Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Menilik Foto Buaya Raksasa di Pulau Belitung, Ternyata Ada Kisah Perjalanan ke Kota Mekkah di Dalamnya


PETABELITUNG.COM – Foto lawas buaya raksasa dari pulau Belitung ini sudah dikenal luas sejak lama. Namun tak banyak orang mengetahui kisah di balik foto tersebut.
Foto tersebut dimuat dalam buku Gedenkboek Billiton Jilid 2 terbitan tahun 1927.
Dalam keterangan foto tersebut tertulis : “Seekor buaya dengan Dukun Buaya”.
Foto tersebut tidak sekadar dokumentasi dari sebuah peristiwa penangkapan buaya raksasa.
Namun ada kisah di baliknya.
Yaitu sebuah kisah yang memaparkan ihwal buaya dalam budaya orang Belitung.
Menurut buku tersebut, penduduk lokal menganggap buaya sebagai hewan yang suci, yang hanya dapat dikejar jika buaya tersebut melanggar janji untuk tidak mengganggu manusia.
Terdapat suatu kepercayaan di tengah penduduk lokal Belitung mengenai asal usul buaya.
Alkisah bermula saat seorang penduduk sedang mandi dan setetes air yang menyentuh badannya jatuh ke dalam bak air.
Tiba-tiba dari tetesan air tersebut muncul seekor kadal besar.
Keesokan harinya ketika penduduk itu mandi, kadal besar tersebut pun menyerangnya.
Namun penduduk itu berhasil mengalahkan kadal besar yang menyerangnya.
Kadal besar itu kemudian minta maaf dan menjelaskan asal mula penciptaan dirinya yang juga berasal dari manusia.
Seorang penduduk itu pun kemudian membiarkan si kadal besar tetap hidup.
Namun ia memotong lidah kadal besar itu sebagai hukuman.
Dan ia memberikan kadal besar itu julukan Buwaya, yang diambil dari kata Buas dan Air.
Buas memiliki arti haus darah.
Dan air berarti air.
Kadal besar itu juga harus menebus dosanya di Mekkah, yang pada saat itu masih dapat dicapai melalui daratan.
Dengan cara inilah buaya yang asal mulanya dari kadal kehilangan lidah, memegang teguh janjinya.
Dan sejak laut memisahkan Mekkah dan Belitung, jadilah buaya tersebut beserta keturunannya menjadikan pulau Belitung sebagai tempat tinggal.

Foto buaya raksasa yang ditangkap di pulau Belitung. Keterangan asli dalam foto ini ditulis Krokodil met den doekoen boeaja. repro petabelitung.com 2019/Gedenkboek Billiton Jilid 2, 1927.

Kisah asal mula buaya di Belitung dalam buku Gedenkboek Billiton Jilid 2 terbitan tahun 1927. repro/petabelitung.com, 2019.
Ada sejumlah pandangan yang bisa kita ambil berdasarkan kisah yang dimuat dalam buku tersebut.
Sekalipun kisahnya bertema legenda, tapi jelas ada semacam pelajaran di baliknya.
Berikut ini petabelitung mencoba mengemukakan asumsi berdasarkan kisah tersebut. 
Pelajaran pertama adalah soal kebersihan.
Kisah awal mula lahir buaya disebutkan berasal dari setetes air siraman yang jatuh ke dalam bak saat penduduk sedang mandi.
Si pembuat cerita ini seperti ingin menyampaikan pesan agar setiap penduduk mandi secara hati-hati, tidak sembarang siram.
Sebab cara mandi yang sembarangan akan menyebabkan cipratan air bekas mandi bisa masuk ke dalam bak.
Hal ini penting untuk disampaikan karena air dalam bak tidak hanya digunakan untuk mandi, tapi juga untuk bersuci atau berwudlu.
Maka itu kemudian dibuat cerita walaupun hanya setetes, air bekas mandi yang masuk ke dalam bak akan melahirkan keburukan dan menyerang diri sendiri.
Pelajaran selanjutnya berkaitan dengan geologi.
Si pembuat cerita asal buaya ini jelas menyebutkan kondisi geografis Belitung yang pada awalnya berada dalam satu daratan dengan Kota Mekah.
Tapi kemudian Belitung dan Mekah terpisah oleh laut seperti yang terjadi sekarang ini.
Apa si pembuat cerita ini hanya mereka-reka atau berimajenasi saja?
Sebab pada era modern kemudian muncul teori tentang Sundaland.
Teori itu membuat Belitung bisa mengakses Mekah via jalan darat, sama seperti yang diceritakan dalam legenda kadal besar tadi.
Dan pelajaran lain dalam kisah ini adalah tentang Haji.
Meski tak menyebutkannya secara gamblang, tapi si pembuat cerita ini seperti ingin agar penduduk Belitung ingat pada ibadah haji.
Pesan tersebut tersirat dalam kisah buaya yang harus pergi ke Mekkah untuk menebus dosanya sendiri.
Pelajaran-pelajaran lain yang juga terkandung dalam kisah ini adalah soal maaf memaafkan.
Setiap penduduk harus tetap menjadi orang yang pemaaf, sekalipun dirinya telah diserang.
Namun pemberian maaf itu tentu dilakukan dengan syarat tidak menghilangkan hukuman yang semestinya diterima oleh si penyerang.
Demikian interpretasi petabelitung dalam melihat cerita asal muala buaya di Belitung.
Penelitian lebih mendalam tentu harus dilakukan ke depan agar tafsiran mengenai cerita tersebut bisa lebih ilmiah.
Semoga bermanfaat.

Penulis : Wahyu Kurniawan.
Editor : Wahyu Kurniawan.
Sumber : petabelitung.com.