Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Telusuri Kisah Raja Berekor dan Burung Maka, Bertemu Karya Ilmuan dari Persia Abad ke 13

PETABELITUNG.COM - Berikut ini adalah ringkasan kisah Raja Berekor yang ditulis pada tahun 1875. Kisah ini ditulis menggunakan huruf Arab-Melayu dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda secara ringkas. Simak kisahnya berikut ini :

"Di Mataram ada pangeran Seri Rama dengan tujuh orang putra, dua diantaranya (kembar) memiliki ekor dengan panjang +- 1 hasta, dan karena itu disebut Raja Berekor. Mereka malu dengan ekor mereka, dan mengingat Belitung belum ada pangeran, mereka pun pergi ke sana. Saat mereka mengarungi Sungai Buding, burung Maka mencoba mengikuti kapal mereka atas tantangan kakak laki-lakinya. Burung itu memulai lebih dulu, lalu Radja Berekor memerintahkan untuk melemparkan anglo (keran) ke laut; anglo ini kemudian menjadi pulau Keran. Kemudian perapian (dapur) juga dibuang ke laut untuk meringankan kapal; dari sinilah muncul pulau Sembuang Dapur. Namun, burung itu tiba lebih awal di Pangkalan Buding, empat jam dari muara sungai, tetapi burung itu mati di sana karena kelelahan. Kedua pangeran pergi ke darat; yang bungsu pergi ke dataran tinggi dan menetap di Kampung Perawas di Kecamatan Tanjung Pandan.Yang sulung tinggal di Pangkalan Buding dan menanam pohon buah-buahan di sana, yang masih ada sampai sekarang (1875).

Kemudian dia mendirikan desa kedua, bernama Aik Bakai; jejak tanaman yang ditanam di sana masih tersisa. Juru masak Raja Berekor yang lebih tua secara tidak sengaja memotong jarinya saat menyiapkan keladi, sehingga sebagian darah masuk ke piring. Pangeran sangat menyukainya sehingga dia memerintahkan salah satu budaknya untuk disembelih setiap hari dan disajikan untuknya.

Ketika hanya tinggal tersisa enam orang, mereka memutuskan untuk meminta bantuan warga kampung. Mereka menangkap dan menyiapkan rusa, dan kemudian mengundang pangeran untuk datang dan makan "daging manusia" bersama mereka.

Atas isyarat yang telah diatur (dengan sebuah pantun) dari salah satu budak, para lelaki kampung yang berdiri di bawah rumah itu meraih ekor raja dan para budak yang melayaninya menikamnya sampai mati. Jenazahnya disemayamkan di Gunong Bangsi di distrik Buding, di mana makamnya masih bisa dilihat sampai sekarang. Keenam budak tersebut kemudian menikahi gadis dari Pangkalan Buding."

Ringkasan dimuat dalam buku Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en Volkenkunde terbitan Bataviaasch Genootschap (1933). Khususnya dalam tulisan yang berjudul Opstellen in het Maleisch van Belitong karya Achmad Soeriapoetra. Ringkasan ini adalah pendalaman dari ulasan singkat yang ditulis oleh Dr. Ph. S. Van Ronkel dalam Catalogus deer Maleische Handschriften in het Museum van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1909).

Ringkasan Cerita Raja Berekor dalam tulisan Achmad Soeriapoetra 1933. 

Catatan Van Ronkel tentang Cerita Raja Berekor 1909.

Dalam catatan katalog Van Ronkel, kisah ini ditulis Hikajat Radja Berekoer (Hikayat Raja Berekur). Simak ulasan singkat Van Ronkel mengenai hikayat tersebut berikut ini :

"Sebuah cerita yang ditulis dengan buruk dari konten ini; Di Mataram adalah Pangeran Seri Rama dengan banyak putra, dua di antaranya memiliki ekor, dan karena itu disebut Raja Berekoer. Mereka mengetahui bahwa Belitung tidak memiliki pangeran, dan pergi ke sana; burung Maka mencoba untuk mengikuti kapal mereka dalam penerbangan, sepotong dilemparkan ke laut menjadi pulau Kerdat. Sesampainya di pulau, burung itu mati; mereka menetap di sana, dan melahap orang-orang, sampai (orang yang) tersisa bersekongkol dan membunuh (raja berekor). Kisah ini mengingatkan pada Tjarita Bangka, tetapi hampir tidak dapat diperlakukan di bawah judul 'Sejarah'."

Kemudian ada keterangan tambahan dari Ronkel yakni Notulen 1 Juni 1875. bl. XIV. Keterangan tambahan ini menunjukkan asal sumber naskah yang diulasanya tersebut. Kami kemudian melakukan penelusuran dan berhasil menemukannya dalam buku Notulen van de algemeene en bestuurs-vergaderingen. Bataviaasch genootschap van kunsten en wetenschappen (Risalah rapat umum dan dewan. Masyarakat Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia) tahun 1875. Berdasarkan buku risalah rapat tersebut diketahui ternyata judul asli naskahnya adalah Tjerita Radja Berikor. Menuskrip ini ditulis dalam Bahasa Melayu menggunakan abjad Jawi atau Arab-Melayu. Sumbernya diperoleh dari koleksi Ch. M. G. A. M. Ecoma Verstege. Seperti yang diketahui, Ecoma adalah Asisten-Residen Belitung periode 1868-1875. Mungkin ia menghibahkan koleksinya kepada  Bataviaasch genootschap van kunsten en wetenschappen pasca purna tugas dari Belitung.

Naskah asli Tjerita Radja Berikor sekarang tersimpan di Perpustakaan Nasional. Dalam website Perpusnas terdapat gambaran sepintas mengenai manuskrip tersebut :

"Naskah dalam kondisi kurang baik. Kertas naskah berwarna kecoklatan dan lapuk dan getas akibat keasaman. Lembaran naskah terlepas dari korasnya atau koyak pada sisi koras mau pun sisi lainnya. Naskah ditulis dengan menggunakan tinta hitam yang kini warnanya pudar menjadi coklat tua, di atas kertas polos yang diberi garis dan pias kanan kiri dengan pensil. Tulisan naskah masih jelas terbaca. Dijilid dengan karton bersampul kertas marmer coklat."

"AWAL TEKS: Alkisah pada masa dahulu kala ada satu negeri yang bernama negeri Mataram sekarang di dalam ..... pulau Jawa. Adapun negeri itu ada satu rajanya yang bernama raja Rama. AKHIR TEKS: Tertulis pada Kamis waktu jam pukul tiga sore pada hari bulan maret tanggal tujuh hari pada tahun 1875 terkarang dalam negeri Bilitung, tamat."

Naskah Cerita Raja Berikor kemudian diterjemahkan lagi oleh Toeti Moenawar pada tahun 1979. Terjemahan lengkap cerita ini dimuat pula dalam buku Sejarah Bangka Belitung Dari Masa Ke Masa Jilid 1 terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2019. Jalan kisahnya hampir sama dengan versi Achmad Soeriapoetra (1933). Perbedaan tampak dalam penyebutan nama tempat. Contohnya dalam versi Achmad Soeriapoetra disebut Pulau Keran, sedangkan versi Toeti Moenawar ditulis Pulau Kera. Kemudian Pulau Sembuang Dapur dalam versi Toeti Moenawar ditulis Pulau Syambung.

Kesamaan antara versi Toeti Moenawar dan Achmad Soeriapoetra adalah penyebutan nama burung Maka. Dalam terjemahan Toeti burung itu ditulis Makka. 

"Burung itu tampak bagus dan tangkas. Kalau terbang, tak ada seekor burung lain yang menyamai kecepatannya. Burung Makka dipanggil Raja Berekor yang sulung, diajaknya berlomba," demikian kisah dalam terjemahan Toeti tentang Burung Maka.

Nama Burung Maka terdengar asing ditelinga masyarakat Belitung masa kini. Pun bila dicari di internet maka yang muncul malah burung-burung dara di Kota Makkah. Namun setelah dilakukan penelusuran secara lebih mendalam akhirnya ditemukan satu burung dengan nama Maka. Burung tersebut ditulis dalam sebuah karya abad ke-13 ilmuan Islam di Persia bernama Zakariya al-Qazwini. Tepatnya dalam kitab berjudul Aja'ib al-Makhluqat wa Ghara'ib al-Mawjudat (Keajaiban Makhluk dan Keajaiban Ciptaan).

Dalam versi yang disalin era Ottoman oleh Muhammad ibn Muhammad Shakir Ruzmah-'i Nathani pada tahun 1717 terdapat gambar burung Maka. Namun sayang tidak terdapat terjemahan mengenai deskripsi dari narasi yang ditulis dalam huruf Arab tersebut. Yang disebut hanya keterangan mengenai terjemahan gambarnya saja yakni "A Bird Called Maka and a Vulture" (Seekor burung yang disebut Maka dan burung Nasar).



Dikutip dari wikipedia bahasa Inggris, Aja'ib al-Makhluqat disebut sebagai "kosmografi paling berharga dari budaya Islam" oleh Carl Brockelmann , kosmografi Qazwini adalah salah satu karya yang paling banyak dibaca di dunia Islam. Dalam buku ini terdapat sejumlah makhluk aneh yang asing bagi kebanyakan orang. Beberapa di antaranya adalah makhluk dengan wujud manusia kera dan kaum berkepala manusia berbadan ular.

Dalam teks aslinya makhluk ini disebut Insan Alma', dalam terjemahan bahasa Inggris disebut atau "A Man of the Sea" yang artinya Seorang Manusia Laut.

"Mereka setengah manusia – setengah kera, bisa berbicara, berjalan melompat-lompat, terdapat di dataran subur tanah Yaman," demikian dikutip dari Kanzunqalam's Blog.

Apakah penulis Cerita Raja Berikor dari Belitong terpengaruh oleh karya imam Qazwini ini? Tentu kajian lebih mendalam masih perlu dilakukan. Namun untuk sementara, sekian dulu penelusurannya. Semoga bermanfaat.(*)

Penulis : Wahyu Kurniawan

Editor : Wahyu Kurniawan

Sumber: petabelitung.com