Video Of Day

ads

Selayang Pandang

Kulek Terakhir, Sebuah Pengantar Sejarah Suku Sawang Gantong - Part 2


Bab I
Para Penguasa Lautan

Testimoni tentang ketangguhan Orang Laut di Pulau Belitung tidak usah disanksikan lagi. Sejumlah catatan dalam buku-buku kuno buatan Belanda menunjukkan bahwa Orang Laut dikenal sebagai pelaut pemberani dan nelayan yang ulung. Buku Ensiklopedia Hindia-Belanda terbitan tahun 1896 secara terang-terangan memaparkan ciri fisik dan karakter Orang Laut di Pulau Belitung. Paparan itu pula yang membuat citra Orang Laut semakin dikenal luas di kawasan Nusantara maupun kalangan Eropa.

”Mereka memiliki fisik yang kuat, pelaut pemberani, nelayan yang unggul, dan pekerja yang kuat,”
Ensiklopedia Hindia-Belanda, (1896) hlm 204.

Kekuatan fisik Orang Laut juga tak sekadar berlaku di lautan, tapi juga di daratan. Insinyur tambang timah di Belitung Cornelis de Groot memastikan Orang Laut layak menyandang predikat pekerja yang hebat. Hanya saja predikat tersebut baru berlaku bila Orang Laut diberikan kesempatan untuk mengadopsi cara kerjanya sendiri. Cara kerja itu yakni dengan sistem borongan atau kerja lembur yang menuntut pekerjaan berlangsung hingga larut malam.

Gambar 1.1. Cornelis De Groot Sumber: Gedenkboek Billiton, 1852-1927/Repro.

”Mereka adalah pelaut yang berani, nelayan yang sangat baik dan pekerja yang kuat. Mereka juga pantas disebut sebagai pekerja hebat,”

De Groot, (1883)
hlm 331
Penilaian De Groot patut jadi perhatian mengingat dirinya adalah salah satu pionir perusahaan timah Belitung yang berhubungan langsung dengan Orang Laut. Ia bahkan adalah orang Belanda pertama yang menggunakan nama Blitong sebagai judul buku. Hal ini setidaknya menggambarkan bahwa De Groot adalah sosok orang yang sangat memperhatikan sisi keaslian dalam menulis kebudayaan Belitung.
Orang Laut yang begitu populer dalam sejarah juga menarik perhatian penulis Indonesia Sutedjo Sujitno. Ia bahkan membuat paparan yang cukup panjang tentang Orang Laut di Indonesia secara umum. Paparan itu ditulis dalam bukunya yang berjudul Sejarah Timah Indonesia, terbitan tahun 1996. Disebutkan asal usul Orang Laut berkaitan erat dengan sejarah rumpun Melayu di semenanjung Malaysia dan Nusantara. Dalam sejarah diketahui kedatangan ras rumpun Melayu ke wilayah tersebut berlangsung selama dua gelombang.
Kedatangan gelombang pertama terjadi sekitar 2500-1500 tahun sebelum masehi (SM). Kala itu orang-orang dari benua Asia datang dan menyebar ke wilayah selatan seperti semenanjung Malaysia dan Nusantara bagian barat termasuk Sumatera dan Kepulauan Riau. Mereka ini yang kemudian dikenal sebagai bangsa Proto Melayu. Bangsa ini merupakan pendukung budaya Neolithicum (zaman batu baru). Menurut Sutedjo, jejak bangsa Proto Melayu masa kini yakni Suku Talang Mamak dan Suku Laut.
Kedatangan ras rumpun Melayu gelombang kedua berlangsung dalam periode sekitar 300 SM. Rombongan gelombang kedua ini dikenal dengan sebutan Deutro Melayu. Sekarang mereka menjadi mayoritas penduduk Riau dan dikenal dengan sebutan Melayu Riau.
Di antara rombongan gelombang kedua itu, terdapat kelompok yang dinamai Orang-Orang Perahu. Kedatangan mereka berlangsung dalam rentang abad ke-10 sampai abad ke-19 yang dalam publikasi Barat sering disebut lewat nama Sea Nomads, Nomadic Boat People, atau Boat People. Secara harfiah sebutan-sebutan itu bisa diartikan Orang Perahu Pengelana. Berdasarkan cara hidupnya, mereka juga kadang disebut dengan istilah Sea Gippsies. Para pedagang Portugis menyebut Orang-orang Perahu ini dengan sebutan Celates.
Dalam buku Sejarah Timah Indonesia, Orang-orang Perahu itu ditulis dengan istilah nama Orang Laut. Penyebutan Orang Laut ini merujuk pada penamaan yang berlaku di dalam masyarakat lokal. Terdapat pandangan umum tentang asal muasal kedatangan Orang Laut. Pandangan itu menyebutkan bangsa-bangsa Austronesia turun melalui sungai-sungai besar ke pantai.  Pandangan ini kemudian mengarahkan dugaan bahwa Orang Laut pada awalnya adalah orang-orang sungai. Hal ini merujuk pada catatan sejarah yang menyatakan bangsa-bangsa yang hidup di sekitar Laut Cina Selatan menamakan dirinya ’Putra-putra Sungai’. Maka dapat dilihat bahwa Orang Laut adalah sebuah komunitas yang mampu hidup dalam tiga lingkungan yang berbeda, yakni laut, sungai, dan daratan. Fisik yang kuat juga membuat Orang Laut begitu andal ketika masuk ke dalam dunia bawah air.
Kemampuan hidup di tiga lingkungan sekaligus membuat Orang Laut tampak secara alamai memiliki kemampuan bak atlet. Sebab pada umumnya mereka adalah para perenang yang mahir dan juga unggul sebagai penyelam. Mereka membuat perahunya dengan tangan sendiri, kemudian melengkapi diri dengan peralatan tangkap ikan dan senjata untuk berburu binatang.
Dengan segala kemampuan yang dimilikinya, Orang Laut tak diragukan lagi adalah ’penguasa lautan’ yang sesungguhnya. Namun kekuatan yang dimilikinya itu tak lantas membuat Orang Laut jadi kaum yang agresif dan menjadi kelompok penakluk bagi suku lain di sekitarnya. Sebab sudah menjadi pendapat umum para peneliti dan penulis di seluruh dunia bahwa Orang Laut pada hakikatnya adalah komunitas yang cinta damai.
Secara umum Orang Laut di Indonesia tersebar di berbagai daerah seperti di perairan sekitar pulau Sumatera bagian timur, Kalimantan, Sulawesi, Flores. Catatan tentang sebaran Orang Laut ini dimuat dalam buku Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z karya M. Junus Melalatoa yang diterbitkan oleh  Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1995. Di berbagai kawasan perairan tersebut terdapat pula sub-kelompok Orang Laut yang disebut Orang Bajau atau Bajo, orang Muara, dan Orang Ameng Sewang.
Nama terakhir yakni Orang Ameng Sewang dalam buku itu disebut sebagai nama lain dari Orang Laut di Pulau Belitung. Menurut Junus, kelompok Orang Ameng Sewang bisa dijadikan salah satu contoh untuk mengenali pola kehidupan sosial budaya Orang Laut secara keseluruhan. Sebab Orang Laut Pulau Belitung dianggap sudah menghuni laut dan pulau-pulau kecil di sekitar pulau Bangka dan Belitung sejak berabad-abad lamanya. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa Orang Laut di pulau Belitung adalah representasi dari komunitas Orang Laut di Indonesia. Orang Laut juga disebut-sebut oleh para ahli sebagai sisa turunan nenek moyang bangsa Indonesia. Karena itu mereka dinilai masuk dalam kategori Melayu Tua (Proto Melayu) dan bahasanya juga masih berdialek Melayu.

”Dilihat dari latar belakang asal usul mereka, para ahli mengkategorikan Orang Laut sebagai sisa turunan nenek moyang Bangsa Indonesia yang datang bermigrasi dari daratan Benua Asia sekitar 2500-1500 Sebelum Masehi,”
M. Junus, (1995) hlm 459.

Penggunaan istilah ‘Orang Ameng Sewang’ sepertinya perlu dikaji lagi. Sebab, sejauh ini penulis tidak menemukan keterangan mengenai penggunaan nama tersebut dalam komunitas Orang Laut di pulau Belitung.
Satu refrensi yang bisa digunakan yakni lewat diktat terbitan Dinas Pariwisata Kabupaten Belitung tahun 1987 yang berjudul ’Mengenal Kehidupan Adat Istiadat Suku Laut (Sawang) di Pulau Belitung’. Diktat tersebut ditulis oleh Asin Bahari, sesepuh Suku Laut di Pulau Belitung yang ternama karena berhasil menduduki posisi staf di Kantor Pusat perusahaan timah di Tanjungpandan.
Tampak jelas Asin Bahari di dalam paparannya tak sekalipun menggunakan kata Ameng Sewang. Nama yang digunakannya yakni, kalau tidak Suku Laut, Orang Laut, atau Sawang.
Sesepuh Suku Sawang Gatong Udin (76) mengatakan, kata Ameng dalam Bahasa Laut memiliki arti ’orang’ dan Sawang artinya laut1. Jadi Orang Laut bisa pula disebut Ameng Sawang. Sedangkan kata ’Sewang’ dalam Bahasa Laut memiliki arti ’uang 10 sen’.

1Wawancara, Selasa 16 Agustus 2016 sore di Kampong Laut, Desa Selingsing. Pada waktu yang sama, wawancara juga dihadiri oleh tiga sesepuh Suku Sawang Gantong yakni Kati, Tis, Maisina.

Dalam sejumlah literatur berbahasa Belanda juga tak pernah muncul kata ’Sewang’ sebagai nama dari komunitas Orang Laut di pulau Belitung. Setidaknya hal itu berlaku pada literatur terbitan abad ke-19 maupun awal abad ke-20 masehi.
Secara umum, asal usul Orang Laut di pulau Belitung belum diketahui secara pasti. Generasi tua seperti Asin Bahari bahkan hanya bisa membuat dugaan berdasarkan tradisi yang tampak pada Orang Laut di pulau Belitung.

”Sepanjang sejarah yang telah berjalan selama ini, belum ada yang dapat memastikan, dari mana sebenarnya asal usul orang-orang Suku Laut ini namun berdasarkan kenyataan yang melekat pada mereka mungkin sekali dahulunya berasal dari Kepulauan Sulu di Mindanau Filipina Selatan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan dan adat istiadat serta tata cara hidup bentuk rupa yang mirip dengan suku bangsa yang mendiami pulau-pulau di lautan teduh tersebut,”
Asin Bahari, 1987.

Dugaan Asin, Orang Laut keluar dari Kepulauan Sulu karena mengikuti instingnya sebagai suku pengembara di lautan. Jalur perpindahan mereka menelusuri teluk dan tanjung dari Brunei ke Kalimantan Utara kemudian terus menyebrang ke Semenanjung Malaysia.
Dari semenanjung Malaysia kemudian menyebar lagi ke pulau-pulau di Kepulauan Riau terus ke selatan sampai menuju Bangka dan Belitung. Dugaan Asin ini juga merujuk pada cerita yang mengatakan bahwa nenek moyang Orang Laut Belitung datang dari Johor Malaysia. Cerita itu dibalut dengan kisah perjuangan heroik melawan bangsa Eropa.

”Pada waktu Bangsa Portugis menyerang tanah Melayu, orang-orang laut turut berperang sebagai angkatan laut kerajaan Melayu pada saat itu. Mereka dipimpin oleh seorang Panglima kerajaan, melawan angkatan laut Portugis di perairan Malaya,”
Asin Bahari, 1987.

Namun mereka menderita kekalahan sehingga terpisah dari para pimpinannya. Akibatnya orang-orang laut tercerai berai di lautan luas dan akhirnya menetap di pulau-pulau sekitar Malaysia dan Riau. Oleh Orang Laut di Belitung, mereka disebut dengan istilah Orang Lingga.
Pada sisi lain, terdapat pula cerita dengan versi yang berbeda. Namun kisahnya sama-sama berlatar kerajaan Melayu. Dikisahkan pada suatu ketika seorang Panglima Tanah Melayu telah membunuh  rajanya. Panglima tersebut dendam lantaran istrinya dipenggal oleh sang raja. Setelah membunuh raja, sang Panglima kemudian membawa Orang Laut menyingkir dari daratan. Panglima tersebut menjadikan Orang Laut sebagai laskarnya dan menyebrang ke arah selatan.
Dalam pelariannya itu, sang Panglima dan Orang Laut terpisah karena dihantam angin ribut. Sebagian mereka terdampar di sekitar Kepulauan Riau, Pulau Bangka, dan Belitung. Sejak itu Pulau Belitung dihuni oleh dua komunitas sosial yakni Orang Laut dan Orang Darat. Orang Laut bertahan hidup sebagai nelayan. Sedang Orang Darat yang oleh Belanda disebut dengan istilah Billitonezen memenuhi kebutuhan hidup secara berladang.
Gambar 1.2. Keterangan foto ini hanya ditulis ’Mendayung dengan  kaki’. Namun ada kemungkinan 2 nelayan dalam foto ini adalah Orang Laut karena perahu yang digunakan mereka mirip Kulek, perahu khas Suku Sawang yang biasa juga disebut Prauwok. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.
  
Cap Bajak Laut
Lewat paparan sebelumnya, Orang Laut masih dikenal sebagai kelompok yang baik dan unggul secara fisik maupun kemampuan melaut. Namun kita juga tidak bisa menutupi sejumlah catatan lain yang mencap Orang Laut dengan citra negatif.
Gambar 1.3. Keterangan asli foto ini hanya ditulis ’Para Nelayan’. Lokasi foto ini diketahui berada di daerah Tanjung Binga. Karena itu kemungkinan nelayan yang dimaksud berasal dari para nelayan Melayu Belitong. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.

Dalam buku Sejarah Timah Indonesia disebutkan bahwa banyak dari Orang Laut yang menjadi perampok. Hal itu terjadi karena pengaruh dari orang-orang daratan yang tinggal di desa-desa. Pengaruh orang-orang daratan kemudian mengubah Orang Laut menjadi pembuat perahu perang yang lebih besar. Kapal itulah yang digunakan untuk menyerang kapal-kapal barang.
Secara ekonomi Orang Laut akhirnya beradaptasi dan sangat bergantung pada kelompok-kelompok penguasa yang lebih kuat. Orang Laut seperti masuk perangkap dan diperalat untuk menjadi bajak laut. Pemanfaatan itu tak lepas karena Orang Laut adalah para pendayung yang kuat dan dianggap sebagai prajurit perang yang tangguh.
Sifat-sifat Orang Laut itu telah menarik perhatian para penguasa-penguasa untuk mempekerjakan mereka sebagai orang upahan guna melakukan pembajakan di laut. Pada waktu itu perairan Riau dikuasai oleh penguasa-penguasa Johor, Bintan, serta Lingga. Para penguasa ini kemudian mengorganisir Orang Laut dalam berbagai aksi perompakan di laut.
Hubungan antara penguasa Melayu dan Orang Laut kemudian disebut sebagai penyebab munculnya bajak laut di perairan pantai timur Sumatera, perairan Kepulauan Riau, Lingga, Bangka, dan Belitung. Perampokan kala itu sudah berkembang seperti corak kehidupan.
Pionir perusahaan timah Belanda John Francis Loudon dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1883 juga memberikan sesi khusus untuk Orang Laut di Belitung. Salah satu perhatiannya yakni latar masa lalu Orang Laut.
Loudon mengaku mendengar sendiri penuturan Orang Laut Belitung tentang aksi perompakan yang sudah mereka lakukan. Penuturan itu ia peroleh sewaktu dalam perjalanan laut menyusuri bagian selatan Pulau Belitung. Cerita ini memberikan pandangan lain bahwa ternyata yang menjadi sasaran bukan hanya kapal-kapal Eropa, tapi juga Cina. Dalam cerita itu Orang Laut mengaku pernah merompak sebuah wangkang asal Cina yang terdampar di Pulau Embasar. Sayang tak disebutkan alasan Orang Laut merompak wangkang tersebut. Akhirnya kutipan Loudon menimbulkan kesan bahwa aksi Orang Laut itu murni sebagai sebuah tindakan kriminal. Bahkan kutipan itu membuat citra Orang Laut tampak seperti sosok bajak laut yang sadis.

”Sepanjang perjalanan ini para Sekah menceritakan berbagai cerita mengenai pembajakan laut pada masa lalu. Mereka menunjuk arah tidak jauh dari Pulau Embasar, selatan dari Pulau Belitung, ada tempat dalam dan penuh penuh pasir di mana sebuah Wangkang Cina terdampar beberapa tahun yang lalu yang oleh mereka dengan Sekah-sekah lain dirampok dan lalu satu per satu awaknya dibunuh. Menurut mereka air laut sekitar kapalnya merah karena darah,”
J.F Loudon2

Reputasi buruk Orang Laut sebagai bajak laut sudah dikenal oleh Belanda sejak lama, jauh sebelum Loudon tiba di Pulau Belitung, 28 Juni 1851. Hal ini  tergambar  dalam  buku karya seorang dosen sejarah kolonial dari Universitas Amsterdam, Belanda DR. F.W. Stapel yang diterbitkan tahun 1938. 


2John Francis Loudon. Tahun-Tahun Pertama dari Perusahaan Belitung, terj. Yayasan Budaya Mukti (Tanjungpandan, 2015), hlm. 54.

Dalam buku Stapel disebutkan seiring munculnya pemberontakan di Palembang dan Bangka kurun tahun 1818-1820, perhatian Belanda terhadap Belitung bisa dikatakan hilang. Yang Belanda ketahui pada masa itu Belitung adalah  ’sarang Lanun’   karena  kelompok  perompak Lanun berkerjasama dengan Orang Laut untuk melakukan aksi teror. Aksi tersebut bahkan sudah dianggap sudah begitu nekat karena berani mendarat hingga ke Pulau Bangka pada tahun 1820 untuk merampas timah-timah simpanan Pemerintah Belanda di Batu Rusa.
Melihat kejadian tersebut, Pemerintah Hindia- Belanda mau tidak mau harus kembali memberikan perhatiannya pada Pulau Belitung. Tugas pendudukan Pulau Belitung itu kemudian diserahkan kepada Mayor De Kock dan dilaksanakan pada tahun 1821 berdasarkan Resolusi Gubernur Jenderal Hindia Belanda 24 Juli 1820 No 1

”Maka sebaiknya dilakukan dengan cara yang lain ialah mendekati mereka (penduduk Belitung) dengan cara yang halus dan supaya juga diminta bantuan kerjasama dengan orang-orang Siekapas (orang2 Sekah) yang tinggal di pantai2, supaya mereka meninggalkan pekerjaan2 dengan cara merampas dan merompak,”
Stapel3

Dalam Resolusi Gubernur Jenderal Hindia Belanda 24 Juli 1820 No 1 Pemerintah memandang penting untuk tidak lagi menggunakan cara kekerasan dalam menduduki Pulau Belitung karena cara itu dipandang tidak memberikan hasil. Namun cara  halus yang dimaksud  tidak  diterapkan  secara baik sehingga Belanda gagal mengambil hati Orang Laut. Kondisi ini membuat Belanda akhirnya melakukan pendekatan militer yakni mengirim prajurit sebanyak satu batalion pada tahun 1822.

3Frederik Willem Stapel (1938) hlm. 46-49,  terjemahan Abu Hasan (1983) hlm. 12-14. Buku ini merupakan salah satu refrensi penting dalam mengenali jejak Orang Laut sebelum masa Loudon tiba di Pulau Belitung.

Menurut J. F Loudon, pada tahun 1822  ini, hubungan Orang Laut dan Lanun terputus, yang semula berteman kemudian jadi bermusuhan. Meski begitu, Pemerintah Hindia-Belanda tetap menyakini bahwa Orang Laut masih terlibat dalam sejumlah aksi perompakan hingga ke laut Jawa, baik secara mandiri maupun di bawah pengaruh penguasa pribumi.
Pada tahap ini perlu kembali kita melihat modus perompakan yang dilakukan dari masa ke masa di perairan Sumatera hingga Belitung. Karena secara umum, aksi tersebut ikut menyeret nama Orang Laut sebagai garda terdepan.
Bagi penulis, hal ini juga menyangkut soal sudut pandang. Berbagai sumber yang tersedia hingga saat ini sebagian besar adalah warisan era kolonial dan ditulis oleh para penulis-penulis Belanda.
Pada era kolonial, pemerintahan Belanda sangat mungkin mengangap semua pergerakan yang mengganggu aktivitas mereka sebagai sebuah aksi kriminal. Namun bagaimana bila aksi tersebut dilihat dari sudut pandang bangsa-bangsa di Nusantara, termasuk pula oleh para punggawa Orang Laut.
Apa yang menjadi buah pikiran Sutedjo Sujitno dalam catatan akhir di bukunya Sejarah Timah Indonesia bisa menjadi bahan rujukan. Palembang, Bangka, dan Belitung sejak berabad-abad dikenal sebagai sarang Bajak Laut yang menguasai perairan Sumatera hingga Laut Cina Selatan. Tumbuhnya kelompok-kelompok Bajak Laut disebabkan karena faktor alam yang memang memungkinkan. Ribuan pulau kecil dan perairan dangkal membuat kawasan-kawasan pantai menjadi rentan terhadap kejahatan. Namun pada perkembangan selanjutnya pada awal abad ke-17, terdapat perubahan motif dari aksi para kelompok bajak laut tersebut. Ketika itu para pedagang Eropa datang ke Nusantara dengan semangat kolonialisme dan sistem monopoli dalam perdagangannya.
Kedatangan pedagang Eropa menjadi pemicu munculnya semangat anti-kolonialisme di seputaran pantai Sumatera hingga Laut Cina Selatan. Orang Laut yang berada dalam pengaruh kerajaan-kerajaan Nusantara ikut ambil bagian dalam semangat pergerakan anti-kolonialisme tersebut. Jadi bisa dikatakan, pembajakan yang dilakukan tidak sepenuhnya bermotif kriminal, tapi lebih kepada sebuah pergerakan perjuangan untuk mengusir pedagang Eropa dari bumi Nusantara. Dalam buku Sejarah Timah Indonesia, Sutedjo menyodorkan gagasan bawah pergerakan itu sangat mungkin menjadi bentuk perlawanan pertama bangsa Nusantara melawan penjajahan asing.
Gagasan ini setidaknya memberikan kita peluang untuk menduga bahwa aksi Orang Laut dalam peristiwa pembajakan itu mungkin saja sebagai bentuk perjuangan. Asumsi sederhana mengenai dugaan itu yakni belum adanya catatan yang menyebutkan Orang Laut dipaksa untuk mengikuti aksi pembajakan kapal-kapal pedagang Eropa.
Orang Laut disebut hanya terpengaruh oleh masyarakat yang lebih maju, yang merujuk pada komunitas kerajaan-kerjaan di Nusantara. Tidak ada kalimat yang menyatakan masyarakat yang lebih maju memaksa Orang Laut untuk melakukan pembajakan. Terpengaruhnya Orang Laut masih bisa kita artikan secara luas. Bisa saja mereka terpengaruh karena kurangnya wawasan. Namun bukan tidak mungkin pula mereka terpengaruh karena dorongan secara mandiri dari dalam hati. Dorongan itu mungkin juga muncul karena Orang Laut merasa ikut terancam oleh dominasi pedagang Eropa dan bisa pula karena solidaritas antar masyarakat Nusantara. Solidaritas Orang Laut juga bukannya tanpa alasan. Sebab dari cerita turun temurun Orang Laut menyakini bahwa mereka adalah bagian dari komunitas besar di semenanjung Malaysia dan Kepulauan Riau.

”Ada cerita yang mengatakan, bahwa sebelum menyebar di perairan Kepulauan Riau, Bangka, dan Belitung, orang laut itu adalah penduduk pantai sepanjang Semenanjung Tanah Melayu, terutama menurut cerita nenek mereka datang dari Johor Malaysia4,”
Asin Bahari
Sekilas Tentang Lanun
John F. Loudon mengatakan, sebelum tahun 1822 Orang Laut di Belitung memiliki hubungan erat dengan bangsa Lanun. Dalam sejarah, bangsa Lanun dicitrakan sebagai kelompok bajak laut yang ganas dan menguasai perairan timur Sumatera hingga barat Pulau Kalimantan.

4Lihat juga headline Pos Belitung, Aku Cakap Laut Dia Cakap Melayu. Minggu 12 Januari 2014. Orang Juru yang hidup berdampingan dengan Orang Laut di Desa Juru Seberang juga mengaku nenek moyang mereka dari Johor. Bahasa mereka berbeda dari Orang Laut tapi sepintas terdengar mirip. Karena kemiripan bahasa itu Orang Juru seringkali dianggap sama seperti Orang Laut.

Seperti halnya Orang Laut, kita juga harus memberi ruang pada sudut pandang lain berkenaan dengan aksi bangsa Lanun. Sebab terdapat sejumlah catatan lain yang menunjukkan bahwa aksi bangsa Lanun merupakan sebuah aksi heroik melawan kolonialisme pedagang-pedagang Eropa.
Dampier berkesempatan tinggal bersama bajak laut Lanun pada kurun tahun 1686-16875. Menurutnya, dalam kehidupan sehari-hari, bangsa Lanun tidak menunjukkan kecendrungan watak bajak laut. Bangsa Lanun malah dinilai sebagai komunitas yang cinta damai dan hidup tentram.
Lalu apa yang menyebabkan mereka berubah menjadi kelompok bajak laut yang ganas? Jawabannya ternyata adalah rasa anti pati mereka terhadap sikap ketamakan orang Eropa yang datang berdagang di Asia Tenggara. Sebelum pedagang Eropa datang,  bangsa  di  kawasan  Asia  Tenggara berdagang dengan Cina dalam suasana tentram dan saling menghargai serta saling menguntungkan. Demikian juga yang terjadi ketika perdagangan berlangsung dengan orang-orang dari India.
  
5Sutedjo Sujitno, Sejarah Timah Indonesia (Jakarta,1996), hlm. 116.

Kemudian datang kelompok pedagang asal Portugis dan disusul Belanda dengan pola mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Pola itu dilaksanakan lewat cara memaksakan hak monopoli dan menekan para penguasa di semenanjung Malaysia untuk menerima harga yang mereka tentukan sendiri. Melihat keadaan itu, bangsa Lanun mencari jalan keluar dari tekanan dan kesewenang-wenangan pedagang Eropa. Sebab, bangsa Lanun pada dasarnya adalah bangsa yang memiliki harga diri yang tinggi. Mereka mengenal benar apa arti kemerdekaan dan kedaulatan.
Bangsa Lanun yang dicap sebagai bajak laut itu berasal dari Filipina, tepatnya dari teluk Lano di Pulau Mindanau. Sampai tahun 2015, masyarakat Belitung setidaknya hanya mengenal istilah Lanun. Demikian juga halnya dalam buku Sejarah Timah Indonesia. Literatur barat menyebut mereka Illanun. Padahal, semua istilah itu sejatinya adalah Iranun.
Datu Jamaluddin Datu Moksan, MA dari Bidang Sejarah Maritim Universitas Malaysia, Sabah membuat tulisan singkat mengenai asal muasal penamaan Lanun dan cap bajak laut terhadap bangsa Lanun. Menurutnya, nama Lanun muncul seiring isu bajak laut dan perdagangan budak yang tulis oleh para sarjana dan pegawai Eropa. Isu itu ditulis berdasarkan sudut pandang dek kapal perang Barat, bukan dari sudut pandang orang Timur. Latar tulisannya tentu juga diambil dari perseteruan bangsa Spanyol dengan Iranun di Fillipina maupun hasil ekspedisi bangsa Belanda dan Inggris.
Isu berat sebelah dan cendrung memihak bangsa Eropa itu kemudian dimanfaatkan oleh Sir Stamford  Raffles dan James Brooke untuk mempengaruhi bangsa Melayu. Keduanya melancarkan propaganda yang menyebutkan bahwa aksi perlawanan Lanun sebagai tindakan keji dan pemenuhan tenaga buruh oleh bangsa Lanun sebagai perdagangan budak. Anne Reber (1966) mendapati tulisan Sir Stamford Raffles sebagian besar harus bertanggungjawab karena telah menghasilkan ’decay theory’ yang menyebabkan gambaran sangat buruk tehadap citra orang Iranun.

”Tindakan ini  telah menyebabkan  Iranun  dipanggil Lanun atau Pirate dalam sejarah Asia Tenggara pada abad ke 18. Propaganda Raffles dan Brooke telah berjaya menggambarkan dunia alam Melayu bahawa Iranun  sebagai musuh nombor satu di laut Nusantara,”
Datu Jamaluddin

Pada tahun 2015, tiga orang keturunan Lanun berkunjung ke Belitung dan menjelaskan nama mereka yang sebenarnya. Tiga orang asal Sabah Malaysia itu yakni Hakim Adat OKK Haji Masrin HJ. Hassin beserta anaknya Iskandar, dan seorang wartawan senior Abd. Naddin HJ. Shaiddin. Mereka mengatakan, Lanun yang dimaksud dalam sejumlah literatur dan cerita turun-temurun di Belitung sebenarnya adalah Iranun. Sedangkan bangsa barat mengenal mereka dengan nama Illanun.
Pada tahun 2016, tiga orang keturunan Lanun itu kembali ke Belitung dalam jumlahnya yang lebih banyak yakni sekitar 33 orang, termasuk tiga orang perwakilan dari Fillipina. Mereka datang untuk menjalin silaturahmi dengan keturunan Lanun yang tersisa sekaligus mengklarifikasi sejarah mereka yang sebenarnya.

Gambr 1.4 Keturunan Iranun dari Sabah dan Filipina berfoto bersama Bupati Belitung Sahani Saleh, 25 April 2016 di Hotel Grand Hatika Tanjungpandan. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.

Jumlah warga keturunan Iranun di Pulau Belitung pada tahun 2016 diperkirakan sebanyak 2000 jiwa. Bahkan akhirnya terungkap Bupati Belitung Sahani Saleh (Sanem) dan istri Wakil Bupati Belitung Gunawati Erwandi A. Rani adalah bagian dari keturunan mereka. Pengakuan Sanem dan Erwandi itu dimuat di belitung.tribunnews.com pada 25 April 2016 dan 13 Juli 2016.
Profesor Ali P.Laguindab, Ph.d dari Universitas Negeri Mindanao, Fillipina juga hadir dalam kunjungan silaturahmi Iranun ke Belitung. Dalam presentasinya ia mengatakan, bangsa Iranun setidaknya sudah sudah memeluk Islam sejak abad ke-14. Hal ini dibuktikan dengan adanya pendirian madrasah dan masjid di Simunul, Tawitawi, Sulu pada tahun 1380.
Pada masa-masa mendatang perlu dibuat satu kajian khusus tentang kaitan Iranun dan Belitung. Sebab refrensi mengenai kaitan tersebut masih sangat terbatas. Penting sekali menggali kaitan ini karena sejumlah tempat di Belitung memiliki kisah berlatarkan Lanun. Sebaran kisahnya juga merata, mulai dari daerah pesisir sampai ke pedalaman Pulau Belitung.

Gambar 1.5.
Profesor Ali P. Laguindab, Ph.d. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.
Since the coming of the Spaniards in the 1600 to the present the Iranun in the Philippines has sustained five long centuries of continuous wars  against the enemies of Islam, against colonialism, against oppression and  for self-determination in preservation of our homeland for Islam and our posterity,”

Kedatangan keturunan Lanun ke Belitung dengan semangat kekeluargaan harus menjadi bahan renungan. Bagi penulis, peristiwa ini bisa jadi adalah sebuah pengulangan sejarah yang mempertegas kisah di masa lampau yang mengatakan betapa dekatnya bangsa Lanun dan Pulau Belitung.
Gambar 1.6.  Kapal Iranun. Sumber: Presentasi Profesor Ali P. Laguindab, Ph.d 2016.

Gambar 1.7.  Kelinangan. Ini adalah kesenian bangsa Iranun yang ditampilkan di Hotel Grand Hatika Tanjungpandan, Belitung. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.
Gambar 1.8. Kesatria Iranun. Sumber: Presentasi Profesor Ali P. Laguindab, Ph.d 2016.