Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Kulek Terakhir, Sebuah Pengantar Sejarah Suku Sawang Gantong - Part 3


Bab II
Komplemen Kejayaan Timah

Pada tahun 1853, John F. Loudon membuat tulisan tentang Orang Laut Belitung. Tulisan tersebut dibuat sebagai bagian dari laporan untuk menyambut kedatangan para komisaris. Menurut Loudon, Orang Laut atau Orang Sekah dibagi menjadi lima kelompok utama yang disebut ;

  1. Orang Ketappang
  2. Orang Parrak
  3. Orang Belantoe (baca: Belantu)
  4. Orang Olim
  5. Orang Djoeroe (baca: Juru)

Kelima kelompok utama ini dibagi lagi menjadi suku besar dan suku kecil yang mempunyai kepala atau ketuanya sendiri. Contohnya Orang Ketapang yang terbagi menjadi 6 suku besar dan 4 suku kecil. Nama suku mereka disesuaikan dengan nama para pemimpinnya. Loudon kemudian merinci nama-nama suku besar dan suku kecil dari setiap kelompok Orang Laut tersebut. Enam suku besar Orang Ketappang yakni:

1.    Lantan
2.    Ma Lis
3.    Ma Riegnoe
  1. Ma Lada
  2. Ma Rentjeh
  3. Batin Anim

Setiap suku ini memiliki kekuatan 20 sampai 30 aloean. Kata aloean yang dimaksud memiliki arti perahu. Jadi singkat kata, 20 aloean berarti 20 perahu.
Empat suku kecil Orang Ketappang masing-masing memiliki kekuatan 4-5 aloen. Nama-nama suku mereka itu yakni ;
1.    Oenas
2.    Djawa
3.    Ma Tjentoe
4.    Ma Medar
Orang Parrak terbagi menjadi 4 suku besar dan 2 suku kecil, yang nama sukunya juga diambil dari nama pemimpin mereka masin-masing. Kekuataan mereka berkisar 12-20 aloen. Empat suku besar Orang Parrak itu yakni ;

1.    Ma Deman
2.    Ma Minga
3.    Awal
4.    Entas

Dua suku kecil Orang Parrak yakni Lotang dan Ma Sagie. Kekuatannya masing-masing berkisar 4-5 aloen. Orang Belantoe terbagi menjadi 7 suku besar dan 1 suku kecil yang nama sukunya juga sama seperti nama pemimpin mereka. Tujuh suku besar Orang Belantoe yakni ;

  1. Ma Minah
  2. Ma Rantjang
  3. Ma Selat
  4. Ma Bali
  1. Ma Lanang
  2. Ma Intan
  3. Ma Kotjeh

Kekuatan mereka terdiri dari 14-30 aloean. Sedangkan satu suku kecil Orang Belantoe yakni Ma Petak, yang memiliki kekuaran 7 aloean.
Orang Olim total keseluruhnya memiliki kekuatan 47 aloean. Mereka terbagi menjadi empat suku yakni ;

1.    Batin Adjar
2.    Ma Sarina
3.    Ma Cherbon
4.    Ma Latjoet

Terakhir adalah Orang Djoeroe yang terbagi menjadi dua suku yakni ;

1.    Djoeroe Krah
2.    Pa Sariena

Total seluruh kekuatan suku Orang Djoeroe ini sebanyak 30 aloean. Loudon juga mencantumkan daftar jumlah penduduk Belitung tahun 1851 berdasarkan pemberitahuan resmi Depati. Data tersebut dimuat dalam bukunya De Eerste Jaren Der Billiton-Onderneming terbitan tahun 1883. Rinciannya mencakup jumlah penduduk di lima ditrik yakni Tanjungpandan dan Lenggang, Sijuk, Buding, Badau, dan Belantu.

Tabel 2.1
Data Penduduk Belitung Berdasarkan Laporan Resmi Depati tahun 1851

Nama Distrik
Orang Darat atau
Orang Beltung
Orang Asing Timur dan Melayu
Orang Cina
Orang Laut atau
Sekah
Jmlh
Tanjung
pandan dan Lenggang
2.022
218
28
1.067
3.335 jiwa
Sijuk
770
72
-
123
965
Buding
246
34
-
-
280
Badau
43
-
-
-
43
Belantu
450
27
-
464
941

3.531
351
28
1.654
5.564
Sumber : J. F Loudon.


Pada kemudian hari Loudon menilai laporan Depati soal jumlah penduduk Belitung seperti kurang sempurna. Sebab menurutnya jumlah Orang Belitung dan Orang Laut seharusnya lebih banyak dibandingkan jumlah yang dicantumkan dalam laporan tersebut. Berdasarkan pengamatan Loudon, jumlah Orang Laut saat itu berkisar 2.000 jiwa.
Loudon mengaku mendapat penjelasan langsung dari Depati prihal laporan jumlah penduduk yang kurang sempurna tersebut. Menurut Depati, hal itu dilakukan Depati untuk menghindarkan masyarakatnya dari kerja paksa.
Kehidupan sosial Orang Laut di Belitung pada umumnya berlangsung rukun dan tenang. Menurut Loudon, Orang Laut belum mengenal ketuhanan secara khusus baik lahir maupun batin.
Namun, Orang Laut memiliki kebiasaan dan prasangka yang membuat mereka menjadi sosok yang perasa untuk berhubungan dengan agama. Hal ini terlihat dari pandangan mereka terhadap sesuatu seperti penyebab musibah. Mereka tidak berani mengusir burung-burung di beberapa tempat tertentu yang terdapat batu-batuan atau gumpalan-gumpalan karang. Mereka juga punya prosesi penguburan yang hampir serupa seperti agama Islam, tapi agak berlainan. Orang yang meninggal dikubur menggunakan kain putih beserta segala yang dia miliki seperti priuk, serampang, dan lain-lain. Anggota keluarga kemudian mengelilingi kuburan sambil memanggil roh-roh dan berkata:

”Di sini berbaring bapak/ibu/anak/suami (kami), jangan mengganggu dia, atau saya akan menusuk mu dengan serampang,”
Gedenkboek Billiton, 1927.

Pada saat yang sama, seorang anggota keluarga berbaring di batang pohon yang mati sambil menjawab ; poeik, poeik (tidak-tidak). Loudon memprediksi, roh-roh yang dipanggil mungkin malaikat-malaikat Tuhan yang menurut ajaran Muhammad (Islam) sedang mengunjungi yang meninggal.
Sedangkan upacara pernikahan disebutkan hanya terdiri dari prosesi memukul gendang. Setelah itu kedua mempelai pergi berdua naik perahu ke laut dan beberapa waktu kemudian kembali lagi. Pernikahan antar anggota suku tidak diperbolehkan. Sedangkan dalam perceraian dilakukan dengan membayar 60 real kepada pihak yang menginginkan.
Sewaktu tahun 1823, komunitas Orang Laut tersebar di lima distrik di Pulau Belitung. Kelima distrik tersebut yakni Cerucuk, Blantu, Buding, Sijuk, dan Badau. Hal ini diungkapkan dalam laporan Komisaris Hindia Belanda untuk Palembang J.I. Van Sevenhoven ketika berkunjung ke Belitung pada tahun 1823. Orang Laut di Belitung tinggal di perahu dan bermukim di wilayah perairan dan di sepanjang tepian sungai.
Sevenhoven juga memastikan bahwa Orang Laut adalah bagian dari kawanan Bajak Laut. Menurutnya, Orang Laut kala itu tidak mengenal agama, memperbolehkan laki-laki tidak disunat dan bebas memakan babi.
Namun pada sisi lain, Orang Laut juga memiliki peran penting dalam sejarah awal pendirian perusahaan timah Belitung yang dirintis oleh Loudon pada pertengahan tahun 1851. Orang Laut membantu Loudon untuk berbagai keperluan seperti menyediakan kayu untuk membuat gudang dan rumah, membongkar muatan beras di pelabuhan, dan menjadi seoarang pengawal dalam perjalanan di darat maupun di laut. Orang Laut juga menjadi navigator Loudon ketika melakukan perjalanan keliling Pulau Belitung.
Kisah perjalanan ini dicatat cukup rinci oleh Loudon dalam buku hariannya. Peristiwa tersebut terjadi pada 4 Oktober 1851. Rombongan ekspedisi berangkat dari Tanjungpandan ke sisi utara Pulau Belitung menggunakan dua perahu Orang Laut Belantu.
Tiap perahu terdiri dari 14 pendayung, seorang juru mudi, dan seorang yang bertugas mengamati karang. Di antara para awak tersebut sebagian adalah Orang Laut Tanjungpandan yang sama sekali tidak berbaur dengan Orang Laut Belantu.
Satu perahu lainnya khusus digunakan untuk mengurus makanan, koki, dan dapur. Selama perjalanan, mereka menyinggahi sejumlah tempat yakni Tanjung Binga, Sijuk, Kampong Bayan, Sungai Padang, Kampong Buding, Sungai Pring, Telok Oentoong, Sungai Air Mas, Burong Mandi, Sungai Lolo, dan kembali lagi ke Tanjungpandan.
”Perjalanan pendek selama kira-kira 14 hari bagi kami sangat penting karena tanah yang kami teliti, dan meskipun penelitian ini dangkal ditemukan biji timah di lapisan atas sehingga dapat simpulkan bahwa bagian pulau ini sama kayanya mengandung biji timah seperti saat penggarapan pertama meskipun dilakukan sebagai percobaan,” kata Loudon.
Tak hanya ikut membantu menyukseskan penelitian timah pertama Loudon, Orang Laut juga telah menyelamatkan nyawa Van Tuyll, keluarga Pengeran Hendrik dari Belanda yang juga sekaligus pemegang konsesi penambangan timah Belitung.
Peritiwa itu terjadi pada 15 Oktober 1851 di Telok Oentoong pada penghujung perjalanan eksplorasi sisi utara Pulau Belitung. Van Tuyll yang sedang asyik berenang di laut tak sadar berada tidak jauh dari kawanan ikan hiu. Beruntung sejumlah Orang Laut segera berteriak untuk memperingatinya. Van Tuyll akhirnya tak sampai diserang oleh kawanan hiu tersebut.
Kegiatan eksplorasi Loudon di Pulau Belitung berlanjut ke sisi bagian selatan pada tanggal 21 Oktober 1851. Kali ini Loudon menggunakan tiga perahu Orang Laut, satu perahu di antaranya digunakan oleh Van Tuyll untuk berangkat ke Bangka dari Pulau Seliu.
Rute perjalanan di sisi selatan menyinggahi sejumlah tempat. Dimulai dari Tanjungpandan hingga ke Pulau Seliu, dan berlanjut ke Sungai Lenggang sampai Pangkalan Kedang, dan kembali ke Tanjungpandan.
Perjalanan itu menghasilkan kesimpulan bahwa di sisi bagian selatan pulau Belitung juga menyimpan kadungan timah yang cukup kaya. Kesimpulan ini khususnya setelah ditemukan kandungan timah di Pangkalan Kedang.
Kepastian soal kandungan timah dinilai sangat penting bagi masa depan perusahaan dan sejak itu pula Orang Laut menjadi bagian dari perjalanan sejarah perusahaan. Sewaktu penambangan timah Belitung berada dalam naungan NV Billiton Maatschappij tahun 1860, Orang Laut berperan sebagai pelaut di kapal pengakut, dan sebagai kuli bongkar muat beras maupun timah.
Hal ini diungkapkan Kepala Administrasi NV Billiton Maatschappij F.W.H. Von Hedemann dalam catatannya yang diterbitkan pada tahun 1868. Di samping bekerja di perusahaan, Orang Laut juga disebutkan masih hidup dari hasil sebagai penyelam tripang dan nelayan pencari ikan.
Salah satu pionir NV Billiton Maatschappij De Groot dalam bukunya tahun 1887 mengatakan, Orang Laut adalah bagian dari populasi Pulau Belitung yang sangat berguna, khususnya untuk perusahaan.  Sebab, Orang Laut dianggap mampu membuat pekerjaan pengakutan yang berat jadi teratasi. Karena itu kata De Groot, Orang Laut begitu melekat pada Billiton Maatschappij.

”Pada penampilannya, Orang-orang Sekah itu hampir tidak serupa dengan pribumi, mereka itu perawakannya besar dan kekar, dan sangat berotot, kesehariannya mereka mengangkat beras dua karung sekaligus berbobot 125 kilogram,”
Gedenkboek Billiton, 1927.

Sayang, sekalipun berada dalam lingkungan perusahaan, Orang Laut disebut hanya memiliki sedikit pemahaman tentang pertambangan timah. Mereka lebih tertarik pada pekerjaan bebas dengan upah tetap yang dibayar per hari. Mungkin saja keputusan ini diambil agar Orang Laut tetap bisa menjalani aktivitasnya di laut.

Gambar 2.2. Pekerja bongkar muat  perusahaan timah Belanda di Tanjungpandan. Sumber: Collectie Tropenmuseum.
Para pegawai perusahaan merasa senang ketika melaksanakan perjalanan dinas menggunakan perahu-perahu Orang Laut. Pasalnya Orang Laut suka mengobrol secara bebas sehingga para pegawai sangat menikmati perjalanan tugasnya.
Tak hanya kaum pria, ternyata para perempuan Orang Laut juga terlibat dalam rantai usaha tambang timah. Banyak kaum perempuan Orang Laut yang bekerja sebagai penjahit karung timah sebelum diekspor ke Singapura. Partisipasi kaum perempuan Orang Laut sebagai penjahit karung timah setidaknya sudah berlangsung sejak tahun 1927. Hasil pekerjaan mereka bisa diandalkan. Karena itu pihak perusahaan memastikan pekerjaan bongkar muat dan menjahit karung timah sudah menjadi hak prerogatif Orang Laut.

Gambar 2.3. Para pekerja perusahaan timah yang diduga sebagiannya adalah Suku Sawang tahun 1936. Mereka sedang membawa kabel di daerah antara Manggar-Kampit. Sumber: Collectie Tropenmuseum.
Eksistensi Orang Laut terus berlanjut ketika penambangan timah Belanda di Belitung diambil alih oleh Indonesia pada tahun 1958. Bahkan peran mereka bertambah luas, tidak hanya menjadi kuli bongkar muat, tapi juga dipercaya menjadi sopir dan penimbang timah di gudang-gudang penampungan.
Hal ini diungkap oleh tokoh paling tua Orang Laut Gantong yang bernama Daud. Pada tahun 2016 usia Daud sudah menginjak 90 tahun dan masih ingat beragam pekerjaan yang pernah diembannya di perusahaan timah.
Daud menjadi generasi Orang Laut yang sempat merasakan zaman peralihan antara tambang timah Belanda dan Indonesia. Ia sudah bertugas sejak zaman NV. Gemeenschappelijke Maatschappij Billiton (GMB) dan sekarang berstatus sebagai pensiunan PT Timah. Bahkan orang tuanya dulu juga sudah bekerja pada perusahaan timah Belanda.
Lingkungan kerja Orang Laut di perusahaan timah juga mengalami perluasan dari generasi ke generasi. Mereka yang pada awalnya lebih banyak bekerja pada sektor pelabuhan dan gudang, kemudian meluas hingga ke unit kapal keruk, kolong-kolong tambang timah, dan proyek bangunan gedung. Anugrah kekuatan fisik adalah faktor utama yang telah mengantarkan Orang Laut dalam menjalankan semua peran tersebut.

”Orang Sekka berani, kuat, berotot, dan tidak mengenal lelah dalam melaksanakan pekerjaannya,”
Pieter Hendrik Kemp, 1886, hlm.3

Gambar 2.4. Potongan peta dari Peta Pulau Belitung karya De Groot terbitan tahun 1887. Potongan ini menunjukkan Dendang sebagai pusat dari Distrik tambang timah  Dendang dan sekaligus sebagai daerah pelabuhan di kawasan teluk Balok. Sebagian besar generasi tua Suku Sawang Gantong saat ini merupakan keturunan dari Suku Sawang yang menempati perairan Dendang. Sumber: website perpustakaan Universitas Leiden/Repro.
Jadi tak bisa disanksikan lagi bahwa Orang Laut menjadi salah satu bagian penting dalam rantai pengelolaan tambang timah di Pulau Belitung, baik pada masa kolonial Belanda maupun era kemerdekaan Indonesia. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa Orang Laut juga telah ikut memberikan kontribusi pada negara.
Perlu diketahui, timah pada awal orde baru adalah salah satu penghasil utama devisa Indonesia di samping ekspor minyak bumi, karet, dan kopi. Sekalipun berada pada level yang paling bawah, peran Orang Laut tetap patut diapresiasi. Karena itu pula hampir semua buku yang menceritakan sejarah perjalanan tambang timah selalu mencantumkan nama Orang Laut di dalamnya.
   Tanpa adanya Orang Laut, mungkin saja dulu Loudon butuh waktu lebih lama untuk menjelajahi Pulau Belitung. Atau, mungkin pihak perusahaan harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk mendatangkan pekerja bongkar muat dari luar daerah, karena penduduk Melayu di Belitung tak bisa diandalkan untuk pekerjaan berat seperti itu.
Seperti kata bijak yang menyebutkan bahwa kesuksesan besar selalu diawali dari pekerjaan paling kecil. Karena itu Orang Laut layak disebut sebagai penyempurna dalam kesuksesan pengelolaan tambang timah di Pulau Belitung.

Gambar 2.5. Orang Laut di Pulau Belitung. Tidak disebutkan di mana lokasi detil dari foto ini.  Sumber: Gedenkboek Billiton 1852-1927/Repro.