku-laut = Sekak”. Kisah Serba Serbi edisi 281, 24 Mei 2001.

Bahari, Asin. Mengenal Kehidupan Adat Istiadat Suku Laut (Sawang) di Pulau Belitung.Tanjungpandan: Dinas Pariwisata Kabupaten Dati II Belitung, Agustus 1987.

Buku Kenangan Billiton 1852-1927. Jld 1, terj. Yayasan Budaya Mukti Bandung, Tanjungpandan: Kantor Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Belitung, 2015.

______________________________. Jld 2, terj. Yayasan Budaya Mukti Bandung, Tanjungpandan: Kantor Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Belitung, 2014.

Carnbe´e, Pieter Baron Melvill van. "Kaart van de afdeeling Billiton (of  Blitong) 1856". Algemeene atlas van Nederlandsch Indie. Batavia: Van Haren Noman & Kolff, 1862.

Croockewit, Johan Hendrik. Banka, Malakka En Billiton: Verslagen Aan Het Bestuur Van Neêr Landsch Indië In Den Jaren 1849 En 1850. Den Haag:  K. Fuhri, 1852.

Gedenkboek Billiton 1852-1927. 1 vols. Den Haag: Martinus Nijhoff, 1927.

_______________. 2 vols. Den Haag: Martinus Nijhoff, 1927.

Groot, Cornelis de. Herinneringen aan Blitong: historisch, lithologisch, mineralogisch, geographisch, geologisch en mijnbouwkundig. Den Haag: H. L. Smits, 1887.

Hedemaan, F.W.H. Von. Schets van de Bewerking ed de Huishoudelijke Inrichting der Tinmijnen op Billiton. Joh Noman En Zoon, 1868.

Heidhues, Mary F.Somers. Company Island: A Note on The History of Belitung. Indonesia 51, April 1991.

Hirata, Andrea. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang, 2005.
____________. Sang Pemimpi. Yogyakarta: Bentang, 2006.

Kemp, Pieter Hendrik. Billiton-opstellen. Batavia: Ogilvie, 1886.

Ken, ”Panggil Saja Kami Orang Sawang”. Kompas, Jumat, 22 Januari 2010.

KK1,Aku Cakap Laut Dia Cakap Melayu,” Pos Belitung, 12 Januari, 2014, hlm. 1.

Laguindab, Ali P. The Iranuns in Philippines: A Profile, The Land and the People Iranun Madrasa-Centered Education Proposed simplified curriculum for special purposes Glimpses of the Past in Pictures. Tanjungpandan: 24 April, 2016.

Lith, P. A. van der., A. J. Spaan., and F. Fokknes. Encyclopedie van Nederlandsch-Indie Met Medewerking van Verschillende Ambtenaren, Geleerden en Officieren. Den Haag: M Nijhoff-E.J. Brill, 1896.

Loudon, John Francis. De Eerste Jaren Der Billiton-Onderneming. Amsterdam: J.H.de Bussy, 1883.

Loudon, John Francis. Tahun-Tahun Pertama dari Perusahaan Belitung, terj. Yayasan Budaya Mukti Bandung, Tanjungpandan: Kantor Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Belitung, 2015.

Melalatoa, M Junus. Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1995.

Moksan, Datu Jamaluddin Datu. Apa itu Iranun? Sabah: 2016.

Mollema, Jarig Cornelis. De ontwikkeling van het eiland Billiton en van de Billiton-maatschappij. Den Haag: M Nijhoff, 1918.

Mollema, Jarig Cornelis. Pertumbuhan Pulau Belitung dan Billiton-Maatschappy 1851-1958, terj. H Abu Hassan, Manggar: April 1995.

Schepern, L. ”Aanteekeningen omtrent de bevolking van Billiton (1860)”. Tijdschrift voor Indische Taal  Land  en Volkenkunde, hlm 56-66. 3 vols. Batavia: 1860.

Sevenhoven , J.I. ”Rapport Over Het Eiland Billiton”. Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie. 14 vols. Leiden: Brill, 1 Januari 1867.

Stapel, Frederik Willem. Aanvullende gegevens omtrent de geschiedenis van het eiland Billiton en het voorkomen van tin aldaar. Den Haag: NV Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Billiton, 1938.

Stapel, Frederik Willem. Tambahan Keterangan-Keterangan Mengenai Sejarah Pulau Belitung dari Tahun 1746-1823, terj. H.Abu Hassan, Manggar: 14 April 1983.

Sudjitno, Sutedjo. Sejarah Timah Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Suhendar, Dede.”Mengejutkan!Bupati Belitung Mengaku Keturunan Perompak,” belitung.tribunnews.com, 25 April 2016.

_____________.”Keturunan Lanun Beramai-ramai Sambangi Rumah Dinas Wabup Belitung Erwandi,” belitung.tribunnews.com, 13 Juli 2016.

Term of Reference (ToR) Fasilitasi Pembentukan Working Group Peduli Belitung Timur “Forum Multipihak Peduli Belitung Timur”. Manggar: LPMP Amair, 2016.

Tinmijnbouw-Onderneming op Billiton in algemeene trekken geschetst, Buitenzorg: Universiteit Leiden, Juli 1900.

Yulanda, Edo. Press Release Program Penyetaraan Pendidikan Paket A Bagi Masyarakat Adat Sawang Gantong (Kegiatan Ujian Kelompok Belajar Paket A),  Program Peduli LPMP Air Mata Air  2016. Manggar: Rabu 19 Mei 2016.





Tentang Penulis


Wahyu Kurniawan dilahirkan 16 Maret 1986 di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung. Putra pertama pasangan Ardi Kusuma dan Wisusiyarsih ini menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Oktober 2009.
Januari 2010 ia bergabung di media massa Bangka Pos Grup, Tribun. Setelah enam tahun menjadi wartawan lapangan, Wahyu kini menduduki posisi sebagai Penanggungjawab Online Harian Pagi Pos Belitung. Sepanjang karirnya, suami dari Firtasari Haliza ini bergelut pada bidang sejarah, budaya, pendidikan, olahraga, dan pariwisata.
Ayah dari Kalisya Fadhila Kurniawan ini secara rutin menjadi narasumber dalam kegiatan pemustaka di Perpustakaan Daerah Kabupaten Belitung. Pada tahun 2016, ia masuk dalam daftar anggota Tim Perumus Hari Jadi Kota Manggar di Kabupaten Belitung Timur.
Buku berjudul Kulek Terakhir Sebuah Pengantar Sejarah Suku Sawang Gantong adalah buku pertama yang ditulis Wahyu berkat kerjasama dengan LPMP Air Mata Air di Belitung Timur. Bagi Wahyu, buku ini sangat penting karena akan menjadi pembuka jalan bagi buku-buku selanjutnya.(*)