Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Menilik Kiprah Raja Sakti yang Bikin Ribuan Orang Dari Berbagai Penjuru Datang ke Pulau Belitung


PETABELITUNG.COM - Sosok bernama Raja Sakti yang bermarkas di pulau Belitung menjadi perhatian publik pada tahun 1685. Ia dianggap sebagai dalang di balik persiapan 'perang suci' melawan VOC menjelang akhir abad ke-17.
Tidak banyak yang diketahui mengenai latar belakangnya sebelum muncul di pulau Belitung pada tahun 1685, termasuk nama aslinya sekalipun.
Terkadang ia dipanggil Raja Ibrahim. Tapi ia juga lebih populer dikenal dengan nama Paduka Ahmad Shah atau Ahmad Shah bin Iskandar. Dan ia juga punya gelar Yang di-Pertuan Raja Sakti, penguasa Minangkabau.
Yang pasti, semua laporan dan arsip mengenai sosok ini tampak senada menyebut bahwa ia berasal dari rumah penguasa Minangkabau. Hanya saja ada sejumlah kemungkinan mengenai hubungan tersebut. Dan salah satu kemungkinan itu menyebutkan bahwa Ahmad Shah bisa jadi adalah satu dari banyak pesaing untuk takhta penguasa Minangkabau yang wafat pada tahun 1674.
Kedatangannya ke pulau Belitung pada tahun 1685 telah memunculkan dugaan bahwa Ahmad Shah punya alasan yang lebih jauh lebih besar daripada perolehan tahta. Alasan itu adalah untuk menjadi pemimpin 'perang suci' melawan VOC.
Berdasarkan analisa peneliti, keputusan Ahmad Shah menjadikan Belitung sebagai basisnya bukan tanpa pertimbangan. Saat itu pulau Belitung sudah populer sebagai titik dasar operasi para perampok dan petualang.
Namun yang terpenting, pulau Belitung yang merupakan bagian dari Palembang dianggap memiliki koneksi yang kuat dengan Jawa, seperti halnya juga Jambi.  Dengan begitu ia punya peluang besar meraih dukungan dari wilayah-wilayah di sepanjang pantai utara Jawa lewat koneksi Palembang dan Jambi tersebut.
Kekuatan pertama yang dibawa Ahmad Shah saat ke pulau Belitung berjumlah 5 perahu dengan 200 orang. Namun segera setelah bermarkas di pulau Belitung, kekuatan Ahmad Shah menjadi berlipat-lipat ganda. Klaim sebagai penguasa Minangkabau dan 'orang suci telah membuatnya berhasil memenangkan simpati Pangeran Aria Palembang dan penguasa Jambi.
Tak sampai di situ saja, Ahmad Shah juga mengirim surat dari Belitung yang ditujukan kepada para penguasa di Aceh, Mataram, para penguasa di pantai barat Sumatera, dan Kalimantan Selatan, dan bahkan kepada Raja Siam, untuk mengundang dukungan mereka bagi perjuangan sucinya melawan Belanda di Nusantara.
"Dalam waktu singkat ia berhasil memobilisasi dukungan, dikatakan sebanyak 4.000 orang dan 300 perahu di tahun 1685. Arnangkurat II dari Mataram, yang sedang menderita karena persyaratan-persyaratan dalam persekutuannya dengan VOC, menjawab suratnya dengan mengundang Ahmad Syah datang ke Kartasura untuk memimpin perang sabil," tulis Anthony Reid, dalam bukunya Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680.
Jeyamalar Kathirithamby – Wells pada tahun 1970 menulis sebuah makalah berjudul: Ahmad Shah Ibn Iskandar and the Late 17th Century 'Holy War' in Indonesia  (Ahmad Shah Ibn Iskandar dan "Perang Suci" abad ke-17 di Indonesia)
Makalah sepanjang 16 halaman itu dimuat dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society Vol. 43, No. 1 (217) (1970). Menurutnya, 4000 orang yang datang ke Belitung tersebut sebagian besar terdiri dari orang-orang Makasar dan Minangkabau, Riau, Johor, dan Jambi.
"Kekhawatiran Belanda pada kolusi Ahmad Shah dengan kekuatan-kekuatan Muslim semakin diperkuat oleh gejala-gejala pemberontakan gerakan anti-kafir di tempat lain di Nusantara," tulis Jeyamalar Kathirithamby dalam makalahnya tersebut.
Belanda kemudian mengirim pasukan dengan tambahan kekuatan dari tentara Banten. Armada gabungan itu berangkat dari Batavia pada 1 Juni 1686. Selanjutnya armada itu menyusuri pantai untuk mencari kapal-kapal musuh sambil mengumpulkan pasukan tambahan di Jepara. Mereka akhirnya tiba di pulau Belitung pada permulaan Juli 1686.
Kekuatan armada gabungan itu terdiri dari 8 kapal pencalang milik Belanda dengan total awak 60 tentara dan sekitar 400 pelaut, ditambah 50 kapal pencalang Banten yang dijaga hampir 1000 orang Banten, Bugis, dan Bali.
Berdasarkan informasi lokal diketahui bahwa armada Ahmad Shah saat itu berkekuatan 250 kapal. Namun tidak ada satupun kapal itu terlihat saat mereka tiba di pulau Belitung. Berdasarkan desas desus yang beredar, diperoleh informasi bahwa armada Ahmad Shah telah pergi berpencar menjadi tiga bagian, satu telah pergi ke Jawa Timur, yang lain ke Jambi, dan yang ketiga ke Lampung bersama Ahmad Shah.
Pada 1688, komandan Belanda, Steven Klaerbout, kembali ke Batavia untuk melaporkan bahwa para kepala suku Banten dalam ekspedisi, Pangeran Tuda Negara dan Pangeran Singa Ratu, menunjukkan sedikit antusiasme atau kerja sama sepanjang ekspedisi tersebut.
Demikianlah akhir kiprah Ahmad Shah alias Yang Dipertuan Raja Sakti di pulau Belitung. Selanjutnya ia lebih banyak terlibat dalam sejumlah pergerakan di tanah Sumatra hinga menjelang akhir abad ke-17.
Ada beberapa point yang bisa kita jadikan perhatian dalam kisah ini. Pertama bahwa ada sebuah karya sastra dalam bentuk surat yang ditulis dari Belitung yang ditujukan kepada para penguasa di Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Siam. Hingga kemudian ratusan kapal dan ribuan orang datang ke pulau Belitung sebagai reaksi pada si pembuat karya sastra tersebut.
Mungkin tak pernah terbayangkan, bahwa setelah 3 abad berlalu, hal serupa terjadi lagi pada Belitung. Pada abad ke-21 muncul karya sastra berupa novel yang berjudul Laskar Pelangi dan membuat banyak orang dari berbagai penjuru datang ke pulau Belitung.
Point kedua, adalah soal pandangan tentang letak strategis pulau Belitung. Pada abad ke-19 Sir Thomas Stamford Raffles menulis sebuah surat dan mengatakan bahwa penguasaan terhadap Belitung akan membentuk tautan yang paling berharga dan penting dalam rangkaian stasiun kami, dan akan selalu memastikan bagi kami setiap keuntungan yang adil dalam perdagangan di Nusantara.
Ternyata pemikiran seperti itu sudah ada lebih dari satu abad sebelumnya.
Kemudian poit ketiga adalah mengenai keterangan Cornelis de Groot tentang penduduk asli pulau Belitung yang disebut Orang Darat. Ia meragukan bahwa Orang Darat yang dimaksud adalah penduduk asli pulau Belitung. Keraguan itu muncul setelah De Groot mendengar bahasa Melayu yang digunakan oleh Orang Darat. Ia menduga pada zaman dahulu kala ada sebuah koloni Melayu di Belitong, yang kemudian menetap dan menjadi penduduk asli.
"Bahasa Melayu yang dipakai di pedalaman menunjukkan secara umum penanda keturunan Melayu dari Orang Darat, tetapi yang pasti adalah, bahwa sebagian besar berasal dari orang Melayu residensi Palembang dan pantai timur Sumatera, dari pulau-pulau yang termasuk residensi Riau, dari Bangka, negara Sukadana di pantai barat Borneo dan dari Semenanjung Melayu, sedangkan yang lainnya terkenal sebagai turunan dari Selebes-Selatan (Mangkasar dan Bugis) dan dari pantai Koromandel (keling) dan semuanya baru atau lama masuk jadi Orang Darat dari Blitong," kata Cornelis de Groot dalam bukunya, 1887.
Bukan tidak mungkin jawaban atas dugaan De Groot tersebut berkaitan dengan kisah Ahmad Shah alias Yang Dipertuan Raja Sakti tahun 1685. Penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan untuk menguji dugaan-dugaan tersebut. Semoga bermanfaat.(*)

Pencalang, dengan layar penuh, Jawa, 1841. sumber: Essai sur la construction navale des peuples extra-europeens/ Author Amiral E. Paris (François-Edmond Pâris)/commons.wikimedia.org/repro petabelitung.com 2019.

Penulis: Wahyu Kurniawan
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber: petabelitung.com