Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Catatan Kuno Tentang Cara Khitanan, Berendam Selama 6 Jam Hingga Ditaburi Bubuk Kopi


PETABELITUNG.COM - Disebutkan dalam buku Cornelis de Groot (1887: 297), bahwasanya Urang Darat Belitung beragama Islam (Mohammedaansche). Urang Darat Belitung juga melaksanakan praktik sunat atau khitan. Dalam bahasa Belitong sering juga disebut dengan istilah besunat. Penyunatan pada anak perempuan dilakukan sesaat setelah kelahiran dan bagi anak laki-laki, umumnya diadakan setelah umur dua belas tahun.

            Hal menarik terkait praktek sunat Urang Darat ini ialah prosesnya yang bisa dikatakan unik dan mendebarkan bagi sesiapa saja yang akan disunat. Berbeda dengan zaman sekarang, yang mana dalam dunia persunatan modern sudah menggunakan pisau bedah atau laser serta anestesi (pembiusan) yang baik sehingga diklaim minim rasa sakit. Penyunatan pada Urang Darat dahulu seperti yang diterangkan oleh Cornelis de Groot (1887: 297), cukup mengerikan. Untuk laki-laki, mereka harus berendam terlebih dahulu dalam air selama 5-6 jam sebagai bagian dari proses pembiusan. Lalu selanjutnya, kulit muka kulup (ujung kemaluan laki-laki), dijerat dan dipotong.

            Praktek sunat yang diterangkan oleh Cornelis de Groot (1870) tersebut, seakan juga sesuai dengan apa yang diungkapkan dalam biografinya H. AS. Hanandjoeddin, seorang pejuang kemerdekaan RI dari Belitung. Diceritakan bahwa saat Pak Hanan berumur 9 tahun (1919), beliau masih mengalami penyutanan dengan cara ekstrem tadi.[1]

            Pembiusan pada masa kecil Pak Hanan, masih dilakukan melalui cara tradisional dengan berendam berjam-jam lamanya sampai seluruh kulit mengebal. Berendam bisa dilakukan pada drum atau aik arongan. Bila sunat dilaksanakan pada pukul 10.00, maka sang anak sudah harus mulai berendam sejak pukul 05.00 atau selepas Subuh. 

            Selanjutnya, sang anak dibawa ke rumah Pak Kadim[2] (tukang sunat). Sesampai di rumah Pak Kadim, sang anak dibaringkan pada meja kayu. Lalu Pak Kadim merapalkan doa-doa dan mulai menjalankan aksinya. Pak Kadim dalam proses penyunatan ini hanya menggunakan alat sederhana, berupa penjepit bambu dan pisau kecil. Untuk menghentikan pendarahan di lancau, Pak Kadim hanya menaburkan bubuk kopi pada bekas luka sayatan.

            Operasi khitan tersebut terbilang tidak lama. Hanya lima menit sudah rampung. Sang anak bisa dikatakan tidak akan merasa kesakitan saat disunat karena saking kedinginannya setelah berendam berjam-jam.

            Pada sore harinya selepas sunat, orang tua sang anak akan mengajak orang kampung ke rumahnya untuk bersama-sama membaca doa selamat yang dipimpin oleh lebai kampong[3]. Saking gembiranya, orang tua sang anak sampai rela memotong seekor ayam dan menanak beras ketan sebagai hidangan untuk perayaan sunat sang anak. Tak lupa juga, biasanya sang anak akan diberikan hadiah. Pada kisahnya Pak Hanan, selepas sunat (1919), beliau diberikan hadiah ketapel (peletikan) dari kakeknya. (*)

Artikel Terkait: Peletikan Dari Manggar Buatan Tahun 1935 Ini Jadi Koleksi Museum di Swedia



                [1]Haril Andersen, Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H. AS. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI, (Tanjungpandan: Yayasan Melati, 2015), hlm. 34-36.

Haril Andersen

                [2]Sebutan orang Belitung untuk juru khitan.

                [3]Tetua adat Melayu Belitong di bidang agama Islam.

Foto ilustrasi: Sejumlah lelaki sedang duduk di depan masjid. Foto koleksi Mat Suud. Arsip Keluarga Marwansyah Manggar. repro by petabelitung.com tahun 2020.

Penulis : Dony Agustio Wijaya

Editor : Wahyu Kurniawan

Sumber: petabelitung.com