Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Bicara Atlas, Jadi Teringat Sama Situs Petabelitung.com


Atlas dan Peta
Dengan punggungnya sendiri, Atlas menyangga langit sebagai hukuman yang dijatuhkan Zeus karena Atlas berani melawan Dewa Olimpus. Sekali saja sanggahan dilepas akan terjadi bencana besar. Dalam mitologi Yunani bencana besar dimaksud adalah kiamat. Karena Herakles , Atlas mendapatkan peluang emas melepas beban meski hanya sementara. Pertemuan Herakles dan Atlas ini karena balas budi.
Herakles membunuh elang Kaukasus yang memakan liver Pometheus dan membebaskan Prometheus dari belenggunya. Sebagai balasannya, Prometheus memberitahu Herakles tentang naga Ladon yang menjaga pohon apel Hesperides. Prometheus juga memberi saran bahwa Herakles lebih baik memanfaatkan Atlas untuk mengambil apel emas di Taman Hesperide dan menghindari konflik langsung dengan Ladon.
Karena budi baik dan ilmu pengetahuan, pertumpahan darah dapat dihindari. Selama Atlas mengambil apel emas, Herakles yang menggantikan Atlas menyanggah langit. Sayang tak lama Atlas, begitu emas sudah didapat Atlas kembali bertugas.
Beberapa versi menyebutkan bahwa Atlas bukan memegang Uranus (langit) melainkan memegang bumi. Seni klasik menunjukan Atlas memegang bola langit, bukan dunia (Wikipedia).
Upaya menjadikan mitologi berwujud, setidaknya diupayakan oleh Aryo Santos tentang Negeri Atlantis. Dugaan pusat Atlantis berada di antara pula Kalimantan dan pulau Bawean pun ramai dikait-kaitkan dengan mitologi yang disebut Plato makin menegaskan mitologi memuat informasi peradaban yang panjang.
Dan Atlas terkena imbas. Anak sekolah justru mengenal Atlas sebagai peta. Bicara Atlas saya teringat dengan situs www.petabelitung.com. Pengelola website, Wahyu Kurniawan meluaskan makna peta tidak sekadar informasi geospasial. Situs yang dikelolanya mengulas luas informasi budaya, jauh lebih lengkap dari situs lain termasuk yang dikelola pemerintah.
Tidak banyak orang yang mengkhususkan diri dalam penggalian atau aktivasi budaya. Wahyu pun tertarik ketika ada siswa SMA yang mau meneliti sejarah. Ia berikan ruang kepada siapa saja untuk menyampaikan informasi agar bisa dipublikasikan secara global melalui website yang ia kelola. Menghimpun objek pemajuan kebudayaan ini memang membutuhkan kemampuan literasi mengingat banyak kebudayaan daerah berkembang atas dasar tradisi lisan. Dengan berkembang teknologi digital, dualisme pemahaman mitologi khususnya terkait bumi atau langit yang dipegang Atlas bisa diakomodir. Internet mengintegrasikan bumi dan langit. Sebaliknya banyak situs-situs yang dikelola pemerintah justru memisahkan bumi dan dan langit. Lebih tepatnya berjarak antara bumi dan langit.
Untuk mengetahui kesenjangan antara infrastruktur teknologi dan konten informasi tak sulit, cukup lihat traffic kunjungan. Lebih dalam lagi menggunakan instrumen google analytic. Wahyu berkisah beberapa hari lalu www.petabelitung.com dikunjungi 1200 user, umurnya pengunjung berusia 18-24 tahun dan 24-34 tahun. Bandingkan dengan situs yang dikelola oleh Diskominfo atau dinas instansi teknis lain.
Bukan mitos, bahkan dua-tiga alokasi anggaran sekalipun tidak mampu menjamin kualitas informasi. Namun apapun bentuk kesenjangan tidak perlu diperuncing justru bisa dijadikan pembelajaran. Keterlibatan mengelola informasi terutama informasi budaya perlu didukung banyak pihak. Bahkan ada kesan, pengumpulan dan penyajian dan informasi tidak terkait dengan anggaran.(*)


Penulis : Fithrorozi
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber : facebook Fithrorozi Belitong. 8 Januari 2019.
Foto : Fitrorozi sedang berada diperpustakaan pribadi dalam rumahnya. petabelitung.com/Wahyu K.